Sunday, February 28, 2010

MULAI SEKARANG MINTA TIKET PARKIR

Terkadang kita cuek dengan kebiasaan ini, yakni minta karcis parkir. Kalo karcis yang diberikan oleh pengelola parkir di gedung atau di mal barangkali kita minta ya, karena bakal di-reimbush ke kantor, ya nggak? Itu kalo kebetulan kita sedang bertugas. Yang saya maksud minta karcis parkir adalah karcis parkir pada saat kita parkir off street atau di jalanan.

Lho ngapain juga minta tiket?

Tahukah Anda, harga satu jam parkir di jalan saat ini? Rp 1.500, cong! Artinya, kalo Anda memberikan Rp 2.000 pada tukang parkir, maka Anda rugi Rp 5 ratus perak. Buat Anda sedikit, tetapi kalo Anda kumpulkan Rp 5 ratus bisa jadi Rp 1 juta.

Barangkali Anda pikir saya pelit, kikir, dan terlalu usil dengan urusan perparkiran. Ya, terserah Anda. Tetapi dengan Anda minta karcis parkir, maka Anda bisa melakukan banyak hal.

Pertama, menolong diri si Juru Parkir menjadi jujur. Saya baru tahu harga tiket parkir off street Rp 1.500 setelah saya iseng-iseng minta, karena si Juru Parkir menagih saya Rp 4.000, padahal baru pakir mobil sekitar 1 jam. Coba kalo si Juru Parkir nggak ngasih tiket parkir, dia pasti akan menagih sembarangan ke mereka yang pakir dengan tarif sesuka hatinya, dan bilang ke Dinas Pendapatan kalo parkir di tempatnya nggak strategis, karena terbukti karcis pakir masih tetap utuh.

Selain memaksa kejujuran si Juru Parkir, juga membantu Pemerintah Kota (Pemkot) melakukan tindakan manipulasi pendapatan dalam perparkiran. Yaiyalah! Wong karcis parkir adalah bukti otentik pendapatan dalam perparkiran. Kalo kita nggak minta karcis, maka dana nggak jelas pendapatannya. Nggak ada ukurannya.




Belakangan Pemkot DKI kewalahan dengan pengawasan perparkiran di gedung. Pengelola parkir seenaknya menaikkan parkir, meski belum ada peraturan Pemkot soal kenaikkan. Nah, pengelola parkir yang bisa mengeluarkan tiket parkir aja membuat kewalahan Pemkot, apalagi Juru Parkir-Juru Parkir yang nggak memberikan karcis parkir, ya pasti akan menyulitkan Pemkot saat melakukan audit. So, sebisa mungkin mulai sekarang mintalah tiket parkir pada Juru Parkir off street.

Tuesday, February 23, 2010

CARA MENGHENTIKAN SI MISKIN MEROKOK

Pendapatan kuli pasir di kali Cisadane itu cuma tigaribu perak per pikul. Dalam sehari, ia mampu memikul lebih dari sepuluh kali. Artinya, pendapatannya bisa mencapai tigaribu kali sepuluh kali pikul, yakni tigapuluh ribu. Cukupkah hidup hanya dengan tigapuluh ribu sehari?

Dalam note ini kita tidak akan menyoroti penghasilan kuli pasir itu yang cukup kecil. Kita tidak pula meminta kuli ini menikkatkan jumlah pikulan agar mendapatkan penghasilan lebih dari tigapuluh ribu. Namun yang menjadi masalah adalah kebiasaan merokoknya. Ketika ada keinginan pemerintah buat mencabut Jaminan Kesehatan (Jamkes) buat orang miskin yang merokok, bukannya berniat memberhentikan kebiasaannya merokok, tetapi ia cuma mengurangi bungkus rokok.

“Saya akan membeli rokok yang sebungkusnya 3.500 aja,” jawab kuli pasir Cisadane itu.


Seorang pengamen yang asyik merokok. Perhatikan di jalan raya, entah itu pengemis atau pengamen banyak yang merokok. Prinsip mereka, nggak perlu makan yang penting merokok.

Saya pernah merokok dan memang sulit menghentikan merokok. Kudu dipaksa dan memaksa diri. Kita nggak bisa memaksa orang. Meski sudah banyak bukti soal rokok sebagai racun, tetapi perokok lebih banyak alasan untuk tetap merokok. Ini sebagian kecil dari alasan mereka:

* Gw udah merokok bertahun-tahun tapi nggak pernah sakit. (Yang ngomong ini pasti perokok pede. Mungkin nggak pernah sakit, tapi langsung meninggal)

* Ah, banyak orang yang nggak ngerokok, tapi matinya lebih cepat dari gw yang merokok. (Yang ngomong ini lebih jenius dari para peneliti, karena tahu jumlah orang yang mati bukan karena rokok dan jenis penyakit orang yang mati itu)

* Urusan mati bukan urusan rokok atau nggak merokok, tapi urusan Tuhan. (Yang ngomong ini cukup religius, karena yakin sekali Tuhan itu nggak concern dengan dirinya yang merokok. Tuhan cuma memberikan kesempatan manusianya mau berubah apa enggak.)

* Kalo elo tanya kenapa gw suka merokok, sama aja kalo sekarang gw balikin pertanyaannya: kenapa elo nggak merokok? (Yang ngomong ini pasti Reporter. Soalnya sudah ditanya, eh malah nanya lagi. Ngapain juga tanya-tanyaan kayak begitu ya? Kurang kerjaan!)


Salah satu poster berbahayanya merokok

Mungkin kalo yang merokok orang kaya, ya it’s ok kali ya. Begitu kena kanker atau penyakit yang disebabkan rokok, mereka bisa ke rumah sakit atau langsung meninggal. Warisan atas kematianny tetap banyak. Kekayaan turun temurun. Nah, kalo yang merokok orang miskin, ini yang jadi masalah. Udah miskin, masih ngerokok.

Itikad pemerintah buat menghentikan Jamkes pada rakyat miskin yang merokok adalah sebuah bentuk pemaksaan yang saya pikir cukup positif. Ini salah satu jalan, sebelum pemerintah menutup seluruh pabrik rokok yang kayaknya nggak mungkin terjadi. Wong pajak rokok gede, bo! Udah begitu sponsor olahraga aja banyak dari produk rokok.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, dr. Dien Emawati, M.kes., penghentian Jamkes ini bukan dalam rangka menghemat dana kesehatan, tetapi justru dalam rangka mendidik. Mendidik apa? Mendidik kalo merokok itu rugi, apalagi yang merokok itu orang miskin.

“Dengan tidak merokok, maka produktivitas akan meningkat,” jelas dr. Dien. Lho apa hubungannya produktivitas dengan merokok? “Sangat jelas! Sudah banyak bukti-bukti, bahwa merokok itu menyebabkan terganggunya kesehatan. Coba kalo uang buat merokok itu digunakan buat keluarga.”

Peneliti dari Universitas Indonesia (UI), Rita Damayanti menambahkan, bahwa merokok erat kaitan dengan kemiskinan. Dalam penelitian yang berjudul Rokok, Kemiskinan, dan Generasi yang Menghilang terdapat data yang menyebutkan perokok itu lebih banyak dilakukan oleh orang miskin, termasuk yang tinggal di desa. Lebih dari 22% pendapatan orang miskin digunakan buat membeli rokok, sedangkan buat kebutuhan keluarga cuma 19%. Gokil abis!


Orang ini sembarangan merokok di dalam mikrolet. Saya sebal banget kalo bertemu dengan orang model begini. Saya pasti akan bilang: "Pak, Bapak goblok banget sih merokok di dalam kendaraan umum."

Tambah Rita, bahwa dengan merokok, maka akan ada generasi yang “menghilang”. Kita tahu, bahwa kadar nikoton yang masuk ke tubuh mempengaruhi apa yang terjadi dalam tubuh kita. Ujung-ujungnya, keturunan kita akan mendapatkan gizi atau asupan yang kurang baik dari tubuh si perokok. Dengan memiliki gizi buruk, maka otomatis daya tahan tubuh akan berkurang. Akhirnya kita menjadi kurang produktif.

Sebenarnya kebijakan yang baru diusulkan ini sudah lama diaplikasikan pada asuransi. Kalo Anda ikut asuransi, biasanya ada salah satu klausal yang menanyakan soal merokok ini. Kalo kita sebagai orang yang diasuransikan dan merokok, maka asuransi bisa membatalkan klaim kesehatan apabila penyakit yang kita derita disebabkan oleh rokok. Bahkan kalo anak kita diasuransikan dan kita perokok, maka asuransi juga berhak menyelidiki penyakit si anak. Maklumlah, akibat rokok bukan cuma pada si perokok aktif, tetapi perokok pasif.


Seseorang sedang melihat poster bahayanya rokok.

Akankah kebijakan Pemkot DKI Jakarta ini akan direalisasikan? I don’t know! Kalo direalisasikan apakah akan berjalan efektif? Lagi-lagi I don’t know for sure. Kalo kebijakan ini dilakukan, jangan justru mengalihkan duit Jamkes ke kantong pribadi atau dikorupsi, tetapi justru buat membantu rakyat miskin yang sedang sakit. Rakyat miskin yang nggak punya uang buat berobat, atau ditolak rumah sakit. Tentu penyakitnya bukan akibat merokok. Atau kalo perlu dana Jamkes-nya dikumpulkan buat bikin rumah sakit gratis, ya nggak?

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

NGGAK AKAN MUNGKIN TERJADI BEGINI DI PENJARA KALO NGGAK ADA PETUGAS YANG DISOGOK









Tuesday, February 16, 2010

MASIH TENTANG GEORGE, PENULIS BUKU "GURITA CIKEAS"

Seperti juga pansus bank Century yang belum juga kelar-kelar, karena berputar-putar, sehingga membuat warga masyarakat muak, kasus insiden keributan antara George Junus Aditjondro dan anggota DPR dari Fraksi Demokrat Ramadhan Pohan pun jadi ikut berlarut-larut. Kini mereka adalah "musuh bebuyutan". Satu paling seru ngomong soal korupsi, satu lagi paling seru bilang: buku Membongkar Gurita Cikeas banyak fitnah-nya.

Kejadian dua anak manusia yang menjadi "musuh bebuyutan" itu terjadi saat peluncuran buku Membongkar Gurita Cikeas di Doekoen Cafe, Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu 30 Desember 2009 lalu. Kedua tokoh adu mulut yang berujung aksi George mengibaskan kertas ke wajah Pohan. Aksi inilah yang kemudian diperkarakan Pohan ke polisi. George sendiri membantah telah memukul wajah Pohan. Padahal dalam tayangan televisi, berkali-kali diperlihatkan scene George megibaskan sebuah kertas. Oleh karena Goerge nggak merasa bersalah, sampai tulisan ini diturunkan, ia belum mau memenuhi panggilan polisi dengan alasan hipertensinya kambuh.


"Pemerintah SBY nggak anti pemberantasan korupsi, cuma buku Gurita Cikeas banyak fitnahnya," ujar anggota DPR dari Fraksi Demokrat Ramadhan Pohan.

Dalam Apa Kabar Indonesia Pagi di tvOne kemarin (Selasa, 16/02/10), Pohan diundang kembali. Kali ini topik yang dibicarakan prihal buku "Salahkah George Berantas Korupsi?" karya Sigit Suryanto, Nurjannah Intandan, Yuni Dasusiwi yang baru saja di-launching di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Percetakan Negara pada 15 Februari 2010 lalu. Menurut Pohan, pemerintahan SBY bukannya anti pemberantasan korupsi.

"Selama ini pemerintah SBY sudah membuktikan mengungkap kasus-kasus korupsi dan tidak tebang pilih," ucap Pohan. "Jadi nggak benar kalo pemerintah SBY anti pemberantasan korupsi. Namun khusus buat buku Membongkar Gurita Cikeas, saya kira banyak fitnah-fitnah yang dibuat oleh George."



Buku Salahkah George Memberantas Korupsi? ini dianggap sebagai kelanjutan buku Gurita Cikeas. Sebab buku ini berisi pula Surat George buat Presiden Soeharto tahun 1997; surat George buat aktivitis 1998; pidato penolakan George saat menolak PLTN Muria; dan diskografi George tentang Presidential Watch. Pokoknya semua masih tentang George, lah!

Entah buku ini akan dilarang lagi peredaraannya atau malah dibiarkan oleh pemerintah. Kalo dilarang, yakinlah seluruh warga negara Republik Indonesia ini akan mengecam pemerintah SBY yang nggak beda dengan Orde Baru (Orba) yang otoriter. Dikit-dikit sensor, dikit-dikit dilarang, dianggap subversif. Para pencinta buku merasa hak mereka membaca sudah dibatasi.

Kalo dilarang, yang ada pihak yang paling beruntung, yakni pedagang buku bajakan dan pedagang asongan. Anda tahu? Beberapa hari setelah di-launching, buku ini sudah berada di tangan seorang pedagang yang siap-siap menduplikasikan buku ini. Kalo dibreidel, buku asli akan diduplikasi alias dibajak dan dijual di perempatan jalan.


Ini dia buku Membongkar Gurita Cikeas punya saya. Saya beruntung banget dapat buku Membongkar Gurita Cikeas. Wong yang asli tanpa harus ngotot banget buat membeli. Tapi memang dasar jodoh. Di depan mata ada yang menjual. Buku asli, harga asli. Muantab!!!

Sekadar mengingatkan, buku Membongkar Gurita Cikeas yang sampai saat ini masih dijual di jalan raya, harganya masih relatif tinggi, yakni 60 ribuan. Padahal harga aslinya nggak segitu, yakni Rp 35 ribu. Saat pertama kali heboh, harga buku itu Rp 150 ribu, kemudian turun menjadi Rp 135 ribu. Alhamdulillah saya berhasil membeli buku asli di toko buku, ya tentu dengan harga aslinya.

Nah, apakah buku Salahkah George Memberantas Korupsi? yang diterbitkan oleh anak perusahaan Galang Press, Jogja Bangkit Publisher ini akan dilarang? Atau dibiarkan oleh pemerintah? Yang pasti, dilarang atau nggak dilarang, keduanya sama-sama menguntungkan banyak orang.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Monday, February 15, 2010

JANGAN AMBIL YANG KOTOR, NGGAK BAKAL JADI DAGING

Setiap kali ngegowes sepeda atau naik kendaraan umum, saya selalu menyempatkan diri ngobrol dengan orang-orang yang kebetulan ada di sekitar situ. Beberapa waktu lalu, pada saat saya berhenti ngegowes buat minum air mineral, saya sempat berkenalan dengan pria yang profesinya sebagai kenek atau kondektur Metromini. Namanya Bang Bolong.

Awalnya saya cuma ngobrol hal sederhana seperti tempat tinggal dan kondisi hidupnya. Bang Bolong mengaku, hidupnya makin lama, makn miskin. Meski sejak dari orok (maksudnya sejak dari bayi) sudah berada di Manggarai, ia nggak punya rumah pribadi. Ia masih mengontrak rumah.

"Hidup saya dari ngenek (maksudnya menjadi kenek) aja," ujar Bang Bolong, yang sudah menjadi kondektur S-61 jurusan Manggarai-Kampung Melayu beberapa tahun ini. "Sementara istri saya jadi tukang cuci."


Stiker Sri Mulyani ditiang jembatan penyebrangan depan Komdak, Gatot Subroto. Koboi, nek!

Anak bang Bolong yang paling tua belum mendapatkan pekerjaan. Ia mengerti mengapa seperti itu, karena anaknya memang berpendidikan rendah. Anaknya nggak ada yang lulus SMA. Semua cuma tamat SMP.

"Nggak ada yang tertarik ngambil sekolah lagi," aku Bang Bolong.

Oleh karena nggak punya pekerjaan, anaknya banyak di rumah. Ketika saya tanya kenapa nggak menjadi kondektur sebagaimana dirinya, bang Bolong mengaku nggak ingin anak-anaknya menjadi kondektur. Alasannya, ia takut pergaulan anak-anaknya menjadi rusak. Maklum, di Manggarai terkenal sebagai kasawan rawan, entah itu rawan terhadap penodongan maupun narkoba.

"Lebih baik anak-anak saya nggak menyusahkan orangtua, ketimbang mereka berbuat yang nggak baik."

Memang sungguh "aneh" dengan sikap bang Bodong. Di satu pihak nggak membimbing anak-anaknya berpendidikan formal sampai lulus SMA bahkan kalo perlu berjuang sampai ke perguruan tinggi, di pihak lain bang Bolong justru mendidik anaknya dari segi moral.

Soal moral, bang Bolong juga menerapkan pada sang istri. Buatnya, kejujuran jauh lebih baik daripada uang maupun jabatan. Kejujuran adalah segala-galanya. Tanpa sikap jujur, kita nggak akan mungkin menjadi orang yang bermoral.

Salah satu contoh kejujuran adalah ketika istrinya menemukan uang 50 ribuan di kantong celana kotor. Pada saat hendak mencuci pakaian-pakaian kotor, uang yang relatif besar buat mereka itu ditemukan. Oleh istrinya, uang itu ditunjukkan pada bang Bolong. Lalu apa tindakan bang Bolong?

"Kembalikan uang itu pada pemiliknya," ujar bang Bolong pada istrinya saat itu. "Jangan pernah elo ambil uang kotor. Nggak bakalan jadi daging. Mending kita hidup dari gaji aja, yang penting uang yang kita terima halal."


Salah satu stiker di tembok jalan.

Luar biasa! Pagi itu saya belajar soal kejujuran. Soal moralitas dari seorang kondektur S-61. Saya yakin banget, pemikiran sebagaimana bang Bolong ini relatif langka di tengah iklim kapitalis dan sikap individualistik yang terjadi di tanah air kita.

Soal kejujuran, bang Bolong sempat berkomentar soal pansus bank Century yang berlarut-larut itu. Buatnya, tanpa pansus, semua orang sudah tahu siapa yang seharunya bertanggung jawab.

"Orang yang bodoh seperti saya saja sudah tahu," kata bang Bolong. "Seharusnya Sri Mulyani dan Boediono dibawa ke pengadilan. Biar di pengadilan memutuskan apakah mereka bersalah atau tidak."

PERSEPSI MENGALAHKAN KEBENARAN

Tiba-tiba saja seorang wanita berdiri di depan mata Bismar Siregar, SH. Bukan marah-marah atau melampiaskan emosi dengan cara melakukan kekerasan fisik pada wanita itu, pria kelahiran Baringin (Sipirok), Sumatera Utara, 15 November 1930 ini cuma tersenyum dan dengan lembut mempersilahkan wanita itu pulang.

Itulah salah satu kisah Bismar ketika masih menjabat Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 1984, yang beliau cerita pada saya kemarin. Saya beruntung sekali bisa berjumpa dengan salah satu tokoh penegakkan hukum yang dianggap bersih ini.



"Dahulu sebenarnya juga ada tekanan dalam menegakkan hukum," kata Bismar. "Tetapi kalo ada, semua saya pasrahkan pada Allah."

Kata "bersih" dalam penegakkan hukum di Indonesia ini boleh jadi relatif. Namun sepanjang saya mencari data soal Bismar, nggak ada "cacat" yang pernah dilakukan olehnya. Dan itu adalah sesuatu yang sangat langka. Yaiyalah langka! Indonesia itu dibilang negara hukum, tetapi pada prakteknya, yang berbicara bukan hukum, tetapi uang. Nggak heran kalo persepsi semua orang terhadap penegak hukum di Indonesia itu sangat negatif. Boleh jadi pepatah: "ada uang, hakim sayang" sudah masuk ke otak warga negara kita.

Dalam kesempatan ngobrol, saya meminta pendapat beberapa kasus hukum yang terjadi di tanah air. Yang pertama saya tanya soal kasus Prita Mulyasari. Menurut mantan jaksa di Kejaksaan Negeri Palembang (1957-1959), Kejaksaan Negeri Makassar (1959-1960), dan Kejaksaan Negeri Ambon (1960-1961) ini, hakim yang menjerat Prita ke penjara nggak punya hati nurani.

"Terlepas dari Prita itu bersalah, karena mengkritik rumah sakit Omni, tetapi ia hanya ingin mengungkapkan ketidakpuasannya pada pelayanan rumah sakit," jelas Bismar. "Harusnya bahkan pihak rumah sakit berterima kasih pada Prita yang sudah mengkoreksi pelayanan yang kurang baik dengan mengungkapkan uneg-unegnya."

Selain kasus Prita, saya juga tanya soal kasus yang menimpa Antasari. Bismar pada awalnya mengikuti kasus ini, tetapi lama-lama nggak mengikuti. Katanya, sudah muak. Seharusnya pengadilan nggak memakan waktu sampai begitu lama.

"Kasihan Antasari." kata Bismar.


Menurut Partahi Sihombing, saat ini persepsi mengalahkan kebenaran. Gara-gara, masyarakat sudah nggak percaya hukum. Penyebabnya, mafia hukum. Hakim dan jaksa sudah nggak takut Tuhan, tetapi takut pada penguasa dan uang.

Kebetulan pada saat ngobrol dengan Bismar di Citywalk, Sudirman, Jakarta Pusat, saya juga berkesempatan berkenalan dengan Partahi Sihombing, S.H.. Menurut pengacara yang sempat menangani kasus pemukulan artis cantik Marchella Zalianty terhadap Agung Setiawan ini mengatakan, bahwa saat ini persepsi sudah mengalahkan kebenaran.

Soal persepsi mengalahkan kebenaran ini diungkapkan Partahi berkaitan dengan pernyataan Kwik Kian Gie mengenai kasus bank Century yang menyeret nama Wakil Presiden RI Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

"Ketika Kwik ditanya 'kenapa Boediono dan Sri Mulyani harus mundur?', dia menjawab 'karena opini masyarakat mengatakan seperti itu, bahwa mereka harus mundur'," ungkap Partahi, yang selama menjadi pengacara seringkali diancam akan dibunuh. "Menurut saya itu yang saya sebut sebagai 'persepsi mengalahkan kebenaran'. Bahwa persepsi dijadikan landasan hukum, bukan kita menggali kebenaran dengan menjalankan proses peradilan."


Saya beruntung banget bisa berkenalan dengan Bismar Siregar, S.H., yang sampai saat ini dianggap sebagai Hakim Agung "bersih". Yang juga saya suka, ia meletakkan Al-Qur'an sebagai landasan dalam proses peradilan. Artinya hukum dan agama sangat bersingungan.

Soal benar atau salah, selama ini pengadilan memang seringkali terjadi di lapangan. Warga masyarakat membentuk opini sendiri. Opini-opini tersebut dilansir oleh media. Begitu opini sudah terbentuk dan meluas, maka munculkan persepsi, bahwa apa yang dikatakan oleh masyarakat adalah benar adanya. Padahal belum tentu.

"Tetapi itu wajar, karena masyarakat sudah nggak percaya lagi oleh pengadilan. Nggak percaya jaksa atau hakim," kata Partahi (55) yang kini sedang menangani perkara Reza Herlambang. "Ini berkaitan dengan mafia peradilan. Palunya mau diketok ke mana nih, ke si A atau si B. Tergantung sogokannya."

Menurut Partahi, munculnya mafia peradilan gara-gara penegak hukum sekarang sudah nggak takut sama Tuhan lagi. Bahkan ia mengungkapkan, banyak pengacara yang lebih percaya paranormal. Waduh, ternyata bukan cuma orang miskin yang pengen kaya saja yang pergi ke paranormal. Para penegak hukum yang notabene dari segmentasi well-educated masih percaya paranormal, bukan percaya Tuhan.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

YANG DIBENCI, YANG JADI SELEBRITI: A STORY ABOUT SUSNO DUADJI

Ketika pertama kali muncul di televisi, hampir semua pasang mata menilai, pria kelahiran Palembang ini menyebalkan sekali. Menyebalkan pertama, setiap kali berbicara, wajahnya nggak pernah lurus menghadap lawan bicara. Kepalanya selalu menunduk. Udah begitu, matanya pun lebih banyak tertutup. Cuma sesekali dibuka dan menatap mata lawan bicara.

Menyebalkan kedua, ngomongnya terdengar sombong. Seolah ia adalah orang yang nggak punya salah. Artinya, apa yang dilakukan, adalah benar adanya. Semua merupakan tuntutan jabatan. Padahal semua orang tahu, pasti ada rahasia di balik statement-statement-nya yang keluar dari mulutnya. Ada semacam tanda tanya besar yang ia sembunyikan di balik kesaksiannya.

Begitulah Komjen Susno Duadji. Pria yang akhirnya diberhentikan dari jabatannya sebagai Kepala Bareskrim Mabes Polri ini memang menyebalkan di mata banyak orang. Di atas tadi baru soal gayanya. Belum termasuk tindak tanduknya serta ucapannya.



Sekadar mengingatkan, Susno merupakan pejabat kepolisian yang kali pertama melontarkan istilah cicak versus buaya. Cecak sebagai lambang KPK, sedang buaya sebagai lambang kepolisian. Istilah tersebut merupakan buntut dari kekesalan Susno yang mengaku ponselnya disadap, terkait pemeriksaan kasus dugaan korupsi Bank Century.

“Bukan saya yang menyadap Susno, tetapi teleponnya Susno masuk ke telepon yang kita sadap. Itu saja kok. Jadi bukan kita yang menyadap Susno. Tapi Susnonya yang masuk sendiri ke penyadap kita,” jelas Bibit

Setelah Tim Kuasa hukum Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto melaporkan Susno ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Susno juga dilaporkan ke Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Mabes Polri. Ada tujuh pasal dalam pelaporan saat itu ke Irwasum.

“Di antaranya pada PP 2/2003 tentang peraturan disiplin anggota polri,” jelas Achmad Rifa’i pengacara KPK. Selain itu, Susno juga dilaporkan terkait UU KUHP pasal 421-423 terkait perbuatan yang melawan hukum.

Kini setelah lepas jabatan sebagai Kabareskrim, saya sempat menjumpainya dalam pertemuan di restoran di hotel Dharmawangsa. Wajahnya nampak segar, seolah nggak ada lagi beban yang pikul lagi.

"Sudah banyak orang yang memikirkan negara," kata Susno.

Dalam perjumpaan itu, saya nggak menyinggung soal kebenaran berita miring soal dirinya. Sebab, pertemuan kami sebenarnya buat mengajak dirinya menjadi salah satu bintang tamu di program spesial.

Sambil mengutarakan konsep program, Susno menjelaskan bagaimana dirinya saat ini. Bahwa kini hidupnya "nggak tenang". Bukan nggak tenang gara-gara dikejar polisi atau penagih hutang, tetapi justru karena popularitasnya yang meroket bak selebriti. Orang boleh saja membencinya ketika muncul di televisi, tetapi ternyata dalam kenyataan sehari-hari, ia selalu dikerumini oleh banyak orang yang ingin memintanya foto bersama. Olalah!

"Setelah saya muncul di pansus, saya kan langsung umroh dengan istri," kata Susno membuka kisahnya. "Baru juga turun dari pesawat di airport Jeddah, beberapa orang langsung meminta foto, ya berfotolah kami."

Itu baru di Jeddah. Lanjut Susno, ketika ia berkunjung ke Mekkah buat sholat, ternyata ada sekitar tiga orang sudah menunggu di belakangnya. Bukan buat ikutan sholat, tetapi minta difoto.

"Saya kaget ada tiga orang ada di belakang saya. Mereka bilang, 'Bapak Susno ya?', saya jawab 'iya'. Mereka langsung mohon izin bisa foto bareng dengan saya," ungkapnya.

Belum cukup mendapat pengalaman menjadi seorang "selebritis", para pramugari di pesawat yang ditumpanginya juga minta foto bareng. Tentu ia nggak bisa mengelak. Meski sedikit dicemberuti oleh sang istri, Susno tetap harus meladeni keinginan pramugari-pramugari yang cantik-cantik itu.

Begitulah Susno kini. Ia boleh saja dibenci banyak orang, tetapi kini ia bak "selebriti". Undangan menghadiri event-event yang kebetulan membutuhkan narasumber seperti dirinya pun mengalir. Nggak cuma di Jakarta, tetapi di beberapa kota. Kini, saking populernya, ia nggak bisa menghindar dari banyak orang.

"Wong di Singapura aja, saat lagi mendorong kereta bayi, ada orang dari Surabaya yang menghentikan saya dan minta difoto," jelasnya. "Kirain di luar negeri bisa bebas, eh ternyata tampang dan kisah saya diketahui mereka yang tinggal di luar negeri juga."

Apa yang dialami Susno, mirip dengan pepatah: you can run, but you can't hide!