Pernah nggak elo protes kenapa wujud Allah cuma boleh dimunculkan dalam bentuk huruf? Pernah juga nggak bertanya-tanya kenapa salib bentuknya kayak begitu? Kenapa garis vertikalnya lebih sedikit daripada horizontalnya? Kalo kita analogikan, garis vertikal adalah wujud cinta Tuhan. Kalo dalam Islam, istilahnya hablum minallah. Sedang horizontal sebagai simbol duniawi (hablum minnas). Nah, kalo duniawi lebih besar, berarti nggak cinta Tuhan dong?
Kita sebagai Manusia yang percaya Tuhan, pasti nggak akan pernah protes atau mempertanyakan hal-hal kayak begitu. Ketika Al-Qur’an mengajarkan pada seluruh umat Islam buat percaya Allah, maka nggak ada lagi aksi protes. Padahal kita sendiri belum pernah berjumpa dengan Allah. Namun Manusia cukup percaya dengan tanda-tanda bahwa Allah itu ada.
Hal serupa juga dialami oleh umat Nasrani. Ngapain juga mempertanyakan soal salib? Bahwa salib cuma sekadar simbol. Akan percuma kalo seorang Nasrani yang mengalungkan salib di lehernya nggak pernah mampir ke gereja, ya nggak? Mending nggak pake kalung salib tapi kadar keimanannya gokil-gokilan. Ini sama halnya ada orang Islam yang memajang tasbih di kaca spion tapi yang punya mobil nggak pernah sholat lima waktu. Sholat cuma seminggu sekali, pas Jumat-an aja.
Soal simbol-simbol tersebut di atas dikatakan oleh Filusuf Eropa berdarah Jerman, G.W.F. Hegel (1770-1831). Doi dikenal dengan filosofi soal idealisme. Menurutnya, segala sesuatu yang ada di dunia ini nggak ujug-ujug muncul begitu aja (being). Ada “roh” yang menggerakkan ini semua. Nggak mungkin sperma dan indung telur tiba-tiba jadi Manusia, ya nggak? Ada “roh”, dalam konteks ini Tuhan, yang menjadikan sperma dan indung telur itu jadi daging dan meniupkan nyawa agar daging itu hidup.
Hegel membagi filosofi idealime dalam tiga zaman. Yang pertama idealisme di zaman simbolik. Ketika ide mengenai eksistensi Tuhan udah nggak cukup lagi, maka muncullah simbol-simbol. Maksudnya gini, Bro. Meski kaum Muslim atau Muslimat ngerti kalo Allah nggak boleh diwujudkan dalam bentuk gambar, karena Allah bukan Manusia atau Malaikat, maka diciptakan simbol berupa tulisan Allah. Begitu pula dengan wujud Nabi Muhammad. Nggak heran kalo di rumah-rumah atau masjid-masjid yang dipajang adalah simbol Allah dan Muhammad, bukan gambar.
Filosofi kedua idealisme lahir di zaman klasik. Kalo di zaman simbolik, ide itu diwujudkan dalam bentuk yang lebih menekankan unsur ketuhanan, di zaman klasik, ide dan bentuk seimbang. Maksudnya? Antara akhirat dan dunia seimbang, sehingga dianggap harmonis. Nggak ada lagi pertentangan: “Ah, terlalu akhirat, nih lukisannya!” Kaum sekuler bisa menikmati juga.
Terakhir adalah zaman romantik. Di zaman ini, banyak Manusia nggak puas dengan apa yang terjadi di zaman simbolik dan klasik. Manusia udah nggak puas dengan Tuhan yang cuma muncul sebagai simbol-simbol. Masa Tuhan cuma tulisan? Masa Tuhan disalib? Nggak heran di zaman ini berkembang Manusia-Manusia Atheis. Manusia-Manusia yang nggak percaya lagi dengan namanya Tuhan.
Gara-gara banyak Manusia nggak puas dan memberontak, di zaman romantik, seni jadi berkembang dengan aduhainya. Para Seniman bebas beekspresi. Nggak heran kalo di Perancis muncul istilah l’art pour l’art atau seni untuk seni. Maksudnya mendewakan seni di atas segala-galanya. Yang begitulah ciri-ciri di zaman romantik: seni jadi dewa. Dengan begitu, si Seniman juga didewa-dewakan. Saking sok tahunya, Seniman merasa, ide yang didapat bukan hasil pemberian Tuhan, tapi murni pemikirannya. Dasar Atheis, ya begitu itu deh. Para Seniman memang jadi sombong. Seniman-seniman yang merasa jenius nggak lagi ikut aturan atau tradisi yang sebelumnya udah dijalankan di zaman simbolis maupun klasik. Mereka buat aturan sendiri-sendiri.
Zaman romantik berlangsung sekitar tahun 1815-1900. Di zaman ini muncul kata-kata “jenius”, “kreatif”, dan “imajinatif”. Menusia yang mampu menciptakan sesuatu, dianggap jenius, misalnya Albert Einstain. Sementara buat Seniman-Seniman yang berhasil menciptakan karya seni, dijuluki kreatif atau imajinatif.
Adalah Friedrich Nietzche (1884-1900) salah satu filusuf yang menggulirkan gagasan “kebebasan” di zaman romantik. Menurut doi, dengan membebaskan dari masaah teologi (baca: ketuhanan) dan science (baca: metafisika), seni akan mencapai ke titik kesempurnaan. Pokoknya, pemikirannya filusuf Jerman kelahiran Rocken, Prusia yang provokatif ini benar-benar duniawi dan atheis banget deh! Bahkan saking sombongnya, doi sesumbar “The Will is Power”. Maksudnya, kehendak yang kita miliki pasti punya kekuatan yang luar biasa. Nggak ada yang bisa mengalahkan kita, even Tuhan sekali pun. Busyet dah!
No comments:
Post a Comment