Sejak masih di dalam perut Nyokap, cita-cita gw cuma satu: menjadi orang kaya. Lumrah aja, gw bukan dilahirkan sebagai anak orang kaya. Biasanya kalo bayi anak orang kaya lahir, sepatu bayinya udah bermerek. Kalo nggak Nike, ya Lotto. Baju-bajunya juga udah branded.
“Latihan jadi orang kaya sejak dini,” kata teman gw.
Anak orang kaya selalu dengan mudah mendapatkan sesuatu, yang tentu saja sifatnya kebendaan alias matrial. Tapi kalo soal transfer knowladge untuk menjadi kaya, belum tentu. Begitu juga soal karakter humble, kerja keras, toleran, nggak cengeng, dan fighting spirit, belum tentu bisa diwariskan ke anak orang kaya generasi kedua. Kalo pun ada, 1:100 anak orang kaya.
Gw juga bukan terlahir sebagai anak Pejabat. Tahu sendiri, anak Pejabat biasa pergi ke luar negeri seenak udel. Pergi ke luar negeri kayak pergi Jakarta-Bandung. Nggak tahu duitnya dari mana. Yang pasti, kalo mengandalkan gaji doang, nggak mungkin ngajak seluruh keluarga ke luar negeri dengan gaji sekelas Gubernur atau Menteri?
“Pasti duit hasil korupsi!”
“Hush! Jangan tendensius gitu!”
Lebih tepatnya, gw terlahir sebagai anak dari kelas menengah yang mencoba jadi orang kaya. Namun sampai detik ini, belum kaya-kaya. Kenapa? Konon kata Finance Planner, visi dan kebiasaan gw nggak bisa membuat gw jadi kaya. Ingat ya, kaya di sini, lebih banyak ke faktor materialis.
Bukan bermaksud mikirin dunia aja, akhirat jadi di-forget-in, lho. Bukan, bukan itu. Namun, gw percaya pada diri gw. Dengan menjadi kaya, gw bisa melakukan apa aja. Gw bisa menyumbang lebih banyak ke masjid dekat rumah gw yang atapnya udah bolong-bolong dan sering bocor kalo hujan. Gw juga bisa mengangkat anak-anak jalanan sebagai anak gw dan gw sekolahin, karena negara nggak sangup membiayai hidup mereka. Gw akan menambah jumlah rumah sakit gratis khusus orang miskin yang sekarang udah ada satu di Taman Suropati itu. Banyak cita-cita gw yang akan gw realisasikan kalo gw jadi orang kaya.
“Sayang gw belum jadi orang kaya...”
“Elu sih!”
“Gw? Kenapa dengan gw?”
Menurut temen, gw itu kayak pepatah “besar pasak daripada tiang”. Dengan gaji yang cuma 5 juta per bulan, gw selalu hidup seolah mereka yang punya gaji 20 juta atau at least 15 juta sebulan. Gw sok punya Blackbarry yang sebenarnya gak penting-penting banget dalam mengarungi bahtera hidup ini. Buat bisnis? Enggak. Buat kepentingan kantor? Enggak juga. Punya Blackbarry cuma ikut-ikutan trend. Cuma iri ngeliat teman punya, jadi pengin punya juga.
“Kecuali Blackbarry yang elo punya itu hasil keringat dan gaji loe sendiri,” ucap temen gw. “Nah elo, gaji cuma 5 juta, sok-sokan beli Blackbarry. Udah gitu, sok-sokan nyicil mobil baru pula. Mana bisa kaya coy?!”
“Ah, elo itu sirik aja kale! Elo itu cuma iri ngeliat gw punya ini dan itu. Nah, elo punya apa?”
Teman gw diam. Gw merasa menang dalam perdebatan soal gaya hidup gw. Gw merasa teman gw nggak menikmati hidup. Nggak ngitutin trend. Terlalu pelit buat enjoy his life. Padahal hidup ini kudu dinikmati. Bukankah hidup cuma sekali? Karena sekali, jadi sungguh sangat sayang kalo kita lewatkan begitu aja.
“Elo masih mau menyumbang lebih banyak ke masjid, bro?”
“Masih dong..”
“Masih mau membangun rumah sakt gratis buat orang miskin?”
“Ya iyalah...”
“Tentu masih mau jadi orang kaya kan?”
“Pastinya!”
“Ikuti gaya hidup Warren Buffet...”
“Sapa tuh?”
“Orang terkaya di dunia setelah Bill Gates!”
Malam hari, gw baca profil Buffet. Gokil abis, pria yang memiliki kekayaan 31 milyar dollar US ini jauh banget dengan gaya hidup gw. Kalo melihat kekayaan sebayak itu, seharusnya Pemilik perusahaan Berkshire yang udah punya 63 anak perusahaan ini, bisa beli apa aja yang doi mau, termasuk membagikan Blackbarry ke anak-anak miskin yang biasa nongkrong di perempatan Cempaka Putih. Namun, doi nggak melakukan itu. Percaya nggak percaya, doi nggak pernah bawa handphone, bo!
“Masa sih?” kata gw nggak percaya.
Apa lagi kebiasaan yang membuat seorang Buffet bisa menjadi The Richist Man in the World?
• Doi masih tinggal di rumah lamanya di Ohama yang cuma punya 3 kamar tidur. Padahal
kekayaannya bisa beli seluruh rumah di Pondok Indah atau Apartement termahal di Jakarta ini.
• Doi nggak pernah dikawal oleh Bodyguard atau Security berbedan segede gajah. Kalo orang kaya dimana kekayaannya itu dari hasil uang halal, pasti hidupnya aman sentausa. Nggak ada satu orang pun yang benci dan memusuhi. Beda banget dengan orang kaya yang seluruh uangnya dari hasil merampok, korupsi, manipulasi, atau membunuh orang demi eksistensi bisnis. Orang kayak begini, pasti hidup penuh ketakutan. Kalo pun berani, pasti orang kaya ini dikawal oleh Bodyguard atau dapat becking dari Polisi. Hebatnya lagi, selalu membawa senjata diupetin dalam jasnya.
• Buffet nggak pernah berpergian pake jet pribadi. Padahal doi punya perusahaan yang bergerak dalam bidang sewa jet pribadi. Beda banget dengan Pengusaha atau Politikus di tanah air, yang selalu memanfaatkan jet pribadi buat kepentingan bisnis atau negara. Padahal kita bisa mengirit jutaan dolar dengan tidak menggunakan jet pribadi.
• Last but not least, doi nggak pernah melakukan social networking dengan high sociaty sehabis kerja. Buffet lebih suka pulang cepat, ketemu keluarga, dan nonton televisi sambil makan pop corn. Sementara kita? Dikit-dikit Starbuck, dikit-dikit J-Co, dikit-dikit Senci. Apalagi kalo udah Friday, wah, perputaran uang di pusat-pusat hedon meningkat tajam. Gaji yang seharusnya bisa ditabung, menguap percuma. Alasannya, social networking.
Gokil! Inspiratif banget kebiasaan Buffet. Gw jadi malu sendiri membaca profil doi. Bercermin dengan gaya hidup gw, sekarang gw jadi ngerti dan sadar, kenapa gw nggak pernah kaya-kaya. Moga-moga Tuhan masih memberikan kesempatan hidup, buat gw mengejar ketinggalan agar jadi kaya. Moga-moga kalo gw udah kaya, otak gw nggak terkontminasi dan Tuhan tetap mempertahankan cita-cita gw yang mulia tadi itu. Dengan begitu, gw bisa masuk surga.
No comments:
Post a Comment