Saturday, October 24, 2009

JANTUNG PISANG YANG BIKIN JANTUNGAN

Rumah boleh kecil, yang penting punya pohon pisang. Begitulah impian gue. Meski rumah gue nggak segede rumah konglomerat atau pejabat bermeter-meter persegi, namun di pekarangan rumah gue tumbuh beberapa pohon pisang. Hebatnya, di sepanjang jalan rumah gue, nggak ada tetangga yang memelihara pisang, even di Kompleks Cempaka Putih Indah yang notabene tanah di setiap rumah jauh lebih besar dari gue, nggak ada tuh yang menanam pohon pisang.

“Duh, segitu bangganya!”

Ya, dong! Buat gue, melakukan hal yang berbeda dari orang lain, dimana sesuatu yang berbeda itu positif bisa menjadi sebuah kebanggaan. Menurut gue, pohon pisang banyak manfaatnya, karena termasuk buah yang padat nutrisi dan energi. Teksturnya yang lembut membuat pisang sering dijadikan buah pilihan untuk makanan bayi. Bagi
anak-anak, pisang juga bisa menjadi bekal sehat ke sekolah.

Peneliti dari Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika IPB, Dr. Ir. Sobir menjelaskan, ada sebuah penelitian tentang pisang yang dilakukan terhadap 200 pelajar di sekolah
Twickehnham, di Middlesex, Inggris. Ke-200 pelajar itu diberikan makanan tambahan
berupa pisang saat sarapan, istirahat, dan makan siang. Penelitian ini dilakukan
menjelang waktu ujian. Walhasil, para pelajar tersebut memiliki daya konsentrasi yang luar biasa. Hal ini jelas sangat membantu proses belajar mereka. Kalium yang terdapat pada pisang lah yang berperan meningkatkan konsentrasi belajar tersebut.

Selain kalium, kandungan vitamin B pada pisang yang cukup tinggi, juga mampu
mempertahankan aktivitas kerja sistem syaraf. Hal tersebut juga mendorong
pelajar bisa berkonsentrasi lebih lama.

Manusia sudah lama makan pisang sejak zaman dahulu kala. Artinya, bukan cuma monyet yang sudah lama mengkonsumsi pisang. Kata pisang sendiri asalnya dari bahasa Arab, yakni maus. Oleh Linneus, kata tersebut dimasukkan ke dalam keluarga Musaceae. Hal tersebut untuk memberikan penghargaan kepada Antonius Musa, seorang dokter pribadi kaisar Romawi (Octaviani Agustinus) yang menganjurkan sang Kaisar makan pisang (bareng monyet!). Itulah mengapa dalam bahasa latin, pisang dinamai Musa paradisiacal.





Menurut sejarah, pisang berasal dari Asia Tenggara. Buah ini dibawa oleh para penyebar agama Islam dan selanjutnya dibawa lagi ke Afrika Barat, Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Dari situlah pisang kemudian menyebar ke seluruh dunia, sehingga meliputi daerah tropis dan subtropis. Brasilia, Filipina, Panama, Honduras, India, Equador, Thailand, Karibia, Columbia, Mexico, Venezuela, dan Hawai merupakan negara-negara penghasil pisang. Negara Indonesia yang kita cintai ini merupakan negara penghasil pisang nomor empat di dunia. Luar biasa bukan? Di Asia, Indonesia termasuk penghasil pisang terbesar, dimana sekitar 50 persen produksi pisang Asia berasal dari Indonesia.

Jawa Barat (Sukabumi, Cianjur, Bogor, Purwakarta, Serang), Jawa Tengah (Demak, Pati, Banyumas, Sidorejo, Kesugihan, Kutosari, Pringsurat, Pemalang), Jawa Timur (Banyuwangi, Malang), Sumatera Utara (Padangsidempuan, Natal, Samosir, Tarutung), Sumatera Barat (Sungyang, Baso, Pasaman), Sumatera Selatan (Tebing Tinggi, OKI, OKU, Baturaja), Lampung (Kayu Agung, Metro), Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali dan Nusa Tenggara Barat merupakan daerah-daerah penghasil pisang di Indonesia.

Buah pisang memang mengandung banyak zat gizi. Selain kalium yang sudah di jelaskan di atas tadi, kandungan vitamin dan mineralnya pun lebih unggul dibandingkan buah dan sayuran lain, terutama untuk vitamin B6 (piridoksin), vitamin C, kalium, serat, dan mangan. Kalo dibandingkan dengan buah apel, pisang mengandung 4 kali lebih banyak protein, dua kali lebih banyak karbohidrat, tiga kali lebih banyak fosfor, lima kali lebih banyak vitamin A dan zat besi, serta dua kali lebih banyak vitamin dan mineral lainnya.




Nyatanya, bukan cuma bermanfaat untuk dimakan, pisang juga bermanfaat untuk upacara ritual. Ada beberapa daerah yang upacara adatnya mengunakan pohon pisang sebagai perlambang. Maklulah, pohon pisang memiliki filosofi: selalu melakukan regenerasi sebelum berbuah dan mati, yaitu melalui tunas-tunas yang tumbuh pada bonggolnya. Dengan cara itulah pohon pisang mempertahankan eksistensinya untuk memberikan manfaatkan kepada manusia. Filosofi tersebutlah yang mendasari penggunaan pohon pisang sebagai simbol niat luhur pada upacara pernikahan.

Beberapa hari ini, gue terkagum-kagum melihat dua pohon pisang di rumah gue menghasilkan jantung. Terus terang selama ini gue sudah menunggu-nunggu pisang di rumah gue jantungan, eh maksudnya muncul jantung. Sebab, dengan kemunculan jantung pada pisang, ini menandakan pisang gue akan menghasilkan buah pisang. Nah, sebelum kemunculan jantung pisang, hati gue sempat jantungan alias dag-dig-dug, kayak menanti kelahiran sang jabang bayi. Alhamdulillah, jatung itu pun muncul juga dan membuat gue bangga.

Ternyata kekaguman gue pada jantung pisang, juga dialami oleh tetangga gue. Mereka seolah melihat “tumbuhan aneh” yang ada di pekarangan rumah gue. Oalah! Padahal cuma jantung pisang gitu, loch! Tapi kalo mau jujur, jantung yang tumbuh di kedua batang pisang gue mantabs punya. Jatung pisang pertama nggak begtitu panjang, sedang jantung pisang kedua “buntutnya” panjang banget. Mungkin panjangnya bisa mencapai kurang lebih satu meter. Coba aja Anda perhatikan di foto tersebut. Kedua jantung itu seolah sedang berdialog satu sama lain. Sayang, gue nggak bisa dengar.

Sebagaimana buah pisangnya, jantung pisang juga memberikan manfaat. Jantung pisang yang merupakan bunga pisang berwarna merah tua keunguan, terdapat bakal pisang yang berada di bagian dalamnya. Kalo doyan masak, jantung pisang bisa disayur, bahkan bisa pula dibuat manisan, acar, maupun lalapan.

(berbagai sumber)

Friday, October 23, 2009

TANGKAP DULU, BARU DICARI KESALAHANNYA

Banyak orang bilang,kasus Bibit Rianto dan Chandra M. Hamzah bisa menjadi momentum terbaik yang dimiliki oleh Polri dan tentu saja Presiden SBY. Kenapa begitu? Because, meski kalo pada akhirnya kasus rekaman penyadapan itu membuktikan ada pejabat Polri yang terlibat, mayoritas warga negara Indonesia bakal acungkan jempol pada Polri. Two thumbs up! Bahwa Polri objektif.

Buat SBY, pemerintahan 100 hari ini sangat potensial buat membuktikan diri. Bahwa SBY punya nyali buat bertindak. Seharusnya Presiden pilihan 60% lebih rakyat ini bisa mengambil tindakan tanpa membiarkan benang kusut dalam kasus penahanan dua pejabat KPK ini. Dalam program radio pagi ini saya mendengar, seorang pengamat politik bilang, dalam kondisi yang nggak jelas kayak begini, biasanya orang seperti Muhammad Yusuf Kalla sangat dibutuhkan. Ia akan mengeluarkan statement dengan lantang. Maklumlah, mantan Wakil Presiden RI ini dianggap oleh banyak orang selalu cepat dalam bertidak.

Sebagai pribadi –karena kalo sebagai institusi hukumnya haram, karena katanya kudu netral-, saya menyayangkan penangkapan Bibit dan Chandra yang saya kutip dari pernyataan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin sebagai sebuah proses hukum yang dijalankan berdasarkan tindakan yang absurd atau tidak masuk akal.

“Kriminalisasi terhadap KPK akan menguntungkan koruptor,” kata Din Syamsuddin (Kompas Minggu, 01/11/09). “Kriminalisasi ini juga memupus harapan rakyat serta mengoyak amanat reformasi.”

Ketidakjelasan penangkapan inilah yang membuat banyak dukungan moral yang ditujukan pada Bibit dan Chandra. Bukan cuma para Facebookers yang masih terus berusaha mencapai target 1 juta dukungan, tetapi juga oleh sejumlah public figure, tokoh politik, pendidikan, agamawan, dan pengusaha. Dalam note ini saya pribadi pasti mendukung kasus absurd ini, karena sejalan dengan slogan saya “B FOR BETTER INDONESIA”. Namun karena saya berada di lingkungan media, saya tidak melakukan dukungan secara fisik, misalnya dengan mengunakan pakaian warna hitam yang seharusnya saya pakai hari ini, atau menggunakan pita hitam. Termasuk masuk ke dalam 1 juta Facebookers pendukung Bibit dan Chandra. Media tetap harus netral, katanya begitu.

"Tangkap dulu, baru dicari kesalahannya!"

FILM ANIMASI "MERAIH MIMPI": BINGUNG DENGAN MIMPI DANA

Akhirnya Dana dan Rai berhasil juga mendapatkan surat warisan itu. Surat yang akan membuktikan, bahwa Pairot bukanlah pemilik seluruh tanah di kampung itu, dimana di tanah itu terdapat rumah keluarga Dana dan beberapa penduduk lain.

Dana (disulihsuarakan oleh Gita Gutawa) memang harus mencari surat wasiat itu sampai dapat, meskipun ia harus melewai berbagai rintangan, mulai dari melewati hutan belantara dan gua yang gelap gulita. Bahkan ia bersama adiknya Rai (disulihsuarakan oleh Patton ‘Idola Cilik’) sempat menguji jantung mereka pada saat naik kendaraan berbentuk cangkir minuman yang ada di gua itu dan melakukan aksi ala permainan halilintar di Dunia Fantasi, sebagaimana di film Indiana Jones. Selain ketegangan itu, di akhir Dana dan Rai hendak keluar gua, anak Pairot (disulihsuarakan Surya Saputra) yang bernama Ben (disulihsuarakan oleh Indra Bekti) yang sejak awal mengikuti mereka, mengambil surat wasiat itu. Anak Pairot itu langsung menutup pintu gua dan meninggalkan Dana dan Rai di dalamnya.

Seketika penonton menyimpulkan itu adalah akhir petualangan Dana dan Rai untuk menyelamatkan penduduk dari ketamakan Paiton yang ingin mengusir warga dan mengubah tanah kampung itu menjadi kasino dan perhotelan mewah. Namun ternyata anak Paiton sadar, bahwa saat-saat seperti itulah justru ia harus tunjukan kebaikan, agar Dana yang sebetulnya telah dijodohkan dengan anak Paiton respek pada dirinya.

Sejak awal, saya coba memahami mimpi Dana. Maklumlah, yang menjadi tokoh utama di film ini memang Dana. Gadis yang tidak jelas usianya berapa dan kelas berapa ini hidup bersama ayah, adik, dan neneknya. Sutradara hanya memberi gambaran ke penonton betapa bahagianya keluarga Dana, yang nampaknya tidak mempersoalkan keberadaan ibunya ini. Padahal di usia yang beranjak dewasa, selayaknya gadis remaja sedang giat-giatnya curhat dengan ibunya. Yang banyak diperlihatkan justru malah Oma (disulihsuarakan oleh Jajang C. Noor).

Namun Dana lebih suka bermimpi. Namun mimpinya tidak begitu jelas. Saya baru menemukan kejelasan mimpi Dana ketika timbul konflik antara dirinya dan ayahnya, dimana ayahnya setuju Dana akan dijodohkan dangan anak Paiton si tuan tanah yang bertubuh tambur dan selalu bergaya ala Elvis Presley itu. Tentang perjodohan inilah awal konflik, meski sebelumnya penonton sudah digiring dengan kisah kampung yang akan digusur oleh anak buah Paiton.

Dari kisah perjodoan itu, Dana mengungkapkan soal mimpi mendapatkan beasiswa. Menurutnya, dengan beasiswa, ia bisa menyelamatkan kampungnya dan harga dirinya yang ingin digadaikan pada anak Paiton. Ketika beasiswa didapat, mimpinya lain lagi, yakni ingin mendapatkan surat wasiat asli yang ada di bukit di atas cengkraman matahari, seperti yang diceritakan oleh ayah kandung Paiton, Kakek Wiewien (disulihsuarakan oleh Yose Rizal Manua), yang dianggap gila oleh warga kampung.

Entah Sutradara lupa atau memang menganggap film animasi untuk konsumsi anak-anak paling mengena jika konflik yang dibangun soal perjodohan. Padahal ini stereotype sekali, apalagi penonton Indonesia masa kini, pun anak-anak, sudah tidak mengenal istilah perjodohan. Namun sekali lagi, Sutradara ingin mengangkat stereotype film-film animasi ala putri-putrian produksi Walt Disney seperti Cinderella, Sleeping Beauty, dan lain-lain, yang diadaptasi ke Meraih Mimpi. Dan sudah bisa diduga, inilah film ala Sitti Nurbaya versi Meraih Mimpi. Kelemahan lain selain cerita soal mimpi yang tidak jelas itu, mengenai filmnya sendiri yang menurut saya kurang membumi, mengindonesia.

Sulihsuara yang ada di animasi Meraih Mimpi buat saya cukup mengganggu. Banyak penonton menganggap, perbedaan antara mulut tokoh di animasi Meraih Mimpi itu akibat kurang sync antara animasi yang dibuat dengan dialog pada skenario. Namun sejak awal saya sudah curiga, film animasi ini aslinya berbahasa Inggris, lebih tepatnya Inggris Melayu. Asumsi ini saya simpulkan, karena melihat deretan kru film Meraih Mimpi yang mayoritas “orang bule”, salah satunya Sutradara film ini: Phil Mohamad Mitchell. Selain Mitchell yang bertindak sebagai Produser ada nama Mike Wiluan dan Chan Pui Yin dan ada nama Alex Sandford sebagai pembuat basic story.

Nama Nia Dinata dengan Kalyana Shira Film di film Meraih Mimpi barangkali hanya ingin menunjukan orang Indonesia ikut serta di film animasi ini, sehingga para penonton di Indonesia ini diharapkan bangga memiliki film animasi ber-setting ‘Indonesia’. Sungguh terlalu sadis kalo saya katakan Nia cuma dipasang namanya, padahal tidak seperti itu. Nia tetap punya andil, kok, yakni sebagai script localized artinya Penulis skenario yang mengadonkan warna-warna lokal dengan warna-warna global. Penulis skenario ‘aslinya’ sendiri ‘orang bule’, yakni Philip Stamp. Dengan bantuan Nia, unsur-unsur wayang di film Meraih Mimpi, bisa terakomodir, termasuk logat para binatang yang menggunakan logat beberapa daerah di Indonesia. Nama-nama Indonesia (pastinya) justru ditampilkan di level penyulihsuara. Ada Cut Mini yang sedang naik daun, karena film Laskar Pelangi yang mensulihsuarakan karakter seekor burung Kakaktua bernama Kakatu; Indra Bekti sebagai Ben; Jajang C. Noor (Oma); Surya Saputra (Pairot); Shanty (Minah); Ria Irawan (Kadal); Nina Taman (Kelelawar); dan tentu saja Gita Gutawa.

Ketika sudah mengerti soal dialog aslinya yang berbahasa asing itu, saya langsung berpikir jauh, Meraih Mimpi pasti bukan hanya dikonsumsikan penonton Indonesia. Ternyata benar, film tersebut berdasarkan sebuah novel yang juga sudah dibuatkan animasinya berjudul Sing to the Dawn karya Minfong Ho. Novel dan film tersebut sudah lebih dulu beredar di Asia. Oleh karena setting perkampungan yang khas orang Melayu atau mirip-mirip di Indonesia, wajah Melayu, hutan, pria dengan kaos oblong, kekeluargaan antara anak, ayah, dan nenek, serta hal-hal lain, dimana semua ini sangat Asia sekali, maka penonton tidak akan mempertanyaan mengenai lagi siapa pembuat animasi ini.

Satu hal yang sangat tidak membumi untuk ukuran setting Indonesia adalah tentang kasino atau pusat perjudian. Meski konon setting film ini berada di salah satu perkampungan di Batam, tapi membangun tempat perjudian di Indonesia tidak bisa sevulgar sebagaimana digambarkan di film ini. Lebih dari itu tempat-tempat perjudian menyebar, ilegal, dan tidak secara umum diketahui masyarakat. . Kalau pun ada di sentralisasikan di salah satu lokasi yang konon juga bersamaan dengan lokasi prostitusi Kramat Tunggak, namun tetap saja tradisi menggusur kampung menjadi kasino bukanlah Indonesia.

Di akhir tulisan ini, saya tetap mengacungkan jempol atas usaha Nia Dinata yang membuat anak-anak kami mendorong kami ke bioskop untuk menyaksikan film Meraih Mimpi ini. Meski usia tayang di bioskop relatif sebentar, artinya nggak meraih kesuksesan sesuai harapan, namun usaha Nia patut dibanggakan. Dan pada akhirnya antara Bapak -dalam hal ini saya- dan anak sama-sama bingung dengan mimpi Dana. Ah, barangkali saat ini Dana masih sedang mencari mimpinya dan kemudian meraihnya.

BIARLAH CUKUP KD SAJA

Sungguh menyedihkan sekali ketika seorang Ibu sudah punya image negatif oleh anak-anaknya. Ibu yang seharusnya menjadi contoh, ternyata malah membuat heboh. Lalu apa lagi yang bisa diharapkan dari Ibu seperti ini?

Setidaknya itulah akibat yang harus ditanggung oleh Krisdayanti (selanjutnya KD). Prilakunya selama ini “menghadiahkan” dirinya sebuah statement-statement negatif dari kedua anak kandungnya: Titania Aurelie Nurhermansyah (11) dan Azriel Akbar Hermansyah (9), dari mantan suaminya: Anang Hermansyah.

Bayangkan, segala tindak tanduk KD diketahui dengan detail oleh kedua anaknya. Azriel tahu kalo KD suka dengan selingkuhannya yang disebut-sebut berinisial Amor itu. Ia mendengar percakapan mesra Mimi –panggilan kesayangan kedua anaknya pada KD- dengan Amor. Tambah Azriel, KD seringkali dibelikan berbagai macam barang dari Amor.

“Mimi suka dengan Amor karena iri dengan teman-temannya yang kaya,” aku Aurel. “Mimi ke Timor Leste kan cuma mau ketemu Om itu (maksudnya selingkuhan KD berinisial Amor itu)”.

Yang membuat kedua anaknya kecewa, KD suka menjelek-jelekan Anang. Astagfirullah! Tak heran kalo Aurel dan Azriel menyebut KD jahat. Mereka setuju kalo Anang mencari pengganti KD yang dikatakan jahat itu oleh kedua anaknya.

Membaca beberapa media tentang keretakan hubungan Anang-KD ini seperti berada di sebuah dongeng yang berujung sad story. Bayangkan, selama ini pasangan Anang-KD dianggap banyak orang seperti pasangan Pangeran Tampan dan Putri Jelita dari sebuah negeri dongeng yang pasti selalu happy ending. Selama 13 tahun mereka hidup dalam kisah percintaan yang luar biasa, lebih dahsyat dari kisah dongeng Cinderella atau Sleeping Beauty.

Namun sayang, kisah Anang-KD bukanlah dongeng yang bisa direkayasa agar ujung ceritanya happy ending atau happilly ever after. Kisah Anang-KD bukan dongeng yang ditulis di buku Hans Christian Anderson yang menjadi buku wajib baca untuk anak-anak kita sebelum tidur. Mereka adalah kisah asli alias true story yang ujungnya tragis, yakni sebuah perceraian akibat dari perselingkuhan yang konon sering dilakukan oleh KD. Sadis! Tak bisa dijadikan contoh atau cerita sebelum tidur. Apalagi jika judul ceritanya sebagaimana saya kutip dari headline tabloid Nyata edisi 1992/11 September 2009: “5X Selingkuh 5X Minta Cerai”.

Biarlah cukup KD saya yang menceritakan pada dirinya sendiri, mengapa tega melakukan itu. Bukan cuma kepada Anang, tapi kepada kedua anaknya: Aurelie (11) dan Azriel (9). Saya berdoa, Anda tidak bermimpi menjadi KD kedua, ketiga, dan seterusnya. Bersyukurlah pada suami Anda sekarang. Biar jelek, yang penting jadi sumber rezeki. Berbahagialah memiliki anak-anak yang lucu-lucu, sementara masih banyak pasangan suami-istri yang masih berusaha dan berdoa bermimpi punya anak. Biar anak Anda berhidung pesek, bermata sipit, toh mereka anak Anda, dan Anda harus memberi contoh pada mereka soal perselingkuhan, eh maaf soal kebaikan.

MULAILAH DARI SEKARANG!

2010 DKI Punya Jalur Sepeda”. Begitulah judul rubrik Metropolitan di halaman 3 koran Warta Kota kemarin (21/10). Buat penggoes sepeda seperti saya dan Anda, judul tersebut tentu merupakan kabar yang luar biasa. Yaiyalah! Selama ini, para penggoes mengimpikan punya jalur khusus, sebagaimana busway.

“Kami sudah menyiapkan masterplan dan design jalur sepeda yang akan membantu Pemprov DKI mengurai kemacetan di Jakarta,” ucap Riza. “Tahun 2010/ 2011 kami akan mengimplementasikan jalur-jalur sepeda itu”.

Meskipun baru janji yang diucapkan Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Riza Hasyim, ketika meresmikan tempat parkir sepeda di fX Plaza, jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, kemarin, namun kabar tentang jalur sepeda sudah bergulir. Sebagai penggoes sepeda, kita nantinya akan menagih janji perwakilan dari pemerintah daerah ini kalo di tahun 2010 ternyata ingkar janji.

Memang beberapa kali Ketua Bike to Work (B2W) Toto Sugito dan teman-teman kita dari B2W maupun komunitas sepeda lain berjuang buat merealisasikan impian jalur khusus sepeda ini. Kenapa butuh jalur khusus? Apakah jalur sekarang belum cukup? Dear all my friends, kalo pernah naik sepeda di jalan raya, Anda pasti pernah merasakan diskriminasi pada penggoes sepeda –sama halnya diskriminasi pada para pejalan kaki. Baik mobil, apalagi motor, sangat sangat diskriminatif. Sedikit sekali dari para penggendara kendaraan bermotor tersebut yang “menghormati” penggoes sepeda.

“Menghormati” bukan gila hormat, lho! It’s different honey. “Menghormati” dalam konteks ini, sepede seringkali diserobot oleh pengendara kendaraan bermotor, terutama mobil. Mereka -para pengendara kendaraan bermotor- jarang sekali ada yang mau mengalah, padahal sudah jelas-jelas sepeda berusaha untuk selalu berada di paling pinggir. Saya pun ketika menggoes, berusaha berada di paling kiri, tidak di tengah seperti motor yang seringkali cuek melajukan kendaraannya di tengah padahal kecepatannya lambat.

Selain seringkali harus mengalah dengan kendaraan bermotor, yang relevan dengan konteks “menghormati” adalah, bersyukurlah masih ada orang yang mencoba “membirukan langit” yang sudah terpolusi ini oleh Anda yang menggunakan kendaraan bermotor. Tanpa para penggoes, Anda pasti akan cuek bebek dengan kondisi lingkungan ini, ya nggak?

Alasan-alasan tersebut di atas itulah yang menurut saya wajar apabila Pemprov DKI nanti akan membuatkan jalur khusus sepeda. Kalo janji ini terwujud, ini sama saja B2W akhirnya berhasil mewujudkan impian yang selama ini memang diidam-idamkan kaum penggoes. Oleh karena itu, mulailah dari sekarang Anda membeli sepeda. Jangan membeli mobil terus, apalagi motor.




Kalo sudah punya sepeda, mulailah belajar besepeda. Datang di lokasi-lokasi yang menyelenggarakan Car Free Day (CFD), misalnya di Sudirman-Thamrin, Rasuna Said, dan beberapa tempat yang biasanya diumumkan via spanduk yang dipasang di halte-halte atau via mailing list atau website B2W. Baru minggu lalu, jalan Pemuda untuk pertama kalinya menyelenggarakan CFD. Di lokasi CFD, dijamin Anda nggak akan malu bersepeda, karena banyak orang yang juga bersepeda. Nggak cuma orang miskin yang kendaraan satu-satunya sepeda, tapi orang-orang kaya pun banyak yang ikutan CFD. Coba deh sekali-sekali Anda ke CFD di Sudirman-Thamrin.

Kalo sudah merasa percaya diri, nggak malu menggunakan sepeda, mulai perlahan-lahan memberanikan diri naik sepeda ke kantor dengan jarak pendek. Maksudnya, mobil Anda parkir di tempat yang nggak jauh dari kantor Anda, terus Anda menggunakan sepeda ke kantor. Kalo Anda bilang nanggung atau ngapain juga cuma jarak dekat naik sepeda ke kantor? Mending sekalian dari rumah langsung naik sepeda ke kantor. Ya, silahkan aja kalo Anda mau ngetes kepercayaan diri Anda!

Seperti yang sudah pernah saya ceritakan di note sebelumnya, bahwa saya merasa nggak percaya diri pakai sepeda ke kantor. Saya sering bertanya-tanya: kok ke kantor naik sepeda? Ada-ada aja! Selain itu, saya juga merasa nggak praktis banget naik sepeda ke kantor. Bukankah rutinitas saya setiap pagi antar dua anak saya sekolah di dua tempat berbeda dan kemudian mengantar istri saya di Menara Jamsostek di Gatot Subroto? Nggak praktis amat kalo naik sepeda, cong! Namun, Tuhan menciptakan kita akal, manusia menciptakan teknologi. Atas anjuran Edon –teman saya yang sudah jauh lebih dahulu kala naik sepeda-, saya dianjurkan membeli sepeda lipat (seli) atau biasa juga disebut folding bike. Thx, bro!

Nyatanya Edon benar! Sebagai suami dengan dua orang anak, tanggungjawab saya tetap terjaga dengan baik dan benar. Rutinitas saya mengantar kedua anak saya dua sekolah berbeda -SD Labs School dan TK At-Taqwa- tetap seperti biasa, dan tentu saja mengantar istri di kantor DHL di Menara Jamsostek, jalan Gatot Subroto. Setelah tugas-tugas selesai, seli saya turunkan dari bagasi mobil dan saya menggoes dari Gatot Subroto ke Kawasan Industri Pulogadung. Praktis bukan?

Mau contoh praktis lagi. Kalo Anda mengira saya gokils banget menggoes dari Gatot Subroto ke Kawasan Industri, Anda harusnya juga bisa membuat diri nyaman. Kalo merasa terlalu jauh, gunakan akal Anda, pakai busway! Ketika hari sudah terlalu siang atau lagi malas untuk menggoes sepeda terlalu jauh, saya pilih menaikkan seli ke busway. Gubernur kita tidak melarang penggoes sepeda menaikkan sepedanya ke busway, asal yang dinaikkan adalah sepeda lipat, bukan sepeda MTB apalagi sepeda ontel. Seli pun kalo dinaikkan ke busway kudu dilipat, supaya tidak mengganggu penumpang busway lain. Beda dengan kereta api. Kalo kereta api, jenis sepeda apa saja boleh dinaikkan ke gerbong. Kebetulan saya yang kebetulan membawa seli sempat melihat beberapa penggoes sepeda MTB dan ontel menaikkan sepeda mereka ke gerbong. Praktis bukan?




Mulailah dari sekarang! Jangan seperti teman sekantor saya. Biar rumahnya dekat dari kantor, tapi sama sekali tidak berniat naik sepeda ke kantor. Dia lebih suka membeli mobil lagi. Itu hak dia sih dan saya tidak punya kepentingan buat melarangnya. Tapi kalo saya jadi dia yang kebetulan belum married, belum punya tanggungjawab sebagaimana saya atau teman-teman saya sesama penggoes sepeda, saya akan membeli sepeda dan menggoes dari rumahnya yang katanya berada di Duren Sawit ke kantor. Uang yang tadinya akan dipergunakan buat membeli mobil, saya tabung atau investasikan. Kelar kan?

Mulailah dari sekarang peduli pada lingkungan. Dengan bersepeda -apalagi Pemprov sudah berjanji akan membuat jalur khusus sepeda pada tahun 2010-, bukan tidak mungkin kita menjadi bagian dari manusia yang menyelamatkan lingkungan yang sudah terpolusi ini. Kalo bukan kita yang punya ilmu dan sadar tentang lingkungan atau kita yang katanya well educated ini, siapa lagi?

Monday, October 12, 2009

SELAMA POLISI BELUM KONSISTEN

Saya dan sebagian besar dari Anda pasti pernah melanggar lalu lintas atau sampai saat ini menjadi pelanggar tetap. Bukan sekadar menerobos lampu merah –biasanya ketika lampu kuning sudah menyalah dan nyaris merah bukannya memperlambat laju kendaraan, malah mempercat kendaraan sehingga menerobos lampu merah-, tapi pelanggaran-pelanggaran lain.

Soal pelanggaran bukan cuma didominasi kaum penggendara kendaraan motor –yang memang seringkali banyak melanggar: nggak pakai helm, menerobos verboden, melajukan kendaraan di trotoar, dan lain-lain, tapi kaum pemilik mobil. Sebut saja menerobos jalur 3 in 1 atau pengemudi mobil berpenumpang 3 orang.

Saya dan juga sebagian dari Anda pasti pernah menerobos jalur 3 in 1, padahal di mobil kita jumlah penumpangnya tidak tiga orang. Sebagai manusia yang punya akal, kita selalu mengelabui polisi yang bertugas di jalur 3 in 1. Kalo saya yang seumur hidup ini tidak pernah ditilang, selalu menggunakan fasilitas ID kantor dan mengaku sebagai Jurnalis yang sedang meliput, sehingga polisi mengizinkan mobil saya melewati jalur 3 in 1. Please jangan pernah mencontoh saya yang hina ini, karena ini biasanya saya lakukan kalo dalam keadaan terpaksa alias buru-buru.

Soal mengelabui polisi di jalur 3 in 1 memang bukan saya seorang. Banyak pelanggar-pelanggar lain yang niat banget mengelabui polisi. Teman kantor saya yang tidak mau disebutkan namanya, misalnya. Di dalam mobil, ia dan sang suami selalu membawa tempat duduk bayi alias baby car seat. Tempat duduk ini diletakkan di tengah jok mobil. Tentu saja tempat duduk itu tidak kosong melompong, tapi diisi oleh segala macam kain, baju, dan pernak-pernik lain supaya terlihat ada bayinya, padahal itu dilakukan untuk mengelabui polisi.

Saya bahkan pernah menemui orang yang meletakkan boneka yang terbuat dari plastik. Saya menduga sebelum masuk ke jalur 3 in 1, orang ini meniup boneka plastik ini dan melatakkan di tengah jok mobil. Sebab, ketika sudah melewati polisi dan berada di tempat sepi, orang ini langsung mengempeskan boneka plastiknya dan memasukkan ke dalam bagasi. Mantabs!

Masih soal 3 in 1, pernahkah Anda melewati jalur-jalur sebelum jalur yang diberlakukan 3 in 1? Di sepanjang jalan, pasti banyak joki, mulai dari anak kecil sampai nenek-nenek. Setiap pagi pukul 07.00-10.00 wib dan sore pukul 16.30-19.00 wib, para joki ini mengacung-acungkan tangan pada pengendara mobil untuk menawarkan jasa mereka “mengelabui” polisi.

Yang paling ironis, joki-joki ini berdiri di samping Komdak Metrojaya. Eksistensi mereka cuma dibatasi tembok kantor pusat polisi tersebut. Meski keberadaan joki dekat dengan Komdak dan diketahui oleh polisi, toh polisi-polisi cuek bebek. Mereka membiarkan joki-joki tersebut tumbuh bersemi. Saya yakin, alasan polisi membiarkan joki-joki tersebut adalah: “mereka butuh pekerjaan buat cari makan”. Tapi pernahkah polisi terpikir soal joki tersebut adalah bagian dari usaha “mengelabui” polisi agar pemilik mobil bisa menembus jalur 3 in 1?

Sejujurnya saya kasihan sekali polisi setiap hari dikelabui oleh warga Jakarta –mungkin juga di seluruh Indonesia. Padahal polisi adalah pengayom masyarakat. Setidaknya itulah slogan yang selalu tertera di tiap-tiap Polsek atau Polres. Kalo “pengayom”, seharusnya kita sebagai warga harus “respek” dengan polisi. Nyatanya kita malah justru berbuat dzolim pada polisi. Ah, kasihan!

Namun, sebagai pengamat masalah polisi dan lalu lintas yang belum diakui oleh media, saya mengerti mengapa hampir sebagian besar warga “terperosok” ke jurang sebagai pelanggar dan kerap mengelabui polisi. Selama polisi masih tidak konsisiten dengan aturan, selama itu pula pelanggaran akan terjadi.

Entahlah Anda masih ingat atau sudah lupa ingatan dengan beberapa aturan polisi yang sudah dilakukan, namun kemudian ditiadakan. Atau aturan yang seharusnya berlaku di seluruh tempat, dimana pun tanpa pilih-pilih, namun di tempat lain aturan tersebut tidak dilakukan. Lihatlah di bawah ini beberapa aturan polisi yang saya maksud tadi:

(1) Motor berada di jalur kiri, mobil di jalur kanan. Yang terjadi, begitu lampu hijau, motor berhamburan bagai laron.

(2) Baik waktu siang apalagi malam hari, motor harus menghidupkan lampu. Saat ini tidak ada lagi motor yang menyalahkan lampu, yang ada menyalahkan polisi kenapa motor harus menyalahkan lampu.

(3) Mobil maupun motor dilarang menggunakan jalur khusus busway, yang sudah jelas-jelas terdapat tanda verboden.

(4) Baik motor maupun mobil harus berhenti di garis sebelum zebra cross. Yang terjadi polisi malah mengizinkan motor maupun mobil melewati zebra cross dan itu tidak semua tempat diizinkan seperti itu.

(5) Jalur cepat tidak boleh dilalui oleh motor. Selama ini, jalur-jalur cepat banyak yang dilalui oleh motor. Sebenarnya bukan salah polisi, salah penggendara motor, tapi berhubung mayoritas pengguna motor selalu melanggar larangan ini, polisi seharusnya konsisiten menilai setiap penggendara motor yang nakal.

(6) Parkir kendaraan di tanda dilarang stop. Kalo Anda pernah ke perempatan Senen –tepatnya di depan Atrium Senen- banyak bus-bus yang mangkal di situ, padahal ada tanda dilarang stop dan ada mobil polisi dengan sirine berkelap-kelip. Kondisi seperti ini bukan cuma di Senen, tapi dimana-mana.

(7) Pakai helm dimanpun juga. Yang terjadi banyak jalan yang bebas helm, bahkan ada penumpang yang nekad tidak menggunakan helm di jalan protokol. Yang sering saya temui, bapak-bapak menggunakan kopiah putih atau pakai topi maupun ibu-ibu pakai jilbab yang dengan cuek menggendarai motor tanpa helm. Memangnya dengan kopiah atau jilbab yakin tidak bisa mati?

(8) Mohon maaf, tilang di tempat juga masih seringkali terjadi, yang dilakukan oleh oknum polisi. Nggak percaya? Sekali waktu ikut saya mengitari kota Jakarta ini. Kebetulan saya juga menyimpan foto mengenai prilaku oknum polisi seperti ini.

(9) Di jalan tol, bahu jalan masih sering dilalui oleh pengendara mobil nakal, sementara polisi membiarkan hal ini terjadi. Padahal polisi sering pula menangkap para pelanggar itu. Pelanggaran itu memang bukan salah polisi, tapi para pengendara mobil yang tolol.

(10) Oknum polisi tidak memberikan contoh pada pengendara di jalan, sehingga contoh yang tidak baik diikuti oleh penggendara lain. Misalnya melawan arus jalan, agar bisa cepat sampai tujuan. Apakah gara-gara seorang polisi, dengan seenaknya diizinkan melanggar dengan alasan tugas? Kalo begitu dengan siapa kita bisa mencontoh penggendara yang tertib kalo aparatnya tidak tertib?


Masih banyak lagi ketidakkonsistenan polisi dalam menjalankan aturan-aturan yang sebenarnya sudah bagus. Padahal kalo saja konsisten, sebagai pengguna jalan, kita ikut-ikutan konsisiten dalam mematuhi aturan yang ada. Kita jadi malu sendiri untuk melanggar aturan di jalan.

Saya yakin banget, polisi sangat sangat dibutuhkan dalam melaksanakan tugas sebagai “pengayom masyarakat”. Di jalan, polisi sudah membuktikan mampu mengatasi kesemerawutan lalu lintas tiap kali lampu merah mati. Lebih dari itu, saya juga masih sangat respek dengan polisi, karena tanpa polisi sudah pasti teroris sekaliber Noordin M. Top akan terus bergentayangan bersama beberapa anak buahnya. Dua diantaranya yang kemarin tewas tertembak: Syaifudin Zuhri dan M. Syahrir. So, viva polisi Indonesia!

LAIN TANGAN BEDA RASA

Menularkan keahlian memasak sudah dilakukan Mbah Suwito Rejo sejak masih muda. Siapa saja orang yang ingin belajar, dilayani oleh pemilik mie Jawa yang terletak di Gunung Kidul, DI Yogyakarta ini. Bahkan Mbah Wito -begitu pria ini akrab sisapa- rela ditanggap oleh mereka yang ingin membuka mie Jawa selama sepuluh hari. Dalam sepuluh hari itu ia menularkan ilmu memasaknya.

“Jika pembelinya sudah stabil, saya tinggal,” ujar Mbah Wito.

Kisah tentang Mbah Wito di atas itu saya kutip dari tulisan Mawar Kusuma yang ada di Kompas, Minggu, 11 Oktober 2009 kemarin. Sebenarnya tulisan yang ada di rubrik Tren-Santap di halaman 16 ini isinya sama dengan tulisan-tulisan soal pembahasan kuliner di minggu-minggu sebelumnya, yakni ada sebuah warung atau tempat jajan yang mak nyos di sebuah daerah di Indonesia. Namun yang menjadi luar biasa dari tulisan berjudul Mi Jawa Incaran Pejabat ini adalah filosofi Mbah Wito yang menjadi pembuka note saya.

Selama 67 tahun membuka Warung Bakmi Mbah Wito di Dusun Kemoro Sari, Desa Piyaman, Wonosari, Gunung Kidul, Mbah Wito tak pernah ngoyo dalam berjualan. Ia sudah cukup puas mengelola satu warung dan tidak berniat sedikit pun membuka cabang atau mencari lokasi jualan yang lebih strategis. Lebih dari itu, sudah puluhan pemilik warung yang meminjam jasanya untuk minta ditularkan resep keberhasilan mie Jawa. Setelah mengerti dan pelanggannya banyak, barulah Mbak Wito meninggalkan pemilik warung tersebut.

Menurut saya Mbah Wito luar biasa. Kata orang sekarang, ia tidak pelit ilmu. Berbeda sekali dengan Pengusaha-Pengusaha -khususnya ilmu masak- di era digital sekarang ini. Sedikit sekali dari mereka yang menularkan ilmu mereka. Yang terjadi justru, mereka membuka cabang sebanyak-banyaknya dengan resep yang hanya diketahui oleh si pemilik usaha. Wajarkah?

Kalo saya menggunakan perspektif kapitalis, resep yang cuma diketahui si empunya makanan, jelas sangat wajar. Siapa yang mau resepnya dicontoh orang lain, dimana si Pemilik sah resep itu tidak mendapat keuntungan apa-apa? Konsep seperti itu memang menjadi konsep kapitalis, sebagaimana yang ditulis oleh Karl Marx dalam artikel Wages of Labour, bahwa dalam kapitalisme hubungan yang lebih manusiawi (gemeinschaft) berganti menjadi hubungan yang bersifat bisnis semata (gesselschft).

Tak ada satu manusia pun yang tidak mau untung. Ketika orang lain minta untuk diajarkan cara memasak, sebagaimana Mbah Wito mengajarkan kepada orang lain tanpa pamrih, kaum kapitalis memanfaatkan dengan cara bekerjasama, yakni membeli franchise atau waralaba. Mereka yang ingin berdagang mie Jawa kudu menyetorkan uang muka sebagai bentuk sistem waralaba tadi dan kemudian membayar royalty tiap tahun atau tergantung dari kesepakatan keduabelah pihak.

Sistem franchise tak hanya dilakukan oleh usaha-usaha makanan yang memang lahir dari negara kapitalis, seperti McDonnald, Kentucky Fried Chicken, atau fast food-fast food lain. Usaha masakan yang berasal dari negara Indonesia yang katanya Pancasila ini juga sudah ikut-ikutan melakukan model usaha franchise. Sebut saja Ayam Bakar Mas Mono, Es Teler 77, dan masih banyak lagi.

Entahlah mengapa saya tetap kagum dengan filosofi Mbah Wito. Filosofinya itu mengingatkan saya pada ucapan pendiri Natural Cooking Club (NCC) Fatmah Bahalwan, bahwa setiap orang memiliki keunikan tersendiri dan kemampuan berbeda, sehingga: “Lain tangan, pasti rasanya berbeda!”. Maksudnya, meski kita sudah memberikan resep pada orang lain 100%, tapi ketika orang tersebut meracik makanan atau kue, pasti rasanya beda, karena masing-masing memiliki kekhasan dan kemampuan beda.

Seperti juga Mbah Wito, ketika diceritakan oleh istri, saya kagum dengan komunitas NCC. Seluruh anggota komunitas ini tidak pelit ilmu masak. Semua resep diberikan seluruhnya. Tidak ada yang ditutup-tutupi alias disimpan. Yang menarik, resep yang diberikan itu gratis dan orang yang memberikannya tanpa pamrih. Luar biasa bukan? Klik aja sendiri di milis mereka: groups.yahoo.com/group/naturalcookingclub atau blognya di NCC.blogsome.com.

Sekadar info, NCC adalah komunitas yang berawal dari mereka yang punya hobi sama, yakni memasak. Oleh karena sering bertukar pendapat di internet, maka Fatmah Bahalwan dan suaminya Wisnu Ali Martono mendirikan NCC pada akhir tahun 2004. Beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 15 Januari 2005, NCC pertama kali mengadakan kursus cake decorating. Tanggal itulah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya NCC.

NCC termasuk milis yang aktif, dengan jumlah posting rata-rata mencapai 100 hingga 200 posting. Jumlah member milis menjelang akhir tahun 2005 saja mencapai 1300, yang tersebar di lima benua. Luar biasa bukan? Milis ini jelas berbeda dengan milis lain yang sekadar ajang curhat-curhatan tak penting atau bahkan kritik-kritik yang tendensius cenderung sarkas.

Mbah Wito dan NCC mengingatkan saya pada Riwayat Iman Bukhari dan Muslim: Qaala rasulullahi shallallaahu’alaihi wasallam: Idzaa maata ibnu aadama, inqath’a’amaluhu illa min tsalaatsin: Shadaqatin jaariyatin, au’ilmin yuntafa’ubih, au waladin shaalihin yad’uulah. Artinya: “Rasulullah S.A.W bersabda: Bila seseorang meninggal, terputus untuknya pahala segala amal kecuali tiga hal yang kekal: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang senantiasa mendo’akannya”.

Perhatikan! Riwayat Iman Bukhari dan Muslim tidak mengatakan soal royalti atau keuntungan dari sebuah usaha franchise. Yang ada justru ilmu yang bermanfaat yang justru kekal abadi. So, jangan pelit ilmu. Taburkan ilmu sebanyak-banyaknya pada orang yang membutuhkan. Berikan resep masakan atau kue yang Anda miliki. Tak perlu disembunyikan, karena tidak bermanfaat juga. Soal rezeki sudah ada yang ngatur. Ingat pula: lain tangan, beda rasa!

CAN'T FIGHT THIS FEELING



Inilah versi aslinya...

FESTIVAL KESENIAN DI TENGAH KEPRIHATINAN

Selama duapuluh hari ini, Taman Ismail Marzuki dipenuhi oleh para Seniman. Nggak cuma Seniman dari ibukota Jakarta, tapi juga dari kota Bandung, Yogya, Semarang, Surabaya, Bali, dan kota yang tengah mengalami musibah: Padang. Sejak tanggal 5 sampai 24 Oktober 2009 ini, mereka turut memeriahkan sebuah festival seni yang pada tahun 2009 ini sudah memasuki usia ke-6, yakni Festival Kesenian Indonesia.

Dalam Festival ini, terdapat beberapa agenda kesenian tentunya. Agenda dibuka dengan karnaval kebudayaan yang berlangsung Selasa, 6 Oktober lalu di halaman depan Taman Ismail Marzuki (TIM), jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat. Oleh karena berlangsung di TIM, maka yang menjadi “Tuan Rumah” adalah sekolah seni di Jakarta, which is Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Meski begitu, venue yang menjadi lokasi berlangsungnya festival ini nggak melulu di IKJ, tapi di lingkungan TIM.

Ketika Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta menampilkan orkes simfoni malam ini (07/10) dan kolaborasi tari kontemporer dan musik (08/10), pertunjukan tersebut berlangsung di Graha Bhakti Budaya. Pameran Seni Rupa, Desain, dan Fotografi berlangsung di Galeri Cipta 3. Selebihnya, di Teater Kecil berlangsung Festival Film International (Selasa-Minggu, 6-11 Oktober, pkl 16.00-18.00 wib dan 19.00-21.00 wib); Pentas tari hasil lokakarya “Why Do I Become A Dancer?” di Teater Luwes (08/10) pukul 17.00 wib; Lokakarya Animasi Eksperimental di Gedung Rektorat lt 3 (Minggu-Rabu, 4-7 Oktober 2009); dan melukis mural di halaman IKJ (Senin-Kamis, 5-8 Oktober 2009).

Tentu festival ini begitu penting bagi para Seniman dan penggila seni, begitu pula buat ‘Seniman kampus’. Mengapa saya mengistilahkan ‘Seniman kampus’? Karena undangan Festival ini lebih khusus ditujukan kepada praktisi atau seniman yang berlatarbelakang perguruan tinggi seni di Indonesia, seperti IKJ, ISI, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), dan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatika (STKW). Lebih dari itu, saya mengutip tulisan Rektor IKJ Wagiono tentang festival ini dan seniman dari perguruan tinggi. Ia menilai, bahwa Seniman generasi sekarang percaya perguruan tinggi seni itu penting (Kompas Minggu, 4 Oktober 2009). Praktek saja nggak cukup tanpa teori, atau sebaliknya. Ini terlepas dari masalah sistem pendidikan seni yang masih belum ideal.

Ideal ataupun tidak ideal sistem yang dimaksud, festival ini tetap berlangsung, sayangnya dalam suasana keprihatinan. Setidaknya ada dua keprihatinan yang saya maksudkan ini. Pertama soal gempa yang melanda di kota Padang berkekuatan 7,6 skala Richter yang terjadi Rabu (30/10) lalu. Gempa ini tak hanya menghancurkan fasilitas serta harta benda penduduk di Sumatera Barat, tapi menelan ratusan korban. Bahkan LSM luar negeri memperkirakan jumlah korban mencapai ribuan orang.

Keprihatinan yang kedua, soal skorsing 14 mahasiswa IKJ yang baru-baru terjadi. Mereka nggak diizinkan kuliah selama 2 sampai 3 semester. Artinya, mereka nggak kuliah sekitar 1 sampai 1,5 tahun, cong! Mereka yang kena skor adalah Irin Emeralda Panjaitan (Televisi), Martua Raymon Gidion (Film), Reza (Televisi); Firly Natasya (Film), Nesia Widyaningtyas (Televisi), Mardina (Televisi), Imam Santoso Mulio (Televisi); Andi Maulana (Footografi), Novel Evelyn (Televisi), Mohammad Ibnu Cipta N. (Televisi), Janivan Prapta (Televisi), Abdul Aziz (Televisi), dan Bona (Senirupa).

Menurut salah seorang anggota DPO Ikatan Alumni FFTV Dudung A. Yuliarso yang saya kutip tulisannya di mailing list Alumni FFTV IKJ, skorsing terhadap ke-14 mahasiswa IKJ itu nggak masuk akal. SK Rektor IKJ no 154/ A/ 39/ R/ IX/ 2009 menunjukan arogansi seorang Rektor. Lebih dari itu, Dudung nilai, peristiwa itu merupakan indikator seorang Rektor yang tak pantas menjadi Pimpinan sebuah perguruan tinggi.

"SK itu mempertontonkan kekuasaan, arogansi dan paranoid para birokrat IKJ," tulis Dudung di milis tersebut. "Mereka telah menempatkan mahasiswa sebagai musuh yang harus dibasmi. Mereka mencabut hak mahasiswa untuk mendapatkan pendidikan yang baik.Hal ini menunjukkan pengelolaan pendidikan yang sungguh tidak pofesional".

Skorsing berawal dari keinginan mahasiswa membuat Apresiasi Seni 2009. Nama tersebut sebenarnya buat mengganti istilah ospek atau mapram. Tahu dong apa saja kegiatan yang dilakukan selama Ospek? Buat kebanyakan mantan mahasiswa, ospek dianggap tak lebih sebagai ajang "balas dendam” yang dilakukan Senior pada Junior. Oleh panitia, ospek dianggap sebagai bekal buat mendidik mentalitas mahasiswa dan masa depan. Buat saya, tujuan ospek kayak begitu terlalu dibuat-buat. Terus terang dan beberapa teman saya setuju, ospek sama sekali tidak berpengaruh pada mentalitas atau buat bekal masa depan. Hal tersebut dua hal yang berbeda. Ospek ya ospek, mendidik mental ya lain lagi.

Meski sudah dilarang menyelenggarakan Apresiasi Seni oleh Rektor, namun panitia tersebut tetap nekad menjalanannya. Maklum, mahasiwa, cong! Penuh dengan semangat 45 dan tidak mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan kelak kalo tetap ngotot melakukan aktivitas yang jelas-jelas sudah dilarang. Dan benar saja! Kelar Apresiasi Seni 2009, Rektor mengeluarkan SK Rektor IKJ no 154/ A/ 39/ R/ IX/ 2009, yang berisi skorsing ke-14 mahasiwa.

Entahlah apa saya salah mengerti, tapi kalimat terakhir yang ditulis Dudung soal skorsing itu: "menunjukan pengelolaan pendidikan yang sungguh tidak profesional". Menurut saya agak berlebihan, terlalu emosional, dan juga nggak nyambung dengan konteks skorsing mahasiswa. Antara skorsing dengan profesional adalah dua hal berbeda. Apakah karena mahasiswa diskorsing lantas sebuah lembaga pendidikan atau Rektor dianggap tidak profesional? Bukankah sebelumnya sudah ada prosedur, bahwa mahasiswa sudah diperingatkan agar tidak membuat Ospek atau Apresiasi Seni dan kemudian dilanggar?

Terus terang barangkali saya terlalu tolol untuk mengerti dan memahami "politik" yang terjadi di dalam kampus IKJ. Selama ini saya kurang care dengan masalah-masalah seperti itu, karena mungkin saya terlalu rindu pada "kedamaian". Hidup tanpa "perang". Maklum, menurut buku karya Florence Littauer berjudul Personality Plus, saya masuk golongan phlegmatis yang cinta damai. Bukan golongan koleris atau sanguinis. Lebih dari itu, saya cuma mencari ilmu seni, jadi Sarjana seni, dapat ijazah, dan cari kerja buat menghidupi anak-istri. That's it!

Kasus skorsing itulah yang saya sebut sebagai keprihatinan yang terjadi di tengah-tengah Festival Kesenian. Satu pihak mencoba menjalankan hak dan ternyata dianggap menjadi Pimpinan otoriter, karena kurang akomodatif pada mahasiswa, di pihak lain merasa diri paling benar sedunia. Ujung-ujungnya, emosi meninggi dan ruang-ruang komunikasi menyempit. Terjadilah kebuntuan antara pihak kampus -dalam hal ini Rektor- dan mahasiswa.

Namun saya yakin, baik Rektor maupun mahasiswa punya satu keinginan yang sama, yakni berkesenian. Cara berkesenian Rektor melalui pengajaran teori dan praktek lewat kampus, yang bertujuan mencetak Seniman-Seniman 'kampus' yang profesional dan kaliber internasional (tanpa harus melewati ospek atau menggunakan narkoba). Pihak lain, yakni mahasiswa -termasuk 14 mahasiswa yang diskorsing maupun mahasiswa baru- ingin tumbuh dalam lingkungan kampus yang bebas berkreasi, sehingga mampu berkompetisi dengan 'Seniman-seniman kampus' lain (juga tanpa harus melewati ospek atau menggunakan narkoba).

MAU BERANTAS KORUPSI ATAU KPK?

Polisi dan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) itu ibarat musuh dalam selimut. Yang satu merasa memiliki kewenanga dalam menyidik maupun menyelidik. Satunya lagi merasa punya hak prerogatif buat menangkap Koruptor. Jangan heran, di lapangan mereka menggunakan istilah: “siapa cepat, dia dapat”. Siapa yang lebih dulu menangkap Koruptor, lembaga itulah yang dianggap pertama kali layak mendapat pujian. Begitu sebuah lembaga merasa “kecolongan” gara-gara nggak mampu menangkap Koruptor –atau lebih tepatnya sebenarnya sudah ditangkap, tapi kemudian dilepas lagi dan boleh pergi ke luar negeri-, lembaga itu merasa “kalah”.

Setidaknya begitulah apa yang gue simpulkan dari beberapa pakar politik dan kriminal mengenai dua lembaga negara yang luar biasa ini. Dua lembaga ini sesungguhnya punya andil besar dalam memberantas korupsi. Wong mereka punya kewenangan, kok. Tetapi namanya juga manusia, sudah menjadi karakter kalo ada orang lain yang punya kewenangan sama, biasanya timbul kecemburuan. Sirik. Bukannya berkordinasi buat kepentingan lebih besar, yakni memberantas korupsi, eh malah saling menjatuhkan. Mereka bekerja sendiri-sendiri, tanpa kordinasi dan inilah yang pada akhirnya mejadi musuh dalam selimut.

“Koruptor itu lahan gue, elo jangan ngambil lahan gue dong,” kata pakar politik dan kriminal yang nggak mau membuka KTP-nya.



Hah?! Koruptor dianggap sebagai “lahan”? My friends, hal ini sudah bukan rahasia lagi. Koruptor itu semacam mesin ATM hidup. Ia bisa diperas uangnya. Sebagai orang awam seringkali kita kena tipu. Koruptor ditahan, diadili, dan dipenjara, padahal itu bisa jadi sebuah rekayasa. Secara fisik memang ditahan, diadili, dan dipenjara, tapi hidup mereka di penjara jauh lebih nikmat dibanding di rumah yang barangkali harus bertemu dengan orang-orang yan bikin hidupnya pening. Wong di penjara ada AC, sound system, televisi, buku bacaan, mau minta makanan enak tinggal pesan, delivery. Enak kan?

Sedih banget kalo Anda mengetahui kebenaran dalam dunia politik. Anda bisa nangis tujuh tahun nggak berhenti-berhenti. Sebenarnya secara naif kita juga bisa mereka-reka, kenapa begini kenapa begitu. Maksudnya, ketika ada seorang Koruptor diadili lalu dipenjara, eh cuma setahun dua tahun bisa bebas. Begitu maling ayam yang nggak punya duit, bisa dipenjara bertahun-tahun. Udah digebukin sekampung sampai mukanya bonyok, eh masih hidup dalam terali beberapa tahun. Gokil nggak?

Padahal gue yakin banget, dibawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, polisi mampu berbuat yang terbaik. Kabarnya, Pak Bambang Hendarso ini orangnya “bersih”. Ia berhasil menumpas perjudian di Medan, makanya usia dinasnya di Medan nggak lama. Ini juga dialami oleh Kapolri sebelumnya Jendral Sutanto yang juga dikenal penumpas perjudian di Medan, yang menyebabkan Raja Judi di sana nggak bisa berkutik.

Kalo Pak Bambang dengan kearifannya bisa melakukan kordinasi dengan KPK, gue yakin banget Korupsi sedikit demi sedikit bisa dibasmi. Kalo korupsi dihabisi, wah itu perlu waktu lama. Bukan tidak mungkin, tapi butuh beberapa generasi, karena orang miskin pun sudah ikut-ikutan korupsi, kok. Bahkan ada satu aliran agama yang melegalkan mencuri, selama orang yang dicuri bukan anggota aliran agama itu. Gokil kan?

Masalahnya sekarang ini, KPK dianggap musuh. Polisi mengganggap lembaga pemberantas korupsi ini over lapping alias selalu mengambil pekerjaan polisi, sehingga polisi merasa dilangkahi. Nggak heran kalo ada mural –lukisan di tembok, bo!- yang judulnya menurut gue cukup unik: MAU BERANTAS KORUPSI ATAU BERANTAS KPK?

FILM SEKS INDONESIA KEMASAN HOROR

Inilah film-film seks Indonesia yang dibalut dengan kisah horor...















Tuesday, October 6, 2009

WAJAH KETUA MPR BARU KITA

Nggak ada yang bisa menduga jalan hidup manusia. Tapi anehnya jalan hidup yang dimaksud ini pun bukan, karena kuasa Tuhan. Manusia lah yang mengatur jalan hidup agar manusia ini selamat dan aman dalam menjalankan bisnis-bisnisnya. Meski dikenal jago bolos nomor wahid, seseorang bisa menjadi Ketua, menjadi Pimpinan.

Itulah gambaran yang terjadi di parlemen kita. Barangkali Anda sudah tahu, kita memiliki Ketua MPR baru. Namanya Taufik Kiemas. Tentu Anda sudah tak asing lagi dengan nama ini. Ia bukan saudara (alm.) Taufik Savalas atau Taufik Hidayat, tapi ia adalah suami Megawati Soekarnoputri. Tapi Anda pasti banyak yang tidak tahu, bahwa sebelum menjadi Ketua MPR, Kiemas adalah anggota DPR periode 1999-2004. Bukan posisinya sebagai anggota DPR yang ingin saya bicarakan, tapi berdasarkan data Forum Komunikasi Massa (FKM) -forum yang beranggotakan pekerja jurnalistik di lingkungan DPR/ MPR- yang penulis kutip dari tabloid Monitor edisi 62 tahun II (2-8/09/09), Kiemas menduduki rangkin teratas sebagai anggota DPR yang rajin membolos.

FKM mencontohkan pada persidangan II tahun 2001-2002, Kiemas seringkali mangkir. Masuk daftar anggota DPR pemalas, tak membuatnya berubah sikap. Ia tetap cuek bebak. Ketika terpilih lagi menjadi anggota DPR periode 2004-2009, juragan SPBU ini tetap rajin membolos.

Anehnya, anggota Deperpu PDIP, AP Batubara menilai tidak ada kolerasi antara membolos dengan menjadi Ketua MPR. Batubara bilang, Kiemas sangat pantas memimpin MPR, karena ia merupakan politisi senior yang piawai dalam berpolitik. Lebih dari itu, Kiemas memiliki nasionalisme yang cukup kuat.

“Sesuai dengan ideologi PDIP, mengawal Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah harga mati. Dan itu ada dalam jiwa Kiemas,” kata Batubara yang dikenal juga sebagai politisi senior di PDIP.


Siapapun orangnya, kaya atau miskin; darimanapun asalnya, ujung gunung sampai kota besar; menjadi anggota MPR/ DPR merupakan jabatan yang sangat 'menjanjikan'. Persetan nantinya begitu terpilih atau lebih tepatnya diamanatkan oleh rakyat, jabatan itu digunakan dengan baik atau tidak.

Saudara-saudaraku sebangsa setanah air, demikian itulah wajah Ketua MPR kita yang baru. Kita patut mencontoh beliau sebagaimana dikatakan Pak Batubara yang panas dan membara itu, yakni memiliki jiwa Pancasila, menyelamatkan UUD 1945, dan NKRI. Yang tak kalah penting dari ketiga hal itu, yakni rajin-rajinlah membolos, karena dengan membolos kelak jalan hidup Anda bisa jadi menjadi Pimpinan di sebuah parlemen pilihan rakyat. Sebuah contoh yang luar biasa bukan?

Saya jadi ingat lagu sewaktu TK dulu. Lagunya begini:

Amrin membolos, kata bu Guru...

SAMA-SAMA CARI MAKAN

Entah benar atau cuma stereotype kalo karakter orang Indonesia adalah "gak tahu aturan". Bukan cuma rakyatnya yang nggak tahu aturan, pamong praja atau pemerintah daerahnya pun juga sama, nggak tahu aturan.

Trotoar yang seharusnya berfungsi sebagai pejalan kaki, eh dipergunakan bukan semestinya, yakni dijadikan lokasi dagang. Awalnya pasti dimulai dari satu dua pedagang, lama-lama berkat kongkalikong pihak kelurahan atau kecamatan, pedagang mulai bertambah. Akhirnya selurut trotoar pun terisi oleh para pedagang.

Sebagai warga yang suka jalan kaki, saya seringkali kesal dengan pemandangan ini. Trotoar yang dikhususnya buat kita-kita yang berjalan kaki, eh jadi gak ada lagi. Yang tersingkir justru para pejalan kaki, dimana harus berjalan di jalan raya yang sebenarnya cukup berbahaya. Siapa yang bertanggungjawab kalo kita terserempet kendaraan bermotor?

Terus terang bukan saya tidak suka dengan Pedagang sektor informal. Tapi kalo para pedagang ini mengambil hak pejalan kaki, itu yang saya nggak suka. Saya setuju kalo ada kebijakan yang mengusir mereka agar trotoar difungsikan kembali untuk para pejalan kaki.

Pemandangan sebagaimana foto yang saudara-saudara plototin ini pasti banyak terjadi di Indonesia ini. Inilah mengapa saya sebut, orang Indonesia sebagai orang yang "nggak tahu aturan". Buat mereka, yang penting bisa menghasilkan duit, untung gede, soal urusan menyusahkan orang lain, terserah apa kata loe aja.

Aparat pemerintah juga begitu. Mereka juga sama-sama gebleg. Membiarkan para pedagang berjualan di trotoar sedikit demi sedikit, ditarikin retribusi harian, bertahun-tahun dibiarkan, begitu terpilih Gubernur yang punya kebijakan menggusur, eh para pedagang dibiarkan cari tempat dagang sendiri. Mereka marah. Wajar sih marah, wong mereka punya hak berdagang, karena sudah bayar retribusi.

Carut marut ini nggak akan pernah selesai selama Pemerintah nggak konsisten dengan aturan. Selama Gubernur atau Menteri atau Presiden menganggap hal kecil ini tetap kecil, selama itu pula kondisi ini tetap bertahan. Kita jadi membenarkan sesuatu hal yang sebenarnya salah.

"Maklumlah, kita kan sama-sama cari makan..."

Sunday, October 4, 2009

MENGKAJI KEMBALI KONSEP KESETARAAN GENDER DAN HAM

Tak semua wanita punya keinginan yang sama mengenai isu kesetaraan gender. Wanita yang berbeda ini bernama Saur Marina Manurung. Bagi wanita yang dikenal dengan nama Butet ini, konsep hak azasi (HAM) manusia atau kesetaraan gender adalah konsep-konsep asing yang bisa merusak sistem adat yang telah berjalan normal. Gara-gara tak sejalan dengan dua konsep itu, ia menolak beberapa lembaga asing sebelumnya hendak membantu Sokola, sebuah lembaga pendidikan untuk memberdayakan orang Rimba.

Butet memang berbeda. Ketika banyak aktivis memandang hak perempuan sebagai universal dan wajib diterapkan di mana saja, ia punya keyakinan ini sendiri. Ia menilai konsep kebahagiaan tak bisa dipukul rata.

“Kita tak bisa menyamakan definisi kebahagiaan. Perbedaan budaya adalah fakta yang harus dihormati,” kata Sarjana Antropologi Universitas Padjajaran ini (lihat buku Catatan Emas, Rahadiansyah dan Bejo Winarno, Bentang Pustaka, 2006, hal 177).

Buat yang belum mengenal Butet, saya kasih sedikit bocoran. Ia adalah Pejuang pendidikan yang patut dibanggakan oleh kita sebagai bangsa Indonesia. Perjuangannya adalah berhasil ‘mencerdaskan’ Orang Rimba di berbagai pedalaman via lembaga pendidikan Sokola, mulai dari Taman Nasional Bukit Duabelas di perbatasan provinsi Jambi dan Bengkulu, kampung Buyang di Makassar, desa Wailago Flores Nusa Tenggara Timur, dan Aceh.

Menurut buku Woman’s Studies Encylopedia yang penulis kutip dari buku Islam Menggugat Poligami karya Siti Musdah Mulia (Gramedia Pustaka Utama, 2004), gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, prilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat. Gender membedakan laki-laki dan perempuan dari segi non-biologis, yaitu dari segi peran-peran sosial yang dimainkan oleh keduanya.


Ini bukan terjadi karena menyetarakan gender. Tapi ini masalah cinta pada anak. Berhubungan tinggi anak belum mencukupi, ogut duduk sama tinggi, berdiri sama rendah. Kok nggak nyambung ya?

Sebagaimana manusia, gender juga membedakan sifat kodrati dan sifat sosial. Dengan ungkapan lain, gender adalah harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Di sini jelas, bahwa meski di mata Tuhan kita sama, namun Tuhan pun membedakan fungsi laki-laki dan fungsi perempuan. Namun, budaya asing berusaha menghilangkan batas-batas yang jelas yang sudah digariskan oleh Tuhan. Ya, maklumlah, tak semua orang asing percaya Tuhan.

Mengerikan memang kalo budaya asing diadaptasi ke budaya Indonesia tanpa filter. Padahal tak semua budaya asing, cocok diboyong ke budaya kita, termasuk soal hak azasi atau kesetaraan gender. Soal hak azasi misalnya. Kalo saja kita menelan mentah-mentah konsep ini, kita sebagai warga dunia bisa bebas melakukan apa-apa dengan alasan hak azasi.

Tentu sebagian dari Anda pernah tahu kasus film Buruan Cium Gue yang ditarik dari peredaran tahun 2004. Dari judulnya saja sudah sangat provokatif dan kita bisa menebah kisah film seperti apa yang akan dipertontonkan ke masyarakat. Seks ala remaja! Itulah yang membuat beberapa orang, tak cuma Psikolog seperti Sartono Mukadis, Seniman Danarto atau Putu Wijaya, tapi juga Sutradara Garin Nugroho dan Mubaliq Aa Gym menilai film tersebut sebagai bentuk ekspresi yang kebablasan.

Ini mengekang kebebasan. Ini melanggar hak azasi. Biarkan pasar yang menilainya. Jika film itu buruk dan tidak bermutu, pasti akan ditinggalkan penonton.”

Bangsa ini sudah rusak jauh sebelum film itu beredar.”

Masih banyak persoalan lain yang begitu mendesak diselesaikan seperti korupsi, kolusi, nepotisme, melebihi persoalan trivival itu.”

Pernyataan-pernyataan di atas tersebut jelas tidak mempermasalahkan film Buruan Cium Gue. Buat mereka, kita kudu menjunjung kebebasan berekspresi. Dengan menjunjung kebebasan berekspresi, it means kita tidak melanggar hak azasi manusia, dalam hal ini sineas yang membuat film itu.

Relatif sulit mengaitkan hak azasi dengan kebebasan berekspresi. Ketika seorang Sutradara memproduksi film, ia punya hak untuk membuat film apa saja demi merealisasikan ekspresinya. Apalagi kalo Sutradara yang dimaksud berjenis Sutradara ‘idealis’ yang ‘tidak mau diatur’ oleh Produser, PH, juga Pemerintah. Intinya ‘Sutradara semau gue’. Selain hak Sutradara, ada hak yang lain, yakni hak Penonton yang ingin melihat hasil film Sutradara. Meski ada dua hak di dalam produksi film, sebetulnya ada kewajiban yang harus dipatuhi sebagai warga negara yang baik, yakni mendidik dengan moral. Hal tersebut sebagaimana teori fungsionaris yang dikembangkan oleh Sosiolog Perancis, Emile Durkheim.

Menurut Durkheim, seharusnya film mengacu pada nilai-nilai kolektif yang dijadikan dasar pengembangan tertib masyarakatnya. Nilai-nilai kolektif itu harus difahami oleh seluruh warga -dalam hal ini penonton film- agar mereka tidak berprilaku menyimpang dari tata moral dan nilai masyarakatnya. Film Buruan Cium Gue bukan saja memperkarakan bahwa ciuman pada pasangan yang bukan muhrimnya (pasangan sah) adalah dilarang, tapi lebih dari itu, yakni mengajarkan ciuman yang paling bagus ketika berciuman dengan pasangan. Simak sebagian dialog dari film Buruan Cium Gue berikut ini:

Kalo loe bisa bikin simpul di tangkai ceri pake lidah, berarti loe kalo ciuman jago banget.”

Soal kebebasan berekspresi yang dianggap hak azasi, saya sependapat dengan tulisan Putu Wijaya berjudul Kebablasan Berekspresi (lihat buku Menafsir ‘Buruan Cium Gue’, Ade Armando, Penerbit Kalam Indonesia, 2004). Menurut Putu, di masa Orde Baru, pemerintah begitu ketat menahan kebebasan dengan berbagai macam rambu-rambu, hidup memang terasa dikekang. Orang terpaksa mengemas ekspresinya agar tidak menyinggung SARA, supaya tidak harus berurusan dengan penjara.

“Orang-orang kreatif seperti Rendra, Garin Nugroho, Iwan Fals, Nyoman Nuarta di masa banyak kekangan mereka tetap berekspresi, tetap di masa setelah reformasi pun terus produktif,” jelas Putu (lihat hal 10-11). “Sensor memang dapat sedikit menahan laju kuantitas ekspresi mereka, tetapi tidak pernah bisa membunuh. Bahkan justru kekangan sering malah menstimulasi alias memacu kreativitas. Sudah dibuktikan oleh berbagai telaah bahwa dalam masyarakat tertekan, biasanya gelombang penciptaan ‘bawah tanah’ justru sangat semarak. Dalam keadaan tertekanlah orang-orang kreatif berpikir dan berusaha mencari jalan terobosan untuk bisa melahirkan ekspresinya.”

Itu tadi contoh hak azasi Sutradara Buruan Cium Gue yang kebablasan, sehingga membuat film tersebut ditarik dari bioskop. Berikut ini ada lagi contoh hak azasi, yakni warga negara Indonesia yang datang ke Jakarta tanpa pekerjaan.

Para penggangur dari berbagai daerah mencoba mengadu nasib di ibu kota negara. Ini adalah sebuah wujud hak azasi. Contoh konkret persoalan urbanisasi ini terjadi semasa Gubernur Tjokropanolo (1977-1982). Gubernur ini menerapkan kebijakan lebih lunak yang menyebabkan para pendatang dari luar Jakarta buat mengadu nasib. Padahal sebelumnya, Gubernur Ali Sadikin mampu mengelola dan memanajemeni kota Jakarta periode 1966-1977 secara konseptual. Bang Ali, begitu sebutan Ali Sadikin, mampu mengontrol populasi Jakarta dengan ketat sehingga para penganggur susah untuk ‘hidup’ di Jakarta.

Kalo menggunakan konsep hak azasi, maka konsep Bang Ali pasti akan banyak menuai protes. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) penggiat hak azasi pasti jelas akan mendukung kebijakan Bang Nolly alias Tjokropanolo yang tidak membatasi seluruh warga negara Indonesia untuk mengadu nasib di Jakarta, meski statusnya penggangguran. Padahal kondisi yang membiarkan tanpa kontrol ini jelas merugikan. Populasi penduduk Jakarta hancur lebur. Para Pedagang di sektor informal membuat semerwut tata kota. Ini belum termasuk mereka yang kemudian hidup di kolong jembatan, mendirikan gubuk-gubuk di pingiran rel kereta api, dan bantaran kali menambah persoalan baru. Luar biasanya, begitu hendak digusur dan disuruh balik ke kota asal, mereka marah dan merasa hak azasinya sudah dicabut.

Sebagai lembaga yang menjunjung tinggi hak azasi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) jelas akan membantu mereka yang akan digusur. Hebatnya, sewaktu Jacob Nuwa Wea menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (1999-20004), ia berpihak pada mereka yang digusur. Katanya Pemda DKI cuma mengejar-ngejar dan menertiban rakyat kecil demi keindahan kota. Padahal sektor informal menyerap 65% tenaga kerja dari angkatan yang ada.

Terus terang, penerapan konsep kesetaraan gender dan hak azasi perlu kita kaji lagi, karena konsep ini berasal dari budaya ‘bule’ sana. Saya tidak tahu bagaimana Anda memandang dua kasus di atas (film Buruan Cium Gue dan para pengadu nasib di Jakarta) apakah cocok menggunakan konsep hak asazi atau tidak. Bagaimana soal tahu aturan? Maksudnya, seandainya kita membuat film seperti itu, apakah kita tidak memikirkan impact-nya atau akibatnya? Begitu pula dengan kemunculan para pengadu nasib di kota besar yang ‘merusak’ kontrol populasi di ibu kota Jakarta ini. Apakah kita tetap berpegang pada dalih hak azasi, sehingga kita bisa mudah melakukan apa-apa tanpa melihat kerugian yang akan terjadi?

Saturday, October 3, 2009

MENJADI CONTOH NEGARA-NEGARA ASIA

Iseng-iseng saya membuka lemari berisi buku-buku koleksi saya. Terus terang saya masih gatal untuk membaca kumpulan cerita dan prosa karya Dewi Lestari berjudul Filosofi Kopi yang belum sempat saya baca sampai habis. Padahal buku terbitan Truedee Books dan Gagas Media sudah ‘bahuela’, wong diterbitkan tahun 2006, kok. Ya begitulah saya. Setiap kali beli buku baru, tak selalu langsung kelar dibaca. Saya selalu membaca secara ‘mencicil’. Tak heran kalo buku yang berhasil menjadi ‘Karya Sastra Terbaik 2006’ versi majalah Tempo ini ingin saya kelarkan pagi ini.

Namun entah mengapa, begitu melihat rak buku, bukan mengambil buku Filosofi Kopi-nya Dee, eh justru ke buku lain. Saya justru secara random mencari buku di katalog politik. Walhasil, pilihan jatuh pada buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakjat Indonesia karya Cindy Adams.

Buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakjat Indonesia ini sebenarnya bukan buku milik saya, tapi warisan dari mertua yang kebetulan memang tergila-gila dengan Bung Karno. Di buku itu ada tanda tangan mertua saya, plus tanggal pembelian buku ini, yakni 12 Maret 1978. Artinya, buku ini umurnya sudah 31 tahun, tak beda jauh dengan usia saya kini yang ‘relatif’ tua. Namun berkat mertua saya, buku ini tetap terawat dengan baik, meski faktor ‘U’ alias ‘Usia’ tetap nggak bisa bohong. Kertas yang ada di halaman seluruh buku ini sudah berubah warna, agak kecokelat-cokelatan. Meski begitu, tulisannya masih jelas terbaca dengan ejaan lama.

Barangkali Anda sudah pernah membaca buku terbitan tahun 1966 ini, bahkan ada yang sudah khatam dan berkali-kali membacanya lagi. Wah, selamat ya! Pasti Anda pencinta Presiden RI kita yang pertama itu. Memang, buku otobiografi ini berisi pemikiran-pemikiran Bung Karno mengenai bangsa Indonesia, perjuangannya, manusia, persahabatan, agama, cinta, dan tentu saja kehidupan pribadi beliau.

Menurut saya, buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakjat Indonesia ini menarik dan cukup objektif. Mengapa objektif? Sebab yang menyusun buku ini adalah wartawan wanita asal Amerika Serikat bernama Cindy Adams. Di lembaran-lembaran awal buku ini, ada beberapa tokoh luar negeri yang memberikan komentar mengenai buku otobiografi yang diterbitkan dalam rangka hari ulang tahun Bung Karno ke-65 pada 6 Juni 1966 ini.

Otobiografi ini amat penting oleh karena sesungguhnja Indonesia adalah suatu lambang dari persoalan-persoalan jang menjangkau daerah Asia Tenggara. Buku otobiografi Bung Karno ini sungguh-sungguh berkesan. Ia merupakan gambaran jang paling tjotjok dari suatu negara jang banjak dibitjarakan di surat-surat kabar dewasa ini. Buku ini wadjib dibatja.” (Virginia Kirkus Service, November 1965).

Dipandang dari segi politik, buku ini adalah suatu studi jang menarik dari seorang tokoh jang watak dan tudjuan hidupnja disempurnakan dengan pengalaman selama 13 tahun di pendjara atau dibuang oleh karena pendirianja. Setjara pribadi, isi buku ini sangat berterus terang, bahkan suatu pengungkapan jang begitu djudjur mengenai kesukaan Presiden Soekarno kepada wanita dan keindahan dan kebentjian beliau apabila dikritik.” (Publisher’s Weekly, 22 November 1965).

Dalam buku ini, Bung Karno memang cukup jujur, terutama soal pengalaman pribadinya. Ia tak hanya mengungkapkan suatu kisah dramatis masa kanak-kanak yang miskin hingga duduk di singgasana sebagai Presiden sebuah negara yang saat itu lima terbesar di dunia dalam segi jumlah penduduk. Bung Karno tak segan-segan menceritakan sifatnya yang egois dan selalu mengejutkan banyak orang. Tak lupa juga menceritakan dosa-dosa pribadinya dan yang paling menarik, kisah drama percintaan dengan beberapa wanita.

Presiden Indonesia tersebut membentangkan riwajat hidup beliau dengan terus terang kepada para pembatjanja, mulai dari tjiumannja jang pertama untuk seorang gadis Belanda sampai pengalaman-pengalaman jang menyedihkan dalam hidup perkawinan beliau dikisahkan setjara pandjang lebar dan diuraikan seketjil-ketjilnya.” (Gezet van Antwerpen, Holland, 23 November 1965).

Mengenai percintaan, tentu cukup menarik. Namun ada dua point yang menurut saya lebih menarik buat dikaji. Yang pertama soal ideologi Bung Karno sesungguhnya. Kita tahu, ia selalu ingin mempersatukan rakyat Indonesia yang terdiri berbagai aliran. Nah, gara-gara tak pernah memihak satu partai dengan partai lain, termasuk dekat dengan partai komunis, Bung Karno seringkali dituding beraliran komunis. Padahal di buku ini ia terus terang mengungkapkan ideologinya, yakni seorang sosialis kiri.

Aku seorang Sosialis kiri dan bukan Komunis. Begitupun aku bukan seorang Komunis jang berkedok. Aku tak mungkin mendjadi seorang Komunis”.

NASAKOM adalah djiwa jang berisi ketiga kekuatan di atas mana kami berdiri tegak: NAS adalah orang-orang nasionalis jang bukan komunis, A orang agama jang anti-Komunis dan KOM orang jang beraliran komunis. Aku memulai NASAKOM dengan NAS, bukan dengan KOM.” (lihat halaman 433).

Point kedua yang menarik di buku ini soal kemajuan yang sudah dilakukan Bung Karno. Meski di tahun 1966, Indonesia masih ‘miskin’, namun berbagai kemajuan sudah dihasilkan oleh Presiden RI kita yang pertama ini, yang membuat Indonesia sangat diperhitungkan khususnya di Asia Tenggara.

Di bidang militer, Angkatan Bersendjata kami adalah jang terbesar di Asia Tenggara. Dalam kemadjuan pendidikan kami memegang nomor satu. Tjoba lihat sekolah-sekolah menengah. Mulanja kami tjuma mempunjai 32 buah. Tapi kini sudah mendjadi 2000. Ini menundjukan kemadjuan jan 60 kali lipat. Rentjana pendidikan kami sedemikian madjunja, sehingga mendjadi tjontoh bagi negara-negara Asia lainnja.” (lihat halaman 454).

Terus terang membaca halaman 454, saya sebagai warga negara Indonesia berpikir lagi: apakah negara kita benar-benar sudah maju? Atau justru sebaliknya jalan di tempat? Ingat! Apa yang diutaran Bung Karno di buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia itu terjadi tahun 1966, lho. Artinya sudah 43 tahun yang lalu. Seharusnya kalo kita menghitung dari 43 tahun lalu, kemajuan-kemajuan yang diutaran Bung Karno ini jauh lebih dahsyat di tahun 2009 ini. Baiklah kalo armada militer Indonesia masih menggunakan persenjataan ‘bahuela’, tapi yang terpenting soal pendidikan. Kalo di tahun 1966 saja kita sudah menjadi contoh bagi negara-negara Asia, harusnya nggak ada lagi para orangtua kaya raya yang kuliah di luar negeri, sehingga menyebabkan capital flight –uang berbentuk dolar yang seharusnya bisa menjadi devisa negara, terpaksa ‘terbang’ ke negara tempat kuliah anak-anak orang kaya itu-.

Buat saya, pendidikan nomor satu. Tanpa pendidikan yang luar biasa, nonsense kita bisa mencetak anak-anak bangsa ini menjadi jiwa ‘petarung’. Mereka yang memiliki mental kompetitif, enterpreneurship yang yahud punya, dan nasionalis sejati. Namun realitanya justru berbeda. Kemajuan yang sudah dipondasikan oleh Bung Karno sejak 43 tahun tak banyak berubah, bahkan cenderung relatif stuck. Pendidikan kita konon jauh di banding dengan negara-negara tetangga di Asia, bahkan setingkat Asia Tenggara saja sudah jauh tertinggal.

Kemenangan tim fisika atau matematika di luar negeri bukan merupakan indikator kemajuan pendidikan di Indonesia. ‘Kebetulan’ para pemenang punya otak encer dan diasuh oleh Pendidik yang punya komitmen pada ilmu pengetahuan, yakni Yohanes Surya. Kemenangan mereka bukan melalui sebuah sistem pendidikan formal yang diajarkan di sekolah-sekolah. Seandainya sistem pendidikan kita luar biasa, tidak berubah-rubah sesuai kebijakan Menteri yang menduduki jabatan sebagai Menteri Pendidikan, saya yakin 100%, murid-murid dimana pun akan menjadi pemenang dalam berbagai kompetisi internasional.

Menurut Emile Durkheim dalam buku Moral Education (1961), The Eavulation of Educational Though (1977), dan Eductioan and Sociology (1956) yang penulis kutip dari buku Prof. DR. Zainuddin Maliki, M.Si. berjudul Sosiologi Pendidikan (Gadjah Mada University Press, 2008), pendidikan memiliki peran penting dalam menjaga nilai-nilai moral yang menjadi landasan bagi tumbuh berkembangnya masyarakat. Jadi kalo nilai-nilai moral yang terjadi sekarang ini masih menyimpang -korupsi masih gila-gilaan, manipulasi dianggap wajar, dan tingkat disiplin yang rendah- itu tak lain akibat sistem pendidikan belum benar.

Lihatlah sekarang ini! Gara-gara sistem pendidikan yang carut marut, nilai-nilai moral yang seharusnya muncul sebagaimana dikatakan Durkheim di atas tadi, tidak muncul. Lihatlah, komisiyang seharusnya menjadi satu-satunya badan yang bisa kita percayai untuk mengikis KKN, malah ikut-ikutan melakukan KKN. Ironis!

Prof Dr. Liek Wilardjo menambahkan, sejak dulu Indonesia tertinggal, sekarang masih tertinggal, dan besok masih akan tertinggal. Untuk memajukan Indonesia, salah satu dari hal-hal (nasionalisme, civil duty) yang harus ditingkatkan adalah pendidikan (lihat Kompas Minggu, 4 Oktober 2009, hal 12). Menurut dosen paskasarjana Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah ini, pendidikan di Indonesia tanpa standar. Malaysia, Thailand, dan Singapura sudah menerapkan standar.

"Mutu doktor lulusan Indonesia ka jadi masalah. Di tingkat ini saya bersikap apa adanya. Kalau lulus, ya lulus. Kalau jelek, ya dibilang jelek. Tidak usah main-main, wong calon doktor, ya tetap tidak lulus," kata pria yang banyak menyabet penghargaan ini, salah satunya Doktor Honoris Causa bidang Sains dari Vrije Universitet, Amsterdam, Balanda (1990).

"Sikap saya soal pemberian gelar profesor juga begitu. Di Indonesia gelar profesor mudah sekali diberikan. Itu dagelan. Jumlah profesor banyak sekali," tambah suami dr. Mariani Wilaedjo, MS. ini. "Kita tiru saja seniman. Biarkan masyarakat yang menilai. Kontribusi kita ada apa tidak. Seperti seniman dikasih gelar maestro. Si seniman kan tidak pernah minta. Affandi maestro dalam seni lukis, itu kan penilaian masyarakat. Rudy Hartono maestro bulu tangkis, itu kan dari masyarakat."

Berkaca dengan realita yang ada di tahun 2009 ini, setujukan Anda bahwa pendidikan kita semakin maju dari 43 tahun lalu dan masih menjadi contoh negara-negara Asia sebagaimana yang dikatakan Bung Karno? Atau malah justru sebaliknya? Kalo jawaban Anda adalah yang kedua, sungguh sangat memalukan sekali bangsa ini, khususnya dalam bidang pendidikan.

KONSEP BULE YANG LAKU KERAS

Sekarang ini dikit-dikit hak azasi manusia. Seolah-olah sekarang ini hak azasi manusia merupakan hal yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Padahal dalam setiap hak manusia, terdapat juga kewajiban. Tapi kenapa kewajiban manusia nggak 'didagangkan' atau kurang laku?

Manusia lebih suka menuntut hak daripada menjalankan kewajibannya. Yang didahulukan adalah hak, bukan kewajiban. Kita punya hak untuk melakukan apa saja, jika dilanggar, maka ada lembaga yang membela hak azasi manusia. Begitulah konsep bule yang lebih mengedepankan sifat individualistiknya, ketimbang sifat sosialnya.







foto copyright by Brillianto K. Jaya

Friday, October 2, 2009

KAPITALISME KEURUNGKONG

Ukuran sebenarnya tidak sebesar kepiting. Panjangnya paling-paling sekitar 4 cm. Namun, binatang ini bisa berlari dengan kencang. Gara-gara punya kelebihan itu, anak-anak orang orang dewasa sering memanfaatkannya untuk kejar-kejaran. Itu dilakukan buat have fun, seru-seruan.

Namun ada satu hal yang menjadi ciri khas binatang yang masuk kategori binatang amphibi ini, yakni sebuah sifat, dimana sifat tersebut mirip dengan sifat manusia di zaman kapitalis seperti sekarang ini. Sifat yang dimaksud adalah (1) binatang ini cuma diberikan nafsu, tanpa pikiran waras; (2) jika mencoba mengganggu ketentramannya, ia dengan serta merta akan menyelamatkan diri, dengan cara masuk ke ‘rumah’ miliknya, yakni sebuah lubang yang digalinya sendiri, dan (3) ia tak segang-segang membantai bintang lain.

Binatang yang saya uraikan di atas tadi bernama keurungkong. Kalo Anda pernah ke Aceh dan berkesempatan tamasya di pantai, seperti pantai Lhoknga dan pantai Ujung Batee di Banda Aceh; pantai Kuala Raja di Bireuen, Aceh Utara; pantai Pasi Rawa di Pidie; atau pantai Kuala Beukah dan pantai Peureulak di Aceh Timur, di pingir pantai-pantai itu biasanya kita akan menemukan keurungkong.

Dengan kekuasaan yang dimiliki -dalam hal ini tubuhnya yang relatif besar, tapi belum sebesar kepiting-, keurungkong menghabisi musuh-musuhnya sampai mati. Musuh utamanya adalah sipot bui, semacam berkicot. Tak ada belas kasihan yan ditanamkan oleh keurungkong, meski sipot bui memohon agar jangan dibunuh. Lebih dari itu, yang membuat keurungkong dianggap binatang kejam, begitu sipot bui sudah konfirm mati, harta bendanya diambilnya, yakni sebuah karangka perangkat kulit lunak yang sebelumnya dimiliki sipot bui. Keurungkong tidak malu memakai harta sipot bui itu.

Sadis dan tamak. Sifat keurungkong ini mirip apa yang digambarkan oleh Max Weber. Sebagaimana Karl Marx, Weber memiliki pemikiran yang luar biasa mengenai kapitalisme. Pemikiran Weber ini dituangkan dalam karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958). Dalam karyanya ini ia mengatakan pertumbuhan kapitalisme sebagai sistem ekonomi adalah pertumbuhan kapitalisme sebagai suatu sistem moral, mirip keurungkong tadi. Bahwa (1) memperlakukan motif ‘serakah’ lebih dari sekadar ‘kegilaan’ pribadi; (2) menghilangkan ketergantungan akan bentuk-bentuk pemenuhan ekonomi yang tradisionil dan menggantikannya dengan perhitungan secara rasional dimana semua keuntungan yang diperoleh dari penanaman atau investasi sejumlah pekerja dan moral (lihat R.P. Cuzzort dan E.W. King, 20th Century Social Thought, New York, 1980, hal 81).

Marx lebih sadis lagi menggambarkan kapitalisme. Seperti keurungkong yang mengambil harta sipot bui, manusia bersaing dengan manusia lain untuk memperbanyak harta milik pribadinya. Sebab, pola pikir kaum kapitalis selalu menganggap, dengan memiliki banyak harta, maka akan lebih berkuasa, dan memiliki kekuasaan, kaum kapitalis bisa melakukan apa saja. Kekuasaan secara ekonomis, maupun politis. Penggambaran yang dikemukakan Marx jelas, sistem kapitalisme membentuk diri kita menjadi manusia-manusia serakah.

Lanjut Marx, sistem kapitalisme menjadikan manusia seperti srigala terhadap manusia lainnya. Menusia menjadi makin terasing dari sesamanya, makin menyendiri dan makin terputus hubungannya dari sesama manusia lainnya. Hubungan yang lebih manusiawi (gemeinschaft) berganti menjadi hubungan yang lebih bersifat bisnis (gesselshaft). Mengenai hal tersebut, saya jadi ingat istilah: “Ada uang, abang sayang. Nggak ada uang, abang tinggal”. Sungguh sadis bukan?

Anda pasti sudah merasakan hubungan saat ini dengan orang-orang di sekitar Anda begitu pamrih. Saya pun sudah terkena dampak kapitalisme, dimana berjumpa dengan orang cuma buat kepentingan bisnis. Menjalin komunikasi dengan perangkat canggih, cuma cari proyek. Hubungan yang saya lakukan semacam ini sungguh sangat tolol, dan Anda jangan pernah melakukannya.

Ukuran orang membantu orang lain sudah berupa materi atau kapital atau duit. Kalo ada duit, dengan segala upaya, kita akan menolong teman kita, saudara kita, maupun tetangga kita. Jarang ada, bahkan boleh dikata tak ada lagi, hal-hal yang sifatnya tanpa pamrih. Saya, Anda, dan kita pasti sepakat perubahan hubungan yang dikatakan gemeinschaft menjadi gesselschaft itu, karena kita tak ingin menghabiskan waktu kita ‘percuma’ untuk sesuatu yang tidak menghasilkan apa-apa. Padahal kata ‘percuma’ di sini cuma anggapan kita saja, belum tentu segala bentuk pertolongan tanpa pamrih adalah ‘percuma’. Tapi itulah sifat yang ditularkan di kapitalisme ini.

‘Percuma’ menghabiskan waktu tanpa pamrih, tanpa proyek, tanpa mendapatkan apa-apa, padahal seringkali mendapatkan sesuatu tanpa kita sadari di masa mendatang. Entah dalam bentuk pertemanan jangka panjang, pertolongan tetangga pada saat kita kesusahan, atau waktu kita dianggap ‘percuma’ akan digantikan dengan waktu lain.

Sebaliknya, justru kalo kita pamrih, berhubungan dengan manusia lain cuma kalo ada ‘maunya’, justru bisa kontrapoduktif atau menimbulkan dampak yang kurang baik. Teman yang sebelumnya ‘a real friend’, tapi begitu kita berhubungan lagi cuma sebatas bisnis, kemudian berubah menjadi musuh, karena bisnis yang mereka jalani mengalami krisis. Tragis, bukan? Kita jadi kehilangan teman. Coba bayangkan kalo ini kita lakukan ke beberapa orang teman, maka satu per satu teman kita tumbang alias tidak tertarik berteman lagi dengan kita dalam konteks hubungan murni sebagai ‘a real friend’.

Tragedi permusuhan antarteman, karena sifat kapitalisme ini juga dialami oleh keurungkong. Binatang ini boleh punya jiwa membunuh dan mampu membunuh lawan kecilnya, yakni sipot bui. Namun, ia adalah binatang yang dicari-cari oleh manusia untuk menangkap kepiting, yakni sebagai mangsa. Oleh karena diburu manusia, maka hidup keurungkong pun tetap tidak tenang. Kerakusannya tidak abadi. Di tangan manusia, hidup keurungkong tidak ada apa-apanya. Inilah yang seharusnya sebagai manusia kita sadar, tidak selamanya harta menjadi kekal. Toh, kita akan ‘dimatikan’ oleh sang Pencipta, dan tidak akan membawa harta apa-apa.

Thursday, October 1, 2009

KENAIKAN TARIF TOL DAN KAPITALISME ALA MARX

Menurut Karl Marx, di setiap masyarakat terdapat kekuatan yang bertentangan dan bersintesis yang tak lain adalah kekuatan ekonomi atau material. Sejarah, dengan demikian, adalah sebuah gerakan kontradiksi dan penyelesaian atas faktor-faktor ekonomis.

Suka tak suka, apa yang dilakukan pemerintah dengan menaikkan tarif tol yang sudah berlaku per 28 September 2009 pukul 00:00 lalu, sesuai dengan teori Marx yang ditulis dalam buku Class Struggle bersama Friedrich Engels (1848). Bahwa konsekuensi logis menyesuaikan tingkat inflasi dengan tarif sebelumnya mulai diberlakukan, maka PT Jasa Marga Tbk memberlakukan tarif tol baru.

Bahwa sebagai warga negara yang saat ini terbawa ke era kapitalisme, kita menerima dengan keputusan Pemerintah ini. Pemerintah tak perlu lagi melihat rentetan efek yang lazim disebut sebagai efek domino dari kenaikan ini. Pemerintah juga tak peduli soal buruknya pelayanan jalan tol, meskipun kenaikan tarif baru tol ini mencapai 20%, dimana mobil terpaksa harus antre berkilo-kilo gara-gara Petugas -tentunya pihak Jasa Marga- kurang sigap menyiapkan uang recehan.

Soal recehan ini memang dilematis. Anda tahu berapa uang receh yang harus disiapkan PT Jasa Marga per hari di seluruh gardu tol dalam kota? Rp 600 juta! Uang itu uang recehan, lho! Bisa dibayangkan, berapa jumlah kendaraan yang menggunakan jalan tol kalo uang recehan segitu aja masih langka.

Pihak PT Jasa Marga tentu tidak bisa serta merta menyalahkan pengguna tol, dalam hal ini pengendara mobil, yang tidak punya uang recehan. Memang sih, banyak pula pengguna kendaraan yang memanfaatkan tol sebagai sarana menukarkan uang receh, termasuk saya kalo kebetulan lagi punya uang seratus ribu atau lima puluh ribu. Ketidaksiapan PT Jasa Marga seringkali membuat antrean panjang, dan bahkan beberapa kali gerbang tol ditutup gara-gara uang recehan langka.

Sebenarnya PT Jasa Marga sudah mendapatkan solusi dengan bekerjasama dengan e-toll card dari salah satu Bank pemerintah. Nyatanya, tak semua pengguna tol yang selalu menggunakan jalan tol menggunakan e-toll card. Banyak orang yang barangkali berpikir sama dengan saya, ah, mending pakai uang aja. Pertama, uang terlihat wujudnya. Kedua, sekalian menukarkan uang sebagaimana yang saya ceritakan di atas tadi. Ketiga, toh nggak selalu menggunakan mobil, yakni naik sepeda. Udah gitu, kalo pun naik mobil, toh nggak selalu naik tol.

Anyway, tarif tol sudah naik. Menurut Direktur Utama PT Jasa Marga Tbk, Frans Sunito, “Sedianya kenaikan tarif tol ini terjadi pada bulan Agustus 2009, namun baru terrealisasi September ini. Dan akan direncanakan setiap dua tahun sekali akan disesuaikan kenaikannya dengan tingkat inflasi.”

Bolehlah bicara soal inflasi, namun menurut data yang penulis kutip dari Warta Kota (24/08/09), kenaikan tarif tol ini tidak akan mempengaruhi target pendapatan PT Jasa Marga sebesar Rp 3,7 triliun. Padahal hingga semester I tahun 2009, pendapatan perseroan ini sebesar Rp 1,3 triliun. Tentu dengan volume kendaraan yang menggunakan jalan tol itu banyak, udah gitu ditambah kenaikkan tarif baru, PT Jasa Marga pasti akan melewati target.

Soal pemikiran kapitalisme yang dihubungkan dengan kenaikan tarif tol ini, Marx berpendapat, situasi ini sebagai momentum yang kejam dan eksploitatif. Maksudnya apa? Buat warga kelas menengah yang gajinya pas-pasan, kenaikan 20% sungguh sangat berarti. Dalam contoh ini saya akan memakai contoh kenaikkan tarif tol dalam kota. Biasanya bayar Rp 5.500, kini harus mengeluarkan ekstra Rp 1.000 rupiah menjadi Rp 6.500. Dalam seminggu, kelas menangah ini harus mengeluarkan Rp 6.500 dikali lima hari kerja PP, Rp 65 ribu atau Rp 260 ribu/ bulan. Ini belum termasuk biaya bensin, dimana sekelas Avanza bisa mengeluarkan dana kurang lebih Rp 200 ribu/ minggu. Ini buat trayek dalam kota aja dan bisa boros, bisa pula irit. Punnggak tahu pengeluaran bensin kalo trayek sampai ke Bogor atau Kalimantan.

Sebagai warga kelas menengah, kenaikan itu sungguh ‘kejam’ dan ‘eksploitatif’. Kalo gaji golongan ini sekitar Rp 2 juta-Rp 5 juta, tentu merelakan uang sekitar Rp 500 ribu/ bulan cuma buat jalan tol dan bensin adalah ‘mengenaskan’. Sisa uang mereka tinggal Rp 1,5 juta- Rp 4,5 juta. Kenapa? Dengan membayar tarif tol mereka masih harus kehilangan waktu gara-gara macet dan fisik. Ini belum ditambah dengan tingkat stres yang tinggi, dimana bagian sebab kemacetan atau kekesalan pada pengguna jalan tol yang menyebalkan, karena kurang disiplin sering kali melewati bahu jalan, yang bukan saja membahayakan dirinya, tapi diri pengguna lain.

Guna menghemat pengeluaran, warga kelas menengah ini akhirnya meninggalkan mobil dan beralih ke motor. Dan bisa diduga, motor yang kuantitasnya udah banyak ini akan semakin banyak. Kesemerawutan semakin menggila, apalagi ditambah stereotype mayoritas pengguna motor yang kurang disiplin itu semakin menimbulkan dampak sosial yang semakin luar biasa besar. Saya berharap dan berdoa, peralihan yang dilakukan oleh warga menangah ini bukan dari mobil ke motor, tapi dari mobil ke sepeda.

Itu tadi warga kelas menengah, bagaimana warga kelas menengah-atas? Kelas menengah-atas tanpa sadar dieksploitasi oleh kenaikkan ini. Namun mereka cenderung tidak sadar soal ekspoitasi ini. Anda tentu bertanya, eksploitasi macam apa? Sebenarnya Anda sudah bisa jawab. Efek domino kenaikan tarif ini jelas mempengaruhi production cost barang-barang sekunder dan tertier, bahkan termasuk primer. Namun kebutuhan primer kayak barang-barang pokok untuk makan lebih dirasakan warga kelas menengah-bawah.

Apa yang membuat hal tersebut terjadi? Sudah barang tentu angkutan distribusi yang melewati jalan tol lah yang membuat ekonomi biaya tinggi. Ini belum termasuk pungutan-pungutan liar yang masih kerap terjadi di sepanjang jalan tol. Dan yang juga tanpa disadari warga kelas menengah-atas dan tentu saja kelas menengah-bawah dari bentuk eksploitasi di era kapitalisme sebagaimana dikatakan oleh Marx, bahwa kenaikkan tarif tol ini merupakan rencana menarik dana dari kaum the have di luar pajak, dan menyingkirkan the poor. Duit the have dikuras, sedang the poor tak bisa lagi menikmati ‘kemawahan’ selayaknya the have, karena sudah disibukkan dengan menghemat pengeluaran bulanan ini dan itu.

Menyedihkan memang, tapi inilah risiko kalo kita berada di negara yang sudah menjalankan kapitalisme. Suka tak suka, siap tak siap, kita terpaksa harus struggle for survive. Welcome to junggle!