Sunday, October 4, 2009

MENGKAJI KEMBALI KONSEP KESETARAAN GENDER DAN HAM

Tak semua wanita punya keinginan yang sama mengenai isu kesetaraan gender. Wanita yang berbeda ini bernama Saur Marina Manurung. Bagi wanita yang dikenal dengan nama Butet ini, konsep hak azasi (HAM) manusia atau kesetaraan gender adalah konsep-konsep asing yang bisa merusak sistem adat yang telah berjalan normal. Gara-gara tak sejalan dengan dua konsep itu, ia menolak beberapa lembaga asing sebelumnya hendak membantu Sokola, sebuah lembaga pendidikan untuk memberdayakan orang Rimba.

Butet memang berbeda. Ketika banyak aktivis memandang hak perempuan sebagai universal dan wajib diterapkan di mana saja, ia punya keyakinan ini sendiri. Ia menilai konsep kebahagiaan tak bisa dipukul rata.

“Kita tak bisa menyamakan definisi kebahagiaan. Perbedaan budaya adalah fakta yang harus dihormati,” kata Sarjana Antropologi Universitas Padjajaran ini (lihat buku Catatan Emas, Rahadiansyah dan Bejo Winarno, Bentang Pustaka, 2006, hal 177).

Buat yang belum mengenal Butet, saya kasih sedikit bocoran. Ia adalah Pejuang pendidikan yang patut dibanggakan oleh kita sebagai bangsa Indonesia. Perjuangannya adalah berhasil ‘mencerdaskan’ Orang Rimba di berbagai pedalaman via lembaga pendidikan Sokola, mulai dari Taman Nasional Bukit Duabelas di perbatasan provinsi Jambi dan Bengkulu, kampung Buyang di Makassar, desa Wailago Flores Nusa Tenggara Timur, dan Aceh.

Menurut buku Woman’s Studies Encylopedia yang penulis kutip dari buku Islam Menggugat Poligami karya Siti Musdah Mulia (Gramedia Pustaka Utama, 2004), gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, prilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat. Gender membedakan laki-laki dan perempuan dari segi non-biologis, yaitu dari segi peran-peran sosial yang dimainkan oleh keduanya.


Ini bukan terjadi karena menyetarakan gender. Tapi ini masalah cinta pada anak. Berhubungan tinggi anak belum mencukupi, ogut duduk sama tinggi, berdiri sama rendah. Kok nggak nyambung ya?

Sebagaimana manusia, gender juga membedakan sifat kodrati dan sifat sosial. Dengan ungkapan lain, gender adalah harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Di sini jelas, bahwa meski di mata Tuhan kita sama, namun Tuhan pun membedakan fungsi laki-laki dan fungsi perempuan. Namun, budaya asing berusaha menghilangkan batas-batas yang jelas yang sudah digariskan oleh Tuhan. Ya, maklumlah, tak semua orang asing percaya Tuhan.

Mengerikan memang kalo budaya asing diadaptasi ke budaya Indonesia tanpa filter. Padahal tak semua budaya asing, cocok diboyong ke budaya kita, termasuk soal hak azasi atau kesetaraan gender. Soal hak azasi misalnya. Kalo saja kita menelan mentah-mentah konsep ini, kita sebagai warga dunia bisa bebas melakukan apa-apa dengan alasan hak azasi.

Tentu sebagian dari Anda pernah tahu kasus film Buruan Cium Gue yang ditarik dari peredaran tahun 2004. Dari judulnya saja sudah sangat provokatif dan kita bisa menebah kisah film seperti apa yang akan dipertontonkan ke masyarakat. Seks ala remaja! Itulah yang membuat beberapa orang, tak cuma Psikolog seperti Sartono Mukadis, Seniman Danarto atau Putu Wijaya, tapi juga Sutradara Garin Nugroho dan Mubaliq Aa Gym menilai film tersebut sebagai bentuk ekspresi yang kebablasan.

Ini mengekang kebebasan. Ini melanggar hak azasi. Biarkan pasar yang menilainya. Jika film itu buruk dan tidak bermutu, pasti akan ditinggalkan penonton.”

Bangsa ini sudah rusak jauh sebelum film itu beredar.”

Masih banyak persoalan lain yang begitu mendesak diselesaikan seperti korupsi, kolusi, nepotisme, melebihi persoalan trivival itu.”

Pernyataan-pernyataan di atas tersebut jelas tidak mempermasalahkan film Buruan Cium Gue. Buat mereka, kita kudu menjunjung kebebasan berekspresi. Dengan menjunjung kebebasan berekspresi, it means kita tidak melanggar hak azasi manusia, dalam hal ini sineas yang membuat film itu.

Relatif sulit mengaitkan hak azasi dengan kebebasan berekspresi. Ketika seorang Sutradara memproduksi film, ia punya hak untuk membuat film apa saja demi merealisasikan ekspresinya. Apalagi kalo Sutradara yang dimaksud berjenis Sutradara ‘idealis’ yang ‘tidak mau diatur’ oleh Produser, PH, juga Pemerintah. Intinya ‘Sutradara semau gue’. Selain hak Sutradara, ada hak yang lain, yakni hak Penonton yang ingin melihat hasil film Sutradara. Meski ada dua hak di dalam produksi film, sebetulnya ada kewajiban yang harus dipatuhi sebagai warga negara yang baik, yakni mendidik dengan moral. Hal tersebut sebagaimana teori fungsionaris yang dikembangkan oleh Sosiolog Perancis, Emile Durkheim.

Menurut Durkheim, seharusnya film mengacu pada nilai-nilai kolektif yang dijadikan dasar pengembangan tertib masyarakatnya. Nilai-nilai kolektif itu harus difahami oleh seluruh warga -dalam hal ini penonton film- agar mereka tidak berprilaku menyimpang dari tata moral dan nilai masyarakatnya. Film Buruan Cium Gue bukan saja memperkarakan bahwa ciuman pada pasangan yang bukan muhrimnya (pasangan sah) adalah dilarang, tapi lebih dari itu, yakni mengajarkan ciuman yang paling bagus ketika berciuman dengan pasangan. Simak sebagian dialog dari film Buruan Cium Gue berikut ini:

Kalo loe bisa bikin simpul di tangkai ceri pake lidah, berarti loe kalo ciuman jago banget.”

Soal kebebasan berekspresi yang dianggap hak azasi, saya sependapat dengan tulisan Putu Wijaya berjudul Kebablasan Berekspresi (lihat buku Menafsir ‘Buruan Cium Gue’, Ade Armando, Penerbit Kalam Indonesia, 2004). Menurut Putu, di masa Orde Baru, pemerintah begitu ketat menahan kebebasan dengan berbagai macam rambu-rambu, hidup memang terasa dikekang. Orang terpaksa mengemas ekspresinya agar tidak menyinggung SARA, supaya tidak harus berurusan dengan penjara.

“Orang-orang kreatif seperti Rendra, Garin Nugroho, Iwan Fals, Nyoman Nuarta di masa banyak kekangan mereka tetap berekspresi, tetap di masa setelah reformasi pun terus produktif,” jelas Putu (lihat hal 10-11). “Sensor memang dapat sedikit menahan laju kuantitas ekspresi mereka, tetapi tidak pernah bisa membunuh. Bahkan justru kekangan sering malah menstimulasi alias memacu kreativitas. Sudah dibuktikan oleh berbagai telaah bahwa dalam masyarakat tertekan, biasanya gelombang penciptaan ‘bawah tanah’ justru sangat semarak. Dalam keadaan tertekanlah orang-orang kreatif berpikir dan berusaha mencari jalan terobosan untuk bisa melahirkan ekspresinya.”

Itu tadi contoh hak azasi Sutradara Buruan Cium Gue yang kebablasan, sehingga membuat film tersebut ditarik dari bioskop. Berikut ini ada lagi contoh hak azasi, yakni warga negara Indonesia yang datang ke Jakarta tanpa pekerjaan.

Para penggangur dari berbagai daerah mencoba mengadu nasib di ibu kota negara. Ini adalah sebuah wujud hak azasi. Contoh konkret persoalan urbanisasi ini terjadi semasa Gubernur Tjokropanolo (1977-1982). Gubernur ini menerapkan kebijakan lebih lunak yang menyebabkan para pendatang dari luar Jakarta buat mengadu nasib. Padahal sebelumnya, Gubernur Ali Sadikin mampu mengelola dan memanajemeni kota Jakarta periode 1966-1977 secara konseptual. Bang Ali, begitu sebutan Ali Sadikin, mampu mengontrol populasi Jakarta dengan ketat sehingga para penganggur susah untuk ‘hidup’ di Jakarta.

Kalo menggunakan konsep hak azasi, maka konsep Bang Ali pasti akan banyak menuai protes. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) penggiat hak azasi pasti jelas akan mendukung kebijakan Bang Nolly alias Tjokropanolo yang tidak membatasi seluruh warga negara Indonesia untuk mengadu nasib di Jakarta, meski statusnya penggangguran. Padahal kondisi yang membiarkan tanpa kontrol ini jelas merugikan. Populasi penduduk Jakarta hancur lebur. Para Pedagang di sektor informal membuat semerwut tata kota. Ini belum termasuk mereka yang kemudian hidup di kolong jembatan, mendirikan gubuk-gubuk di pingiran rel kereta api, dan bantaran kali menambah persoalan baru. Luar biasanya, begitu hendak digusur dan disuruh balik ke kota asal, mereka marah dan merasa hak azasinya sudah dicabut.

Sebagai lembaga yang menjunjung tinggi hak azasi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) jelas akan membantu mereka yang akan digusur. Hebatnya, sewaktu Jacob Nuwa Wea menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (1999-20004), ia berpihak pada mereka yang digusur. Katanya Pemda DKI cuma mengejar-ngejar dan menertiban rakyat kecil demi keindahan kota. Padahal sektor informal menyerap 65% tenaga kerja dari angkatan yang ada.

Terus terang, penerapan konsep kesetaraan gender dan hak azasi perlu kita kaji lagi, karena konsep ini berasal dari budaya ‘bule’ sana. Saya tidak tahu bagaimana Anda memandang dua kasus di atas (film Buruan Cium Gue dan para pengadu nasib di Jakarta) apakah cocok menggunakan konsep hak asazi atau tidak. Bagaimana soal tahu aturan? Maksudnya, seandainya kita membuat film seperti itu, apakah kita tidak memikirkan impact-nya atau akibatnya? Begitu pula dengan kemunculan para pengadu nasib di kota besar yang ‘merusak’ kontrol populasi di ibu kota Jakarta ini. Apakah kita tetap berpegang pada dalih hak azasi, sehingga kita bisa mudah melakukan apa-apa tanpa melihat kerugian yang akan terjadi?

No comments:

Post a Comment