Krisis global yang terjadi memang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pertelevisian. Tak cuma pengurangan jumlah karyawan. Durasi body program pun berpengaruh gara-gara spot commercial break tak lagi penuh. Yang lebih lucu, Raja Host Jay Leno yang beken lewat Tonight Show, terpaksa menunda pensiunnya gara-gara dipaksa menggenjot perolehan Sales NBC.
Terlepas dari krisis global di dunia broadcasting, webisode dianggap menjadi alternatif tontonan. Menarik juga membicarakan webisode. Kenapa? Pertama, penonton yang ingin melihat kembali episode-episode yang lewat bisa mengklik fitur program yang dikehendaki. Kedua, weibisode bisa menjadi tontonan personal, dimana kita bisa melihat berkali-kali episode yang dikehendaki. Beda dengan televisi baik televisi teresterial maupun pra bayar yang nggak bisa memilih program itu kembali jika kita ingin menyaksikan lagi.
Bagi negara-negara kapitalis yang cenderung individual, barangkali webisode bisa menjadi alternatif tontonan. Di tengah keterbatasan waktu, mereka bisa menyaksikan sendiri episode-episode program yang tak sempat disaksikan. Saat menyaksikannya pun bisa secara personal dan dimana pun berada. Tinggal membuka laptop dan lokasi yang wifi atau mencolok kabel internet langsung bisa mengakses webisode. Mau di tempat tidur, di meja makan, dan saat melakukan aktivitas olahraga di rumah, kita bisa melihat episode-episode yang dikehendaki.
Namun, menurut saya webisode belum “menarik” diwujudkan di Indonesia. Kenapa? Banyak faktor yang menyebabkan webisode tak akan “laku” sebagai produk dagangan. Pertama, jumlah pemilik internet belum sebanyak di negara kapitalis seperti Amrik. Bahkan mungkin di Amrik sendiri, hampir 90% warga negara sudah menggunakan internet seperti layaknya menggunakan mobil, dengan kata lain seperti kebutuhan primer.
Berbeda di Indonesia. Jumlah pemakai internet belum masuk ke angka 90%. Internet belum sebagai kebutuhan utama. Sehingga rumah-rumah yang menggunakan internet belum banyak. Meski area wifi sudah banyak di kota-kota besar di Indonesia ini, khususnya di Jakarta, namun itu pun tidak menjamin gagasan webisode sebagai alternatif tontonan.
Kedua, kalau pun webisode nakad diproduksi oleh stasiun televisi nasional atau production house, jumlah penontonnya tak sehebat penonton televisi. Sekadar gambaran, biasanya webisode menampilkan program-program yang memiliki jumlah penonton cukup banyak di televisi, misalnya soap opera. Di Indonesia, soap opera boleh dikatakan sebagai sinetron. Penonton sinetron berada pada segmentasi C-D-E. Memang penonton mayoritas. Tapi penonton mayoritas di televisi, bukan pengguna aktif internet. Ironisnya, barangkali penonton ini belum melek internet alias tidak tahu apa itu internet.
Meski krisis, televisi tetap sesuai khitah-nya. Artinya, sesuai kodratnya sebagai media di ruang keluarga. Menurut saya, ini merupakan sebuah psikologi penonton yang harus kita perhatikan. Dimana di Indonesia, segala sesuatu yang gratisan akan “dimanfaatkan”. Sementara hal yang harus mengeluarkan uang, misalnya pay-television apalagi webisode yang via internet, akan penonton pikirkan beberapa kali untuk “memanfaatkan”.
Boleh jadi, saat ini jumlah pemakai aktif internet masih sedikit. Meski begitu, beberapa stasiun televisi tetap memanfaatkan website sebagai ajang menarik minat audience yang kebetulan juga aktivis di dunia maya. Salah satu satu stasiun televisi swasta tersebut adalah tvOne. Sebagai televisi berita, website menjadi bagian penting, dimana di websitenya terdapat beberapa cuplikan berita (hard news) yang sudah ditayangkan di stasiun televisi tersebut. Selain itu, mereka yang mengakses website tvOne akan melihat live streeming program acara yang sedang on air.
Tulisan ini dibuat dalam rangka kuliah on line
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
No comments:
Post a Comment