Wednesday, June 10, 2009

KUBURAN PANCARAN SINAR PETROMAK

Dateng di kampus bawa buku tebel-tebel
Dandanan nyentrik bergaye model professor
Ngaku di rume berangkat pegi kulieh
Sampe di kampus nyasarnya ke kantin juge

Cari temen ngobrol sambil ngupi die paling doyan
Nyetanin temen ngajakin bolos kulieh
Kulieh kelar die juge ikut pulang
Belaga pilon kopinye lupe dibayar


Ketika lagu Gaya Mahasiswa tercipta, saya masih pakai celana pendek warna biru. Di seragam itu, ada tulisan dan lambang OSIS di kantong kemeja sebelah kiri. Sementara di sebelah kanan kemeja itu ada name tag bordiran warna hitam dengan huruf berwarna putih. Itulah seragam Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang saya kenakan tahun 80-an dan sampai sekarang masih begitu.




Ketika SMP, kencing saya belum lurus. Air seninya masih mancur ke kanan dan ke kiri mengenai kepala dan badan orang. Ada juga sih orang yang memanfaatkan air seni saya buat diminum. Kata mereka, air seni saya segar kayak air dari pegunungan. Terlepas kelakuan saya yang norak itu, lagu milik Pancaran Sinar Petromak (PSP) di atas tadi begitu melekat. Kalo saya mendengarkan lagu itu, seolah saya berubah wujud jadi seorang Mahasiswa. Seorang yang katanya intelektual calon profesional. Keren banget rasanya, meski terdengar tua sebelum waktunya.

Setiap kali kelar sekolah, saya membayangkan nikmat sekali menjadi mahasiswa. Duduk-duduk di sebuah taman, di bawah pohon rindang di kompleks Universitas Indonesia, Rawamangun (sekarang nggak ada lagi, karena udah jadi Universitas Negeri Jakarta) sambil main gitar. Maklum, lokasi SMP saya berada di kompleks Universitas Indonesia. Belajar nggak kayak anak-anak sekolah, masuk pagi pulang siang. Menjadi mahasiwa tergantung mata kuliah. Kadang sehari cuma kuliah sekali, kadang malah nggak ada jadwal kuliah.

Entah mengapa, mahasiswa sekarang nggak kayak mahasiswa zaman PSP. Dimana solidaritas, egaliter, dan daya juang begitu tinggi. Solidaritas mahasiswa sekarang udah “nggak murni” lagi. Konon banyak kepentingan yang masuk di dalam aksi-aksi para mahasiwa. Ada keinginan pribadi yang ingin diwujudkan dalam demonstrasi. Nggak heran pentolan-pentolan mahasiswa yang sebelumnya aktif berdemonstrasi yang akhirnya berpihak. Ketika diberikan jabatan atau duduk di bangku empuk, sikap Demonstran berubah. Rakyat bukan lagi tema yang layak diperjuangkan. Uang dan jabatan lah tema berikut.



Solidaritas sekarang cuma isapan jempol. Lihatlah pertunjukan tawuran minggu lalu antar Yayasan Psikologi Indonesia (YAI) dan Universitas Kristen Indonesia (UKI) di Salemba, Jakarta Pusat. Buat saya, mereka adalah contoh nyata sikap asli intelektual muda kita saat ini. Bahwa ada kampus yang sirik dengan kampus tetangga yang punya gedung mentereng, sementara kampus tetangga jelek minta ampun. Atap masih genteng, tembok udah retak-retak, dan cat udah mengelupas. Sementara di samping bangunan kampus yang bahuela itu, berdiri bangunan supermewah. Gedung penuh kaca, ruang berpenyejuk udara, dan banyak mobil mewah berseliweran. Siapa yang nggak akan sirik melihat pemandangan kayak gitu? Nggak heran kalo tawuran pun terjadi. Lirik PSP pun lebih tepat diubah begini...

Dateng di kampus bawa batu gede-gede
Dandanan nyentrik bergaye model provokator
Ngaku di rume berangkat pegi kulieh
Sampe di kampus nyasarnya tawuran juge


Tentang kesetaraan atau egaliter pun udah nggak nampak lagi di kampus-kampus. Sikap “elo-elo, gue-gue” lebih dominan terjadi di kampus saat ini. Ketika saya kuliah di Depok, mereka yang memakai mobil bisa dihitung pakai jari. Pohon-pohon tumbuh masih banyak, sehingga memungkinkan buat jalan kaki menyusuri hutan-hutan yang ada di sekitar situ. Teduh soalnya, cong!

Look at now!

Jumlah pohon semakin kritis. Kampus lebih peduli pada mahasiswa-mahasiswa bermobil, ketimbang mereka yang berjalan kaki. Kini mantan kampus saya di Depok udah lebih banyak lahan parkir, ketimbang lahan tempat pohon tumbuh. Lebih banyak jumlah kendaraan mobil, ketimbang jumlah batang pohon. Sedih rasanya!

Kapitalisme agaknya merubah wujud mantan kampus saya. Saya membayangkan pohon-pohon di Fakutas Sastra yang ditebang itu merintih kesakitan ketika ditebang. Sebelumnya, pohon-pohon itu memohon agar si Penabang untuk memikirkan lagi menancapkan golok atau gergaji di batang-batang mereka. Namun, raungan knalpot mobil lebih berharga ketimbang tangisan pohon.



Di atas tadi, saya memang purly nggak ngomongin soal PSP doang. Kenapa? Soalnya banyak angle yang bisa dibicarakan dari sebuah band bernama PSP yang legend itu. Dimana band yang mengawali genre musik komedi intelektual ini yang akhirnya terkubur oleh zaman. Sebenarnya nggak tepat ya kalo PSP yang terkubur. Saya lebih melihat mereka bagai contoh mahasiswa bahuela yang toleran dan punya semangat kebersamaan. Saya lebih suka yang dikubur justru sifat mahasiswa kini. Seandainya mahasiswa-mahasiswa saat ini bisa mencontoh egalitas maupun solidaritas ala PSP, saya yakin nggak akan ada tawuran antarkampus. Nggak akan tumbuh pesat sifat “elo-elo, gue-gue” yang kini dimiliki sebagai besar mahasiswa. Sifat itu akan tekubur oleh kebersamaan itu tadi atau sifat toleransi antarmahasiswa. Sungguh ideal bukan? Nah, sekarang problem-nya apakah idealisme itu bisa direalisasikan? Kayaknya butuh perjalanan panjang buat membuktikan hal tersebut.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

No comments: