Barangkali tak ada seorang pun yang tahu siapa nama aslinya, termasuk aku sendiri. Namun tak seorang pun yang meragukan kemampuan jari-jemarinya. Jari-jari tangannya yang mampu membuat tubuh para Pelanggannya menjadi terasa segar kembali. Dialah wanita yang cukup dipanggil Bu Dulah.
Tentang nama asli memang sudah tak penting lagi buat dirinya. Barangkali dia sendiri sudah rela meninggalkan nama kecil pemberian orangtua yang sudah melahirkannya. Nama Dulah sendiri tak lain adalah nama suaminya, Pak Dulah, yang usianya lima tahun lebih tua darinya. Buatnya yang lebih penting adalah, para Pelanggannya puas. Tak ada komplain dari mereka. Tak ada makian atau cacian. Everybody’s happy at the end. Dan setelah itu, mereka terus menerus memakai jasanya.
Tentu tak ada yang pernah menyangka, bahkan Bu Dulah sendiri, bahwa usia profesinya sudah 30-an tahun lebih. Kira-kira tahun 1970-an, suatu ketika Ibu Mertua-nya berpesan agar Bu Dulah sering-sering keluar dari rumah. Ini karena anak-anaknya sudah tak perlu bimbingannya lagi. Saat itu, keempat anaknya memang sudah besar-besar. Yang bungsu sudah masuk SMA.
“Gunakan tangan-tanganmu untuk menolong orang,” kata Bu Dulah mengingat nasihat Ibu Mertuanya.
Awalnya dia tak mengerti apa maksudnya. Maklumlah, selama ini dia Cuma seorang Ibu rumah tanga yang tak pernah punya impian aneh-aneh. Boro-boro merengek sang suami minta diajak jalan-jalan, untuk izin suami ikut kelompok arisan pun rasa-rasanya tak pernah dilakukan. Hidupnya benar-benar dihabiskan mengasuh anak-anaknya. Rupanya, pesan sang Ibu Mertua seperti sebuah tanda awal karir Bu Dulah sampai sekarang ini.
“Kayak-kayaknya Allah memberikan mukjizat lewat Mertua saya,” kenang Bu Dulah sambil terus memijat-mijat kaki kananku. Aku jadi berpikir, Allah itu memang baik sekali. Ketika seorang Ibu rumah tangga seperti Bu Dulah dianggap “tak bisa apa-apa”, Allah justru menurunkan mukjizat di waktu yang tepat.
Kecintaannya pada pekerjaan, membuat Bu Dulah lupa kalo usia profesinya sebagai Pemijat udah lebih dari 30 tahun. Buat gw, kecintaan profesi menjadi sebuah inspirasi. Sambil cari duit, kita seharusnya juga mencintai pekerjaan dan tentu saja Tuhan Maha Pencipta.
Sejak itulah Bu Dulah menjadi seorang Pemijat. Anak-anaknya yang sudah besar, dia titipkan ketika mendapat panggilan memijat. Pelanggan pertamanya bukan warga di sekitar rumahnya di kampung Jawa (*)dahulu nama Kampung Jawa tersebut dipakai sebelum kemudian tahun 80-an berubah menjadi daerah Percetakan Negara, Jakarta Pusat). The first Bu Dulah’s Costumer justru berasal dari luar Jakarta.
“Kalo nggak salah namanya Cililin, deh,” ingatnya. Sambil mengingat, Bu Dulah sempat menghentikan gerakan kedua tangannya yang sedang meremas-remas betisku.
Terus terang aku tak menemukan dimana lokasi Cililin berada. Sebelumnya kupikir Bu Dulah salah sebut Cililitan menjadi Cililin. Atau Cililin adalah salah satu lokasi di kota Bogor. Atau ada yang lebih jauh lagi, Cililin yang merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Bandung. Nah, lho?! Tapi setelah mendengar lanjutan kisah soal Pelanggan baru dan Cililin itu, aku jadi merasa tak bersalah. Cililin memang bukan di Bogor, bukan pula Cililitan, apalagi Bandung.
“Pokoknya waktu itu saya naik taksi sempat habis uang 30 ribuan,” katanya. Coba apa mungkin jarak dari Percetakan Negara ke Cililitan menghabiskan ongkos 30 ribuan di tahun 70-an? Tak mungkin kan? Itu jika Cililin tadi kita anggap Cililitan. Jika Cililin itu di kota Bogor, tak mungkin juga dari Percetakan ke Bogor ongkosnya cuma 30 ribuan, ya tidak?
Pelanggan pertama Bu Dulah adalah seorang Bapak. Dari ceritanya, Bapak ini bertubuh gemuk. Gara-gara tubuhnya itu, ada penyakit di dalam perutnya. Sebenarnya ketika pergi ke rumah Bapak ini, Bu Dulah tak ada target apa-apa. Tak ada target menyembuhkan, apalagi membuat sang Bapak menjadi kurus. Targetnya menjadi Pemijat yang baik dan benar. Namun Allah seperti memberikan mukjizat lewat jari-jemari Bu Dulah. Penyakit yang sempat diderita Bapak itu ternyata berhasil disembuhkan oleh Bu Dulah. Subhanallah!
“Bapak itu sampai jingkrak-jingkak, Dik,” ujar Bu Dulah sambil memukul betisku saking girangnya. Aku jadi terpaksa memalingkan badanku melihat Bu Dulah. Jelas terpacar mata gembira Bu Dulah ketika menceritakan pengalaman pertamanya itu. Sepertinya ada setitik air mata yang tertahan dari pingir kelopaknya yang tertahan.
“Ibu nggak ikut jingkrak-jingkrak?” tanyaku mengajak becanda. Sebenarnya candaku ini cuma buat mengetes Bu Dulah, apakah dia lebih gokil daripada patung Mbah Jingkrak? Sebuah patung seorang Nenek di sebuah restoran yang sempat aku singgahi bersama keluarga. Patung, dimana seorang Nenek bergigi ompong, tapi kelakuannya masih bergaya ABG: berjingkrak.
Bu Dulah cuma tersenyum. Senyuman khas seorang wanita yang kini usianya sudah mencapai 65 tahun. Nampak tertahan. Tidak meledak-ledak. Bukan jaim atau jaga image. Tapi begitulah tipikal Bu Dulah dan barangkali wanita-wanita seusianya kini. Dan yang lebih menakjubkan lagi...
“Kalo biasanya di tahun-tahun itu saya dikasih lima ribu, tapi oleh Bapak itu saya diberi honor limapuluh ribu perak,” ungkap Bu Dulah.
Pijatan Bu Dulah detail. Beliau ingin para Pelanggannya happy. Nggak heran kalo durasi pijatan satu betis kaki bisa mencapai 30 menit lebih. Bandingan dengan seorang Dokter yang selalu nggak punya waktu konsultasi dengan Pasiennya sehabis Dokter memeriksa. Yang menjadi pedoman Dokter bukan membuat pintar Pasien, tapi duit-duit-dan duit. Waktu adalah duit. Semakin cepat Pasien keluar dari ruang praktik, semakin banyak Pasien yang akan diperiksa. Waktu ngobrol dengan Pasien nggak ada lagi. Pernah punya pengalaman dengan Dokter kayak gitu? Sering pastinya, ya nggak?
Sampai pulang, Bu Dulah bingung. Bingung soal honor yang dia terima. Salahkah Bapak itu memberikan uang ini kepada saya? Jangan-jangan tertukar dengan uang limaribuan? Sebab di tahun 70-an, uang limapuluh ribu nilainya barangkali seperti uang limaratus ribuan di tahun 2009 sekarang ini. Teka-teki soal uang itu akhirnya terjawab. Hal itu terjadi setelah sang Bapak menghubungi Bu Dulah via telepon.
“Saya nggak salah ngasih, Bu,” kata sang Bapak. “Saya ikhlas, kok, Bu! Uang itu saya kasih karena saya merasa berhutang budi pada Ibu, karena sudah berhasil menyembuhkan saya dari penyakit. Saya sekarang jadi sehat lagi...”
Alhamdulillah. Itulah ungkapan yang berkali-kali diucapkan oleh Bu Dulah. Perasaan syukur itu wajar jika terus terucap. Pertama, Bapak itu adalah Pelanggan pertamanya. Meski baru pertama kali menjadi Pemijat, Bu Dulah berhasil menyembuhkan penyakit orang. Padahal, sekali lagi, tak ada niat sama sekali olehnya untuk menyembuhkan penyakit. Apa yang dia lakukan, tulus cuma memijat. Barangkali karena ketulusan itulah yang membuat Allah memberikan anugerah. Kewajaran kedua atas rasa syukurnya, bahwa dia tak menyangka honor pertamanya melebihi ekspektasinya sebagai Pemijat.
“Saya ini kan orang bodoh. Mana bisa bisa orang bodoh menyembuhkan penyakit?” sebuah pengakuan yang sangat naif dari seorang seperti Bu Dulah. Ibu...Ibu...sebenarnya kalau Allah berkehandak, tak ada manusia pintar atau manusia bodoh yang mendapatkan mukjizatnya. Barangkali karena kejujuran Ibu, Allah jadi suka. Mungkin karena ketaatan Ibu, Allah jadi cinta. Dan itulah kelebihan Ibu daripada kami-kami ini yang level-nya masih jauh. Untuk sekadar jujur saja kami belum bisa. Masih selalu berbohong. Entah bohong untuk kepentingan diri sendiri, maupun kepentingan warga negara.
Bu Dulah juga kerap bersyukur. Berapapun honor yang diterima, dia selalu mengucap alhamdulillah. Syukur terhadap nikmat begitu penting. Saking pentingnya, ungkapan syukur khusus dicantumkan dalam sebuah doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw dan kemudian diabadikan dalam bacaan tahiyat (tasyahud) dalam sholat lima waktu:
“....Dan menjadikan kami orang yang bersyukur atas nikmat-Mu, sebagai bentuk pujian kepada-Mu. Terimalah ia, dan sempurnakanlah bagi kami,” (HR Abu Dawud).
Jam sudah menujukan pukul 21:25 wib. Bu Dulah baru memijat kaki kananku. Ini artinya, Bu Dulah sudah menghabiskan waktu sekitar 33 menit sejak pertama kali memijat aku pada pukul 20:51. Itulah kelebihan Bu Dulah. Dia memang tak pernah terburu-buru saat memijat. Setiap anggota tubuh minimal menghabiskan waktu kurang lebih 30 menit. Bayangkan jika kita punya empat tangan, empat kaki, dan dua kepala, berapa jam waktu yang dihabiskan dia untuk memijat? Kira-kira 2 jam 50 menit! Lho kok bukan 5 jam? Bukankah empat tangan dikali 30 menit menjadi 2 jam. Lalu empat kaki dikali 30 menit juga 2 jam. Dan dua kepala dikali 30 menit menjadi 1 jam. Total 5 jam. Tidak! Khusus tangan tidak sampai menghabiskan 30 menit, tapi 10 menit. Sedang kepala cukup 5 menit.
Durasi Bu Dulah memijat tersebut, jelas memuaskan para Pelanggan. Tak heran kalo hampir setiap hari ada saja yang memanggilnya untuk memijat. Seapes-apesnya, sehari dia cuma mengantongi uang senilai Rp 60 ribu atau satu-dua Pelanggan. Memang sih Bu Dulah tak mematok harga dalam sekali pijat. Namun hampir seluruh Pelanggannya mengerti, tarif memijat di kampung bekisar antara Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu. Rekor tertinggi honor sehari Bu Dulah sekitar Rp 300 ribu. Jika rata-rata dalam sehari Bu Dulah mendapat honor Rp 100 ribu, maka pendapatan Ibu empat orang putra ini dalam 30 kerja mencapai Rp 3 juta. Luar biasa bukan?
Baskom berisi minyak pijat dan handuk kecil ini selalu dibawa tiap Bu Dulah melakukan aksi pijat. Kedua benda itu bukan jimat, lho. Dalam rangka memijat, Bu Dulah nggak pakai dukun-dukunan.
Tentu saja honor sebesar itu lazim buat Bu Dulah yang sudah menjalankan profesinya selama hampir lebih dari 30 tahun. Sekali lagi dia sangat bersyukur pada Allah, karena diberikan kesehatan sampai kini. Dia juga bersyukur dari dulu sampai sekarang tak pernah minta uang dari anak-anaknya. Buatnya, rezekinya dari memijat sudah lebih dari cukup. Hebatnya, Bu Dulah turut membantu keuangan suami yang memang sangat kurang dari honornya sebagai Tukang Sampah keliling.
“Saban bulan suami saya cuma menerima uang limaratus ribu rupiah,” jelas Bu Dulah. “Itu pun harus mengambil uang dari sana-sini. Dari uang sampah RT seratus ribu. Uang kebersihan di kompleks dekat rumah, seratus ribu juga....”
Tak terasa sudah satu jam lebih aku dipijat. Badanku terasa ringan dan segar. Terus terang aku masih penasaran dengan pengalaman-pengalaman Bu Dulah sepanjang 30 tahun lebih karirnya. Aku memang paling senang menimba pengalaman dari siapa saja. Bukan cuma mereka yang memiliki reputasi top di tanah air, tapi profesi Pemijat kampung sekelas Bu Dulah pun sesungguhnya punya kisah yang pasti bernilai, memberi motivasi. Setidaknya sebuah pesan: mencintai pekerjaan adalah bukti keikhlasan dan rasa syukur terhadap anugerah dari Allah.
“Dik, uangnya kelebihan, nih,” kata Bu Dulah setelah melihat honor pemberianku berlebih. Maklum, tak biasanya aku memberikan seratus ribu tiap sekali mijit. Seperti Pelanggan-Pelanggan lain, aku biasa memberi limapuluh ribu.
“Kelebihannya untuk Ibu saja. Ya, hitung-hitung sebagai honor bercerita,” kataku sambil tersenyum. Sekali lagi aku dengan Bu Dulah mengucap rasa syukur pada Allah. Aku jadi merinding. Mengapa kami ini semua seringkali melupakan rasa syukur? Padahal barangkali apa yang kita terima jauh melebihi apa yang Bu Dulah dapatkan malam ini?
Rabbana amanna faghfirlana warhamna wa anta khairurrahimin.
(Ya, Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat danEngkau adalah pemberi rahmat Yang Paling Baik – QS Al-Mu’minun 23:109)
(*) Tahun 70-an, di salah satu dearah di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, dikenal nama Kampung Jawa. Nama ini untuk menyebut sebuah perkampungan orang-orang Jawa. Sementara tak jauh dari Kampung Jawa, ada namanya Kampung Ambon. Pada tahun 80-an, nama Kampung Jawa tak dikenal lagi, karena berubah menjadi daerah Percetakan Negara yang lalu lintasnya ramai gara-gara tumbuhnya para Penjual keramik sepanjang jalan itu.
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
No comments:
Post a Comment