Thursday, October 1, 2009

KENAIKAN TARIF TOL DAN KAPITALISME ALA MARX

Menurut Karl Marx, di setiap masyarakat terdapat kekuatan yang bertentangan dan bersintesis yang tak lain adalah kekuatan ekonomi atau material. Sejarah, dengan demikian, adalah sebuah gerakan kontradiksi dan penyelesaian atas faktor-faktor ekonomis.

Suka tak suka, apa yang dilakukan pemerintah dengan menaikkan tarif tol yang sudah berlaku per 28 September 2009 pukul 00:00 lalu, sesuai dengan teori Marx yang ditulis dalam buku Class Struggle bersama Friedrich Engels (1848). Bahwa konsekuensi logis menyesuaikan tingkat inflasi dengan tarif sebelumnya mulai diberlakukan, maka PT Jasa Marga Tbk memberlakukan tarif tol baru.

Bahwa sebagai warga negara yang saat ini terbawa ke era kapitalisme, kita menerima dengan keputusan Pemerintah ini. Pemerintah tak perlu lagi melihat rentetan efek yang lazim disebut sebagai efek domino dari kenaikan ini. Pemerintah juga tak peduli soal buruknya pelayanan jalan tol, meskipun kenaikan tarif baru tol ini mencapai 20%, dimana mobil terpaksa harus antre berkilo-kilo gara-gara Petugas -tentunya pihak Jasa Marga- kurang sigap menyiapkan uang recehan.

Soal recehan ini memang dilematis. Anda tahu berapa uang receh yang harus disiapkan PT Jasa Marga per hari di seluruh gardu tol dalam kota? Rp 600 juta! Uang itu uang recehan, lho! Bisa dibayangkan, berapa jumlah kendaraan yang menggunakan jalan tol kalo uang recehan segitu aja masih langka.

Pihak PT Jasa Marga tentu tidak bisa serta merta menyalahkan pengguna tol, dalam hal ini pengendara mobil, yang tidak punya uang recehan. Memang sih, banyak pula pengguna kendaraan yang memanfaatkan tol sebagai sarana menukarkan uang receh, termasuk saya kalo kebetulan lagi punya uang seratus ribu atau lima puluh ribu. Ketidaksiapan PT Jasa Marga seringkali membuat antrean panjang, dan bahkan beberapa kali gerbang tol ditutup gara-gara uang recehan langka.

Sebenarnya PT Jasa Marga sudah mendapatkan solusi dengan bekerjasama dengan e-toll card dari salah satu Bank pemerintah. Nyatanya, tak semua pengguna tol yang selalu menggunakan jalan tol menggunakan e-toll card. Banyak orang yang barangkali berpikir sama dengan saya, ah, mending pakai uang aja. Pertama, uang terlihat wujudnya. Kedua, sekalian menukarkan uang sebagaimana yang saya ceritakan di atas tadi. Ketiga, toh nggak selalu menggunakan mobil, yakni naik sepeda. Udah gitu, kalo pun naik mobil, toh nggak selalu naik tol.

Anyway, tarif tol sudah naik. Menurut Direktur Utama PT Jasa Marga Tbk, Frans Sunito, “Sedianya kenaikan tarif tol ini terjadi pada bulan Agustus 2009, namun baru terrealisasi September ini. Dan akan direncanakan setiap dua tahun sekali akan disesuaikan kenaikannya dengan tingkat inflasi.”

Bolehlah bicara soal inflasi, namun menurut data yang penulis kutip dari Warta Kota (24/08/09), kenaikan tarif tol ini tidak akan mempengaruhi target pendapatan PT Jasa Marga sebesar Rp 3,7 triliun. Padahal hingga semester I tahun 2009, pendapatan perseroan ini sebesar Rp 1,3 triliun. Tentu dengan volume kendaraan yang menggunakan jalan tol itu banyak, udah gitu ditambah kenaikkan tarif baru, PT Jasa Marga pasti akan melewati target.

Soal pemikiran kapitalisme yang dihubungkan dengan kenaikan tarif tol ini, Marx berpendapat, situasi ini sebagai momentum yang kejam dan eksploitatif. Maksudnya apa? Buat warga kelas menengah yang gajinya pas-pasan, kenaikan 20% sungguh sangat berarti. Dalam contoh ini saya akan memakai contoh kenaikkan tarif tol dalam kota. Biasanya bayar Rp 5.500, kini harus mengeluarkan ekstra Rp 1.000 rupiah menjadi Rp 6.500. Dalam seminggu, kelas menangah ini harus mengeluarkan Rp 6.500 dikali lima hari kerja PP, Rp 65 ribu atau Rp 260 ribu/ bulan. Ini belum termasuk biaya bensin, dimana sekelas Avanza bisa mengeluarkan dana kurang lebih Rp 200 ribu/ minggu. Ini buat trayek dalam kota aja dan bisa boros, bisa pula irit. Punnggak tahu pengeluaran bensin kalo trayek sampai ke Bogor atau Kalimantan.

Sebagai warga kelas menengah, kenaikan itu sungguh ‘kejam’ dan ‘eksploitatif’. Kalo gaji golongan ini sekitar Rp 2 juta-Rp 5 juta, tentu merelakan uang sekitar Rp 500 ribu/ bulan cuma buat jalan tol dan bensin adalah ‘mengenaskan’. Sisa uang mereka tinggal Rp 1,5 juta- Rp 4,5 juta. Kenapa? Dengan membayar tarif tol mereka masih harus kehilangan waktu gara-gara macet dan fisik. Ini belum ditambah dengan tingkat stres yang tinggi, dimana bagian sebab kemacetan atau kekesalan pada pengguna jalan tol yang menyebalkan, karena kurang disiplin sering kali melewati bahu jalan, yang bukan saja membahayakan dirinya, tapi diri pengguna lain.

Guna menghemat pengeluaran, warga kelas menengah ini akhirnya meninggalkan mobil dan beralih ke motor. Dan bisa diduga, motor yang kuantitasnya udah banyak ini akan semakin banyak. Kesemerawutan semakin menggila, apalagi ditambah stereotype mayoritas pengguna motor yang kurang disiplin itu semakin menimbulkan dampak sosial yang semakin luar biasa besar. Saya berharap dan berdoa, peralihan yang dilakukan oleh warga menangah ini bukan dari mobil ke motor, tapi dari mobil ke sepeda.

Itu tadi warga kelas menengah, bagaimana warga kelas menengah-atas? Kelas menengah-atas tanpa sadar dieksploitasi oleh kenaikkan ini. Namun mereka cenderung tidak sadar soal ekspoitasi ini. Anda tentu bertanya, eksploitasi macam apa? Sebenarnya Anda sudah bisa jawab. Efek domino kenaikan tarif ini jelas mempengaruhi production cost barang-barang sekunder dan tertier, bahkan termasuk primer. Namun kebutuhan primer kayak barang-barang pokok untuk makan lebih dirasakan warga kelas menengah-bawah.

Apa yang membuat hal tersebut terjadi? Sudah barang tentu angkutan distribusi yang melewati jalan tol lah yang membuat ekonomi biaya tinggi. Ini belum termasuk pungutan-pungutan liar yang masih kerap terjadi di sepanjang jalan tol. Dan yang juga tanpa disadari warga kelas menengah-atas dan tentu saja kelas menengah-bawah dari bentuk eksploitasi di era kapitalisme sebagaimana dikatakan oleh Marx, bahwa kenaikkan tarif tol ini merupakan rencana menarik dana dari kaum the have di luar pajak, dan menyingkirkan the poor. Duit the have dikuras, sedang the poor tak bisa lagi menikmati ‘kemawahan’ selayaknya the have, karena sudah disibukkan dengan menghemat pengeluaran bulanan ini dan itu.

Menyedihkan memang, tapi inilah risiko kalo kita berada di negara yang sudah menjalankan kapitalisme. Suka tak suka, siap tak siap, kita terpaksa harus struggle for survive. Welcome to junggle!

No comments:

Post a Comment