Friday, May 29, 2009

BE CAREFULL MY FRIENDS! TERNYATA SEMUA CAPRES/ CAWAPRES PENGANUT NEOLIBERALIS JUGA, KOK!

Dalam perjalanan ke Pasar Festival Kuningan, saya mendapat pencerahan lagi. Kebetulan saya berjumpa dengan seorang teman yang sampai kini konsisten menjadi wartawan khusus ekonomi. Dari beliau lah saya mendapat kuliah gratis soal neo-liberalisme, yang barangkali nilainya lebih dahsyat dari kuliah on line atau kuliah tatap muka. Kuliahnya gaya baru, di atas busway!

Berita di media saat ini memang lagi menghanggat soal faham neo-liberalisme. Isu ini mencuat gara-gara dipilihnya Boediono sebagai Cawapres. Kabar yang santer beredar, mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) itu mengagung-agungkan faham yang bertentangan dengan ekonomi kerakyatan. Tuduhan semakin mengerucut dengan diposisikannya Boediono sebagai antek-antek International Monetary of Fund (IMF), World Bank, dan Amerika Serikat. Gara-gara kebijakan BI yang diamini oleh Pemerintah pro lembaga itu semua, bukan pro rakyat.

Terus terang saya nggak mudeng dengan faham-faham dalam dunia ekonomi. Sebenarnya hal ini bisa dimaklumi, karena latarbelakang pendidikan saya memang bukan dari ekonomi. Lebih dari itu, perjalanan perekonomian Indonesia nggak pernah satu dekade pun yang saya rasakan sebagai ekonomi kerakyatan. Setahu saya (ini sangat tolol!), ekonomi dari dulu ya begini-begini aja. Mal-Mal tumbuh, jalan tol berkembang, outlet-outlet yang menjual franchise menjamur, mobil-mobil built up beredar di jalanan, dan masih banyak contoh lain.


Tukang Getek ini ikut-ikutan mekanisme pasar nggak ya? Kalo di pasaran harga sekali naik getek Rp 1.000 perak, sementara Tukang ini menaikan harga Rp 2.000 gara-gara rute kalinya lebih berat (banyak sampah dan kalinya cukup dalam sehingga kalo ada Konsumen kecebur siap-siap nyebur juga). Eh, ternyata pasar menginginkan juga tarif getek dinaikkan jadi Rp 2.000 perak. Apakah ini disebut neo-liberalis atau ekonomi kerakyatan?

Sejak dahulu sampai sekarang, saya nggak merasakan ada ekonomi yang mengarah ke rakyat, deh. Kebetulan saya nggak lahir di zaman Bung Karno. Kalo pun ada, rakyat yang mana? Bukankah semua yang ada di Indonesia ini masuk kategori rakyat? Apakah subsidi yang selama ini dianggap mewakili ekonomi kerakyatan? Setahu saya, ekonomi subsidi malah justru mengajari rakyat menjadi malas bukan? Membebani negara dengan subsidi, tapi pergerakan menuju kemandirian nggak begitu signifikan berkembang. Bukankah esensi subsidi adalah sebelum kita mampu membayar mahal, pemerintah akan terus menerus menalangi ketidakmampuan rakyat? Tapi sampai kapan mampunya?

Saya nggak antiekonomi subsidi. Tapi saya antiekonomi yang membuat rakyat jadi terlena dan jadi nggak mau berkerja keras dan berubah. Analoginya, saya nggak mampu beli rumah. Sebelum mampu beli rumah, saya tinggal di Pondok Mertua Indah (PMI). Sebagai orang waras, selama tinggal di PMI, saya harus menabung agar bisa membeli rumah dan keluar dari PMI. Tapi ada banyak orang nggak waras, selama bertahun-tahun tetap tinggal di PMI. Ini namanya menantu yang keterlaluan! Disubsidi (analoginya tinggal di PMI), bukannya berusaha menabung, eh ketergantungan terus menerus.

Jadi apa sih yang dimaksud ekonomi kerakyatan? Apa pula dengan faham neo-liberalisme?

Kata teman saya, faham neo-liberalisme ini selalu bertitik tolak pada pasar. Segala hal berdasarkan ekonomi pasar. Ketika harga pasar Rp 10,-, maka harga menjadi Rp 10,-. Kalo ekonomi subsidi meski harga pasar Rp 10,-, Pemerintah akan menalangi Rp 5,-, sehingga rakyat cuma bayar Rp 5,-. Katanya, enonomi yang disubsidi seperti itu disebut ekonomi berbasis kerakyatan.


Apakah dengan menganut ekonomi kerakyatan otomatis Tukang Jagung ini otomatis akan hidup makmur? Apakah denga mengikuti ekonomi kerakyatan lantas serta merta Tukang Jagung ini nggak ikut-ikut makenisme pasar yang dianut faham neo-liberalis?

Menurut teman saya, pemerintahan SBY-JK sangat pro-Pengusaha. Indikatornya, hutang-hutang Pengusaha, ditalangi oleh Pemerintah. Kalo berbicara “ditalangi”, ini artinya pakai duit negara. Kalo pake duit negara, logikanya duit negara jadi berkurang gara-gara dipergunakan buat bayar hutang itu tadi. Salah satu cara agar negara nggak bangkrut, ya mencabut subsidi berberapa item yang seharusnya dinikmati rakyat. Lalu privatisasi BUMN atau perusahaan-perusahaan Pemerintah Daerah (Pemda), kayak PAM, sekolah, rumah sakit, dll. Lah? Ini bukannya memang udah ada sejak zaman Soeharto? Zaman Gus Dur juga nggak diberantas. Zaman Megawati? Juga nggak diutak-atik sebagai faham neo-liberalisme. Bahkan waktu pemerintahan Megawati, Menteri BUMN Laksamana Sukardi yang selalu berkampanye sebagai “Lokomotif Perubahan” itu sempat menjual Indosat ke perusahaan asing. Ini disebut ekonomi kerakyatan atau neo-liberalisme?

Adalah Sumitro Djojohadikusumo yang menjadi perintis neo-liberalisme. Ayah Prabowo ini barangkali nggak pernah berpikir kalo pemikiran soal neo-liberalisme dihujat sebagian orang. Selain Sumitro, ada sekitar 40 Ekonom yang juga menganut faham neo-liberalisme. Mereka itu antara lain Widjojo Nitisastro, Emil Salim, M. Sadli, Subroto, Sudjatmoko, Barli Halim, Rachmat Saleh dan Radius Prawiro. Mereka dikenal sebagai “Mafia Berkley”.

Rakyat memang harus dinomorsatukan. Namun isu neo-liberalisme ini jangan-jangan dihembuskan gara-gara banyak orang yang takut kerja keras. Etos kerja yang selama ini adem-adem aja, jadi panik. Sebagai contoh, Pertamina yang selama ini dikenal sebagai sarang korupsi mulai dari hulu sampai hilir, ketakutan dengan masukkan Shell atau perusahaan bahan bakar asing. Kenapa? Dahulu ketika masih monopoli, pom bensin Pertamina banyak yang curang. Angka yang ada di petunjuk nggak sesuai dengan aliran bensin. Orang-orang lebih percaya pom bensin asing soal kejujuran takaran bensin. Nggak mungkin dong Shell bohong-bohongin Konsumen? Nah, persaingan bebas inilah yang membuat Pertamina akhirnya mengkampanyekan slogan “Pasti Pas”. Dahulu berarti slogannya “Enggak Pas”.

Selama 32 tahun, beberapa BUMN terlena dengan kinerja mereka yang buruk. Pemerintah terlalu baik memberikan subsidi ke BUMN yang nggak perform itu. Padahal duit itu bisa digunakan buat subsidi pendidikan atau kesehatan rakyat. You know what? Performance BUMN yang buruk itu mayoritas gara-gara etos kerja Direksi serta para Karyawan. Selain etos kerja yang lebih banyak santainya ketimbang jiwa kompetitif, iklim korupsi, kolusi, dan nepotisme tumbuh subur. Begitu era pasar bebas yang dikatakan sebagai bentuk neo-liberalis, para Pejabat di BUMN seolah kebakaran jenggot.

Selain soal kemalasan dan takut bersaing, ada satu hal yang kudu kita fahami bersama. Indonesia kan udah jadi bagian negara global. Artinya apa? Artinya, Indonesia juga mengeksport produk-produk lokal ke dunia. Itu artinya, produk Indonesia masuk ke pasar dunia. Itu artinya apa lagi? Mekanisme pasar dunia akan membeli atau menolak produk Indonesia. Kalo berkualitas dibeli, kalo enggak berkualitas direject. Nah, mengikuti mekanisme pasar kayak gitu, artinya bukan menjalani faham neo-liberalis? Ingat sekali lagi ya, saya bukan penganut faham neo-liberalis! Saya cuma mengharapkan negara ini menjadi negara makmur, korupsinya sedikit (karena nggak mungkin kalo nggak ada korupsi), dan yang terpenting diakui di seluruh dunia sebagai salah satu negara terbaik.


Apakah kita yakin dengan menjalankan ekonomi kerakyatan mega-supermarket kayak Carrefour ini bakal nggak ada lagi? Yakin dengan menggunakan ekonomi kerakyatan outlet-outlet yang menjalankan sistem franchise yang notabene asalnya dari faham neo-liberalis dan kapitalis bisa dibabat habis? Yakin juga nggak dengan menggandalkan pasar tradisional negara kita bisa menjadi bagian dari negara global yang jelas-jelas menganut faham neo-liberalis?


Pagi itu sebelum saya naik busway, dua orang Pengamen Cilik sedang bercakap-cakap. Percakapan mereka bukan soal duit ngamen mereka yang cekak atau lagu yang akan mereka nyanyikan di bus lain. Mereka mempersoalkan bagaimana di masa pemerintahan SBY-JK seringkali terjadi pengusiran terhadap kaum marjinal: Pengamen, Pengemis, Pedagang Asongan, dan lain-lain. Mereka diperlakukan bagai Maling dan Musuh. Bahkan sebagian dari mereka ada yang meninggal gara-gara tindakan Kamtib menertibkan kaum marjinal ini.

“Mending ketika Megawati jadi Presiden deh,” kata Ratna, salah satu Pengamen yang masih duduk di kelas 4 SD di salah satu sekolah di Tanjung Duren, Jakarta Barat. “Dikit-dikit ditertibkan, dikit-dikit ditertibkan. Begitu ditangkap, langsung dimasukkan ke Panti Sosial. Padahal saya kan masih sekolah,” ungkap Ratna lagi.


Ratna (kiri) dan Lia (kanan) mengaku lebih suka kalo Presiden RI tahun 2009 ini Megawati. Mereka nggak bilang soal Megawati menjalankan ekonomi kerakyatan apa menjalankan faham neo-liberalis, tapi mereka concern soal pengusiran yang selalu dilakukan Kamtib di era SBY-JK.

Baik Ratna maupun Lia mengaku, menjadi Pengemen bukanlah keinginan mereka. Kondisi hidup yang “menjerumuskan” mereka ke dalam dunia ngamen-mengamen. Ibu Ratna yang nggak bekerja tetap, kadang mengambil cucian dari tetangga, kadang nganggur, nggak bisa membiayai sekolah. Untung Ratna mendapatkan beasiswa, sehingga masih tetap bisa bersekolah.

“Saya ngamen untuk membantu Ibu,” kata Lia. “Saya diizinkan untuk ngamen. Ya, buat bantu-bantulah. Soalnya Bapak saya sudah meninggal”.

Saya cukup beruntung berjumpa dengan mereka dan cukup beruntung masih diberikan rezeki dari Allah. Mendengar cerita mereka di atas bus sambil sedikit berteriak-teriak karena suara bus dan lalu lintas sekitar mengalahkan suara kami, sangatlah memilukan. Saya berdoa semoga anak-anak saya nggak mengalami kondisi kayak Ratna dan Lia ini. Dengan sisa duit hasil gajian yang ada di kantong, saya memberikan sedikit rezeki saya pada mereka.

“Terima kasih ya Om!” kata Lia. “Semoga Om dimurahkan rezekinya!”

Ah, nikmat juga didoakan oleh orang-orang kecil ini. Saya percaya, doa “orang tertindas” akan diterima oleh Allah. Terima kasih Ratna! Terima kasih Lia!

Sekarang, saya jadi bingung mau pilih siapa di Pilpres nanti? Pilih yang satu, disangka ikut faham neo-liberalis. Pilih yang satu lagi, kok kayak-kayaknya nggak cocok penganut faham ekonomi kerakyatan, karena punya saham di luar negeri, yang artinya ikut-ikutan menganut pasar bebas dong. It means neo-liberalis juga kan? Udah gitu konon kata orang-orang, kuda miliknya yang berharga 3 milyar. Busyet! Semua Capres dan Cawapres menyimpan saham atau dollar U$ pula. Lha?! Bukannya itu faham neo-liberalis dan kapitalis? Yang terakhir, bingung juga dibilang nggak penganut neo-liberalis, nyatanya doi Pengusaha yang jelas-jelas ikut mekanisme harga pasar. Harga pasar Rp 10, tanpa intervensi produk yang dijual juga Rp 10,-.

Kalo gw simpulkan, ternyata ketiga Capres dan Cawapres ini sama-sama penganut neo-liberalis, kok. Duh, bingung-bingung!!!!!


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

No comments:

Post a Comment