Cinta dan harta itu beda tipis. Segoblok-gobloknya kita, kita mengerti dua kata tersebut punya arti beda. Kata pertama mengacu pada sebuah perasaan sayang seseorang terhadap sesuatu hal. Sesuatu di sini bisa berwujud kebendaan, bisa pula mahkluk hidup, salah satunya manusia.
Manusia bisa mencinta matahari. Ini dilakukan oleh orang-orang Jepang. Salahkah mereka melakukan hal tolol kayak begitu? Menurut mereka sih enggak! Matahari diposisikan kayak Dewa atau Tuhan. Kenapa matahari? Benda yang dikategorikan sebagai bintang kecil ini merupakan sebuah simbolisasi pencerahan. Bahwa segala yang diawali dengan hal yang cerah, prosesnya akan luar biasa, dan berakhir dengan happy ending.
Memang nggak ada yang mengelak kalo matahari menghasilkan sumber cahaya. Lewat cahaya, akan mencerahkan seluruh pelosok yang ada di bumi ini. Ini kita baru ngomongin sinar matahari sebagai cahaya. Belum kita ngomong soal, sinar matahari sebagai sebuah proses tumbuhan berkembang, yakni dengan melakukan fotosintesis. Lalu kita bicara soal bagaimana sel surya dapat menghasilkan energi listrik atau tenaga yang mampu menggerakkan aspek-aspek yang berhubungan dengan teknis. Kaca solar dari tenaga sinar matahari, misalnya. Energi yang terkandung dalam batu bara dan minyak bumi pun sebenarnya juga berasal dari matahari.
Demi mengejar waktu, mobil ini rela mengorbankan kedisiplinan berlalulintas. Kata si Pemilik mobil, waktu adalah uang. Lagi-lagi uang, matrialistik. Ya, begitulah. Demi uang, si Pemilik mobil ini nggak peduli otaknya disamakan dengan otak Sopir angkutan umum yang melakukan hal yang sama: nggak disiplin!
Dalam dunia kesehatan, sinar matahari juga memiliki banyak kontribusi. Sinar ultraviolet-nya yang dipancarkan ke tubuh kita dari jam 6-9 pagi, akan mengubah kolesterol yang ada di bawah kulit menjadi vitamin D. Makanya kenapa banyak orang menjemurkan badan mereka ke matahari pagi-pagi, ya gara-gara alasan vitamin D itu. Bahwa kalo tubuh kita disinari matahari selama 5 menit, akan memberikan 400 IU (international unit) vitamin D. Menurut peraturan Recommended Dietary Allowances (RDA) yang bermarkas di Amrik, kita perlu 400 IU perhari.
Ibarat insulin, sinar matahari memudahkan penyerapan glukosa menerobos masuk ke dalam sel-sel tubuh. Aktivasi penyusupan yang dilakukan oleh cahaya matahari inilah yang merangsang tubuh buat mengubah gula darah (glukosa) menjadi gula yang tersimpan (glikogen) di hati dan otot. Hal tersebut akan bisa menurunkan kadar gula darah.
“Kalo dijabarin satu persatu, banyak manfaat kesehatan yang memanfaatkan energi matahari!”
Terik matahari memungkinkan buat kita menjemur segala sesuatu yang basah, salah satunya kolor kita. Buat anak-anak kos, kolor kering menjadi idaman. Maklumlah, kuantitas kolor anak-anak kos sedikit. Paling banyak punya enam kolor sebagaimana hari kuliah Senin-Sabtu. Senin pake kolor A, Selasa pake kolor B. Ketika kolor A dan B dijemur, pake kolor C. Kalo belum kering, ya dipake lagi side B-nya. Kalo matahari malu-malu menunjukan”batang hidungnya” alias mendung, ya terpaksa nggak pake kolor.
“Tapi kalo yang disembah matahari, ya tolol namanya cong!”
Penyembahan terhadap matahari, itu masuk dalam masalah cinta. Ada lagi masalah cinta yang seringkali membuat keblinger mahkluk ciptaan Tuhan, yakni cinta harta. Dua kata ini sangat melekat belakangan ini dalam kehidupan kita. Antara cinta dan harta hampir nggak bisa dipisahkan. Padahal makna cinta dan harta kalo dipisahkan beda. Harta sifatnya kebendaan, sementara cinta lebih kepada perasaan hati.
Kalo cinta dipertemukan dengan harta, maka melahirkan sebuah semiotika baru, yakni matrialism atau matrialistik. Kata matrialistik merujuk pada sebuah pola tingkah mahkluk hidup (dalam konteks ini manusia yang punya akal dan budi) yang lebih mencintai hal-hal yang sifatnya kebendaan daripada mencintai Tuhan mereka. Kalo dirinci, kebendaan yang dimaksud antara lain duit, duit, dan duit.
“Kok duit doang cong?”
“Yaiyalah! Semua benda bisa dibeli dengan duit! Coba sebutkan benda yang bisa dibeli dengan daun?”
“Apa ya?”
“Nggak ada kan? Semua pake duit!”
“Beli mobil?”
“Pake duit!”
“Beli stasiun televisi?”
“Pake duit!”
“Beli nasi di Bu Brindil?”
“Pake duit, meski bisa ngutang dulu...”
“Kuliah di IKJ?”
“Pake duit, meski bayarnya bisa nyicil sih...”
“Kawin dengan Perawan atau Janda?”
“Pake duit!”
“Eit! Khusus kawinin Janda dan Perawan, meski respsinya pake duit, tapi kalo kita nggak punya alat vital, si Perawan dan Janda nggak bakal mau kawinin kita kelee!!!!”
Duit menjadi representasi dunia matrialistis. Padahal duit juga bisa membeli sebuah jabatan. Terus terang, gw belum begitu yakin 100% jabatan itu masuk dalam kategori matrialis atau bukan. Kalo dalam bahasa Inggris sih, jabatan atau “position” masuk kategori “noun” atau kata benda. Kalo kita sepakat jabatan adalah “noun”, maka mereka yang mengejar jabatan, masuk sebagai manusia yang matrialistis.
Pertarungan buat merebut jabatan sebagai RI 1 merupakan contoh nyata bagaimana aktivitas manusia matrialistis. Bahwa kalo kemudian ada yang mengecap diri, jabatan adalah adalah amanah itu cuma sebuah kamuflase yang udah basi. Jabatan is kekuasaan. Power is everything. Dengan memiliki kekuasaan, kita bisa melakukan segala hal dan ujung-ujungnya pasti hal-hal yang sifatnya matrialistik. Begitulah karakter manusia yang udah menetapkan diri punya konsep hidup serba matrialis.
Dengan pola matrialistik, agama udah nggak ada gunaanya. Agama jadi dianaktirikan alias bukan lagi menjadi sesuatu yang sakral atau menjadi “tabungan akhirat”. Agama bisa ditukar dengan kematrialistikan. Gara-gara miskin, orang yang tadinya beragama A dengan enteng bisa masuk ke agama B. Mending bujuk rayuan masuk ke agama barunya ini nilai transfernya gede, kayak pemain bola profesional yang trilyunan rupiah itu. Kata teman gw, ada temannya yang sebelumnya beragama C pindah agama ke agama D cuma gara-gara pagar rumah.
“Hah?! Pagar rumah?!”
Jadi si pemilik agama C pengen rumahnya ada pagar yang keren, kayak orang-orang kaya gitu. Nah, someday ada temannya membujuk kalo mau punya pagar kayak gitu, kudu masuk dulu ke agama D. Dengan masuk agama D, beliau akan diberikan sumbangan berupa duit buat membangun pagar rumah. Eh, ternyata orang yang beragama C mau, ya jadilah dia kini beragama D. Edan nggak tuh?!
Pindah-pindah agama udah kayak gonta-ganti WTS. Manusia-manusia “pindah-pindah” ini udah nggak menganggap pindah agama sebagai sesuatu yang berdosa. What a hell! They don’t care about sin! Yang mereka peduli tetap matrialistik. Kalo tadi contohnya pindah agama gara-gara mau buat pagar rumah, ada banyak kasus pindah agama gara-gara pengen mobil baru, rumah baru, dan terakhir pasangan baru.
Demi seorang Wanita, seorang Pria rela pindah agama. Contoh yang masih melekat di otak gw, yakni ketika (maaf!) Indra Lesmana menikahi Sophia Latjuba. Buat gw, Sophia cantik bak Bidadari yang turun dari Gunung Kidul. Gara-gara kecantikan Wanita, otak Pria jadi nggak bekerja dengan sempurna, dan kuping yang berfungsi sebagai saluran pendapat atau kritikan tertutup rapat. Dengan enteng, Pria mau meninggalkan agama asli ke agama baru. Ini namanya in the name of love! Eh, setelah cerai dengan Sophia, Indra balik lagi ke agama yang dahulu, karena Istrinya kebetulan agamanya itu.
Pasti bukan cuma Indra yang melakukan itu. Ada banyak Indra lain yang in the name of love atau in the name of matrialism, kita pindah-pindah agama. Hi man! Please deh, think about it ekstra keras! Tapi kalo konsep hidup kita memang cinta harta, cinta tahta, cinta wanita, atau hal-hal lain yang berhubungan dengan dunia matrialistik, ya itu mah beda lagi. Better loe ke laut ajah!
photo copyright by Brillianto K. Jaya
No comments:
Post a Comment