Sunday, March 27, 2016

Novel "PULANG" Tere Liye Kecemplung Bak Mandi

Sebetulnya saya sudah kenal nama Tere Liye sejak nonton film "Hafalan Sholat Delisa". Jadi, ya sekitar 2005. Meski sudah kenal nama sang penulis, tetapi saya tidak pernah baca novelnya. Padahal, tiap pergi ke toko buku, saya selalu lihat deretan novel-novel karya Tere Liye, mulai dari "Moga Bunda Disayang Allah", "Bidadari-Bidadari Surga", maupun "Negeri di Ujung Tanduk".

Namun, tak satu novel Tere Liye (selanjutnya saya panggil Tere) saya beli. Bukan...bukan saya tak punya uang untuk membeli. Tapi pada saat itu saya tidak tertarik untuk membeli novel. Di rumah masih banyak novel yang belum selesai saya baca. Sampai sekarang pun saya merasa punya PR untuk menyelesaikan baca novel-novel tersebut. Selain tidak tertarik, rak buku saya sudah penuh dengan aneka buku. Saya bingung untuk meletakkan buku, makanya saya rela menahan diri untuk membeli buku-buku baru.

Entah kenapa, saya tiba-tiba pengen membaca novel Tere. Pada +Islamic Books Fair (IBF) 2016 lalu, kebetulan saya datang ke Istora dan bertepatan dengan kehadiran Tere di panggung utama untuk mempromosikan buku "Pulang". Masya Allah, mendengar penjelasan sang penulis novel, rasa penasaran ingin membaca novel Tere. Walhasil, saya pun memborong 5 novel Tere di stand Republik Penerbit.

"Mau sekalian ditandatangani nggak?" tawar mas Syahruddin El Fikri, salah seorang pimpinan di Republika Penerbit , yang kebetulan saya kenal.

"Wah, boleh mas," ujar saya.

Sepanjang saya beli buku dan kenal dengan penulis buku, saya tak pernah minta tanda tangan. Tapi entah kenapa, tawaran mas Syahruddin menarik hati saya. Tawaran makin menarik, begitu melihat fans Tere yang antre panjang seperti ular untuk meminta tanda tangannya.

"Gokil, nih fansnya Tere," ujar saya dalam hati.

Pulang dari IBF saya bingung sendiri. Novel Tere banyak sekali, kapan saya bisa menyelesaikan bacanya, nih? PR untuk membaca novel-novel yang masih "nongkrong" di dalam lemari saja belum saya lakukan. Saya garuk-garuk kepala.

Setelah cap-cip-cup, akhirnya saya memilih novel "Pulang" terlebih dahulu yang saya baca. Alasan pertama, saya sudah sempat baca satu Bab saat di IBF. Sepertinya menarik, pikir saya. Ternyata, setelah baca Bab demi Bab, novel "Pulang" karya Tere Liye ini memang dahsyat! Saking nggak mau ketinggalan Bab selanjutnya, novel ini saya bawa ke kamar mandi, eh sempat kecemplung bak mandi. Biiuuur!

Sempat sedikit panik, karena di sampul depan novel ada tanda tangan resmi sang penulis novel "Pulang" ini. Saya minta TTD Tere, pas Islamic Book Fair kemarin di Istora Senayan, Jakarta.
Alhamdulillah, TTD asli nggak "meleleh". Tetap utuh sebagaimana aslinya. Yang paling sengsara beberapa pinggiran lembaran kertas yang kena air bak mandi.


Tuesday, March 15, 2016

Mengagumi Stasiun Kereta Palmerah Jakarta Barat

Kemarin hari kereta. Bukan, bukan hari kereta nasional, tetapi hari kereta khusus untuk saya pribadi. Saya namanya begitu, karena dari pergi kerja sampai pulang kerja, saya naik kereta. Norak? Ah, enggak juga sih. Saya beberapa kali naik kereta, kok. Mau kereta ke Bogor atau saat ke Malang, saya naik kereta. Kebetulan aja kemarin saya memang berniat naik kereta.

Saya memulai naik kereta di stasiun Senen, Jakarta Pusat. Sudah lama saya nggak naik kereta dari Senen. Saya ingat banget, terakhir naik kereta dari Senen saat masih SMP, yakni saat hendak pergi ke Jawa, tepatnya ke Cepu, Kabupaten Bojonegoro. Kemarin, saya melihat perbedaan stasiun Senen ini. Ada sejumlah tambahan ornamen di stasiun, meski ada bangunan lama yang tidak dibongkar.

Dari stasiun Senin, saya menuju ke stasiun Palmerah. Namun, sebelum Palmerah, saya harus transit terlebih dahulu di stasiun Tanah Abang. Nah, saat sampai di stasiun Palmerah, saya terkagum-kagum. Betapa tidak, stasiun keretanya jauh berbeda dari stasiun Palmerah sebelumnya. Arsitekturnya jadi mengingatkan saya pada stasiun-stasiun kereta di Eropa. Semoga saya tidak saya. Kebetulan, saya sempat ke Eropa, terutama ke beberapa kota di Perancis dan Jerman. Di kota-kota di dua negara itu, saya menggunakan kereta.



Ah, semoga arsitektur modern yang ada di stasiun kereta Palmerah ini bertahan lama. Ya, seperti kita ketahui, usia bangunan di Indonesia ini kebanyakan tidak awet. Selain perawatan kurang baik, banyak tangan jahil yang merusak bangunan tersebut.

Hari kereta api saya berakhir di stasiun Manggarai, Jakarta Selatan. Saya turun di stasiun tersebut, setelah saya naik kereta dari stasiun Universitas Pancasila. 


cc +ardhian yulianto  +Cucuk Trihidayat  +Yahya Sultony  +Badra Surya +Kereta Api  +KeretaApiKita dotCom  +uya keretaapi