Tuesday, June 30, 2009

MENDING KITA INTROSPEKSI DIRI, YA NGGAK?

Kejadian pada Minggu, 24 Mei 2009 sekitar pukul 16.00 di Jalan Raya Puncak, Cisarua, Bogor, meninggalkan bekas sangat dalam di hati keluarga kami. Istri saya yang sedang hamil lima bulan menangis dan berteriak-teriak histeris diiringi tangis ketakutan bocah empat tahun, kakaknya tujuh tahun, dan yang paling besar 14 tahun.

Kejadian itu berawal dari digebraknya kap mesin mobil oleh salah seorang dari rombongan pengendara sepeda motor besar saat mereka menyusul mobil saya. Mobil dan rombongan sama-sama melaju kea rah Puncak menuju Cisarua pada saat jalan dibuka satu arah turun sehingga seluruh badan jalan dalam keadaan padat. Sangat sulit untuk berpindah lajur dan hamper tak mungkin memberi kesempatan lewat kepada rombongan sepeda motor gede tersebut.

Setelah bersusah payah dan akhirnya dapat sedikit menyelip ke kiri untuk memberi jalan rombongan tersebut, salah seorang menggebrak kap mobil dengan keras dan tiba-tiba, membuat kami terkejut dan tangan secara refleks menyentuh klakson. Rupanya, bunyi klakson itu dianggap sebagai menantang. Mereka langsung melintangkan beberapa sepeda motor gede di depan dan di belakang mobil hingga posisi terjepit dan tak dapat bergerak. Lalu, terjadilah tindak kekerasan tersebut.

Mereka berkerumun mengelilingi mobil sambil mengedor-gedor badan mobil, mengumpat, meludahi, dan melayangi bogem mentah ke muka saya yang tertahan di bangku pengemudi tanpa dapat melakukan perlawan karena pintu mobil tidak dapat dibuka. Pintu mobil sengaja ditahan dari luar oleh salah seorang dari mereka.

Suasana baru mereda ketika seorang polisi dating mendekat ke arah mobil dan rombongan pengemudi sepeda motor gede (moge) serentak meninggalkan tempat. Setelah kejadian, saya langsung melaporkan kepada Kepolisian Sektor Cisarua, Bogor. Di sini, saya berterima kasih karena laporan langsung dilayani dan ditanggapi dengan baik, lengkap dengan visum dokter.

Semoga kejadian yang menimpa keluarga saya ini, yang juga mengakibatkan kemacetan luar biasa di Jalan Raya Puncak, tidak terulang lagi.


Bagaimana komentar Anda setelah membaca kisah di atas?

Kisah nyata tersebut saya ambil dari kolom Redaksi YTH berjudul Ulah Pengendara Moge, Istri dan Anak Menangis Histeris. Kolom di harian Kompas, Sabtu, 13 Juni 2009 tersebut ditulis oleh Pak Edwin Sudibyo yang beralamat di Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta. Ketika pertama kali membaca, terus terang saya geram.


Ketidakdisiplinan motor memang nggak perlu diragukan lagi. Saya nggak tahu, harus diapakan para Pengendara motor itu yang nggak pake helem, melaju di jalur cepat, melawan arus, berbelok di tanda dilarang belok, melaju di trotoar tempat pejalan kaki, dll.

“Biar mampus!” herdik saya dalam hati.

Terus terang pengalaman Pak Edwin, juga dialami beberapa kali oleh saya. Saya langsung membayangkan serombongan motor yang seringkali ugal-ugalan di jalan. Nggak cuma motor gede (moge), tapi motor-motor model 2 tak maupun 4 tak. Meski berada di lingkungan organisasi formal dengan AD/ ART yang matab punya, namun kelakuan geng-geng motor ini nol besar. Selama melakukan iring-iringan, segerombongan motor nggak akan pernah mau mengalah. Percaya deh! Mereka selalu ingin berada di depan, mendahului kendaraan-kendaraan yang ada di depan mereka. Maklumlah, masing-masing Pengendara nggak mau ketinggalan iring-iringan dari Pengendara yang ada di depannya.

Terus terang saya salah satu orang yang benci banget kalo berjumpa dengan iring-iringan motor (mobil juga sih). Why? Ya itu tadi, geng motor nggak pernah mau mengalah. Rasa-rasanya kalo udah berada di atas jok, mereka bak Raja Jalanan yang nggak boleh ada kendaraan lain menyalip. Padahal saya yakin, organisasi mereka ini bertujuan mulia. Salah satunya mendisiplinkan para Pengendara motor secara umum yang ada di jalan raya, ya nggak? Kalo Pengendara-Pengendara di jalan yang nggak ikut geng motor belum disiplin, at least anggota gang tersebut yang lebih dulu punya etika dalam berkendaraan. Namun sayang, ketika terjadi iring-iringan, tujuan mulia geng motor itu seringkali hilang lenyap. Bablas angin’e, eh maksudnya bablas etika’e.


Ini salah satu kelakuan minus Pengendara motor yang sempat terrekam oleh kamera saya. Tempat yang berada di jalan Letjen Soeprapto ini menjadi tempat favorit motor-motor buat melawan arus. Mereka ini memang gokil abis! Udah dipasangin pembatas dari beton supaya nggak melanggar, eh mayoritas Pengendara motor dengan sadar melakukan pelanggaran. Kalo saya jadi Kapolsek Cempaka Putih, mereka yang tertangkap basah melanggar, saya akan masukkan kepala mereka ke toilet yang berisi tokai. Biar mereka marasakan kenikmatan tokai-tokai yang mengapung itu.

But!

Saya penasaran soal surat yang ditulis Pak Edwin. Rasa penasaran ini juga bertujuan memperkuat dukungan saya pada beliau. Sebagai Pengendara mobil yang pernah ter-dzolimi, saya ingin tahu kisah nyata tersebut dengan detail. Yang ingin saya ketahui, geng moge apa yang membuat keluarga Pak Edwin sampai histeris? Soalnya setahu saya mayoritas pemilik moge itu mereka yang well educated alias punya otak. Tapi kok sampai melakukan tindak kekerasan: mengumpat, meludah, dan melayangkan bogem mentah?

Ternyata eh ternyata, ada missleading yang membuat image geng motor tercemar atas surat Pak Edwin itu. Ada kisah yang nggak diungkapkan dalam surat itu. Ini setelah saya melakukan investigasi (baca: check dan cross check) via rekan-rekan saya yang kebetulan mengenal seluruh geng moge di Indonesia ini.

“Ada hal yang ditutupi oleh Pak Edwin,” jelas rekan saya yang kebetulan bekerja di salah satu perusahaan otomotif. Sebut saja namanya D. “Sebenarnya ada salah seorang Pengendara moge yang sempat diserempet mobil milik Pak Edwin dan itulah yang membuat anggota marah.”

“Dia (Pak Edwin) itu nggak ngasih jalan rombongan iring-iringan moge,” kata rekan saya yang lain berinisial R. “Mobil Bapak itu ngebut dan menyamai kecepatan moge yang berada di sampingnya. Ini dilakukan karena dia nggak mau ngasih jalan moge itu.”


Terkadar otak iseng saya berpikir. Kapan ya motor di Indonesia ini dibatasi jumlahnya? Motor-motor yang beredar sangat selektif dipilih. Ini bertujuan buat membatasi juga jumlah para Pelanggar lalu lintas.

Menurut versi rekan D, Pengendara yang diserempet Pak Edwin sempat terjatuh. Sedang versi rekan R, Pengendara itu nggak jatuh, tapi hampir jatuh. Meski punya versi berbeda, baik rekan D dan rekan R tetap sependapat, bahwa yang melakukan tindak kekerasan di Jalan Puncak Puncak pada Minggu, 24 Mei 2009 lalu bukan anggota klub HDCI maupun HOG. Sekadar info, dua nama itu nggak lain adalah dua organisasi para Pemilik moge bermerek Harley Davidson.

Jadi geng mana dong?

Belum jelas klub moge apa. Meski begitu, kejadian yang dialami Pak Edwin harusnya bisa menjadi pelajaran bagi klub-klub moge maupun Pak Edwin sendiri. Buat klub moge, aktivitas iring-iringan atau konvoi yang seringkali dilakukan oleh mereka, seharusnya jangan sampai membahayakan orang lain. Nggak semua orang mengerti arti “memberi jalan”. Barangkali buat Pak Edwin pun begitu. Iring-iringan itu nggak begitu penting atau not urgent kayak iring-iringan Pejabat Negara. Nggak heran Pengendara-Pengendara mobil kayak Pak Edwin ini nggak mau memberi jalan pada rombongan iring-iringan moge. Itu hak mereka dong? Maksudnya hak Pengendara mobil yang nggak memberikan jalan pada orang lain. Bukankah sama-sama membayar pajak?

“Kan nggak ada yang urgent? Ngapain menyusul kendaraan di depannya? Kecuali ada yang mau dioperasi atau hamil...”

“Kan bukan Pejabat Negara? Kalo rombongan iring-iringan Pejabat Negara memang kudu diprioritaskan, karena ada Undang-Undang tentang protokoler yang mengatur hal itu...”

"Kan bukan sedang mengejar teroris sampai ngebut-ngebut di jalan?"


Selama saya diboncengin Harley Davidson sama Bokap, kayak-kayaknya Bokap nggak pernah ugal-ugalan atau membuat marah mobil. Prinsip bokap, kekerasan nggak menyelesaikan masalah. Kekerasan akan menambah jumlah musuh-musuh kita.

Namun begitu, sebagai Pengendara mobil yang budiman, Pak Edwin barangkali nggak perlu ngebut atau nggak perlu pelit-pelit amat memberi jalan. Kadangkala, di jalan kita memang kudu menahan ego kita. Bukankah “memberi” lebih nikmat daripada “menerima”? Saya yakin, kalo ada di posisi Pak Edwin, saya juga pasti akan kesal melihat iring-iringingan itu. Namun, dengan perasaan kesal, saya akan menurunkan emosi dan ego saya untuk memberikan jalan. Ngapain juga nyari perkara? Ngapain juga nyari penyakit? Wake up man! Mereka itu serombongan! Sementara kita? Cuma sekeluarga. Meski terkadang benar, kita tetap aja salah di mata rombongan itu.

Kalo lagi marah, coba deh baca doa menghilangkan rasa amarah: a'uudzubillahi minasy syaithaanir rajiimi. Allaahummaghfirlii dzanbii wadzhab ghaidza qalbii wa ajjirnii minasy suaithaanir rajiimi (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang tekutuk. Ya, Allah, ampunilah dosaku dan hilangkanlah kepanasan hatiku dan lepaskanlah aku dari ganguan setan yang tekutuk). Dijamin kalo udah baca doa ini, hati kita mak nyos!

Pak Edwin barangkali kudu menulis surat dengan kronologis yang akurat. Kisah nyata yang terjadi di Jalan Raya Puncak itu seharusnya nggak ada yang di-delate. Kekurangakuratan kisah tersebut, jadi membuat Pembaca Redaksi YTH Kompas missleading atau missperseption. Image moge jadi tercoreng moreng. Ingat, lho! Sebuah surat (termasuk surat elektronik atau e-mail) belakangan bisa masuk ke dalam sebuah Pengadilan kalo dianggap mencemarkan nama baik. Tentu kita belum lupa dong dengan kasus Prita Mulyasari yang digugat Rumah Sakit OMNI International, Tangerang gara-gara dianggap mencemarkan nama baik?

Padahal saya tahu, pemilik moge itu pasti orang-orang terhormat. Nggak cuma Pengusaha, tapi Pejabat-Pejabat Pemerintah juga doyan moge. Ini artinya apa? Artinya, mereka itu pasti well-educated. Tahu aturan. Punya etika berkendaraan. Nggak kayak geng-geng sepeda motor lain yang mayoritas nggak disiplin (berani bertaruh?). Dengan kasus ini, saya jadi melihat moge kayak digoyang-goyang alias dicemarkan. Selama ini berjuta motif buat menggoyang geng moge, memang kerap dilakukan oleh oknum-oknum. Entah faktor syirik atau dengki. Saya sih nggak menyalahkan Pak Edwin 100%, juga geng-geng moge. Nah, meding kita sama-sama introspeksi diri, ya nggak? Bukankah introspeksi diri lebih baik daripada saling salah menyalahkan?


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

No comments:

Post a Comment