Tuesday, February 23, 2010

CARA MENGHENTIKAN SI MISKIN MEROKOK

Pendapatan kuli pasir di kali Cisadane itu cuma tigaribu perak per pikul. Dalam sehari, ia mampu memikul lebih dari sepuluh kali. Artinya, pendapatannya bisa mencapai tigaribu kali sepuluh kali pikul, yakni tigapuluh ribu. Cukupkah hidup hanya dengan tigapuluh ribu sehari?

Dalam note ini kita tidak akan menyoroti penghasilan kuli pasir itu yang cukup kecil. Kita tidak pula meminta kuli ini menikkatkan jumlah pikulan agar mendapatkan penghasilan lebih dari tigapuluh ribu. Namun yang menjadi masalah adalah kebiasaan merokoknya. Ketika ada keinginan pemerintah buat mencabut Jaminan Kesehatan (Jamkes) buat orang miskin yang merokok, bukannya berniat memberhentikan kebiasaannya merokok, tetapi ia cuma mengurangi bungkus rokok.

“Saya akan membeli rokok yang sebungkusnya 3.500 aja,” jawab kuli pasir Cisadane itu.


Seorang pengamen yang asyik merokok. Perhatikan di jalan raya, entah itu pengemis atau pengamen banyak yang merokok. Prinsip mereka, nggak perlu makan yang penting merokok.

Saya pernah merokok dan memang sulit menghentikan merokok. Kudu dipaksa dan memaksa diri. Kita nggak bisa memaksa orang. Meski sudah banyak bukti soal rokok sebagai racun, tetapi perokok lebih banyak alasan untuk tetap merokok. Ini sebagian kecil dari alasan mereka:

* Gw udah merokok bertahun-tahun tapi nggak pernah sakit. (Yang ngomong ini pasti perokok pede. Mungkin nggak pernah sakit, tapi langsung meninggal)

* Ah, banyak orang yang nggak ngerokok, tapi matinya lebih cepat dari gw yang merokok. (Yang ngomong ini lebih jenius dari para peneliti, karena tahu jumlah orang yang mati bukan karena rokok dan jenis penyakit orang yang mati itu)

* Urusan mati bukan urusan rokok atau nggak merokok, tapi urusan Tuhan. (Yang ngomong ini cukup religius, karena yakin sekali Tuhan itu nggak concern dengan dirinya yang merokok. Tuhan cuma memberikan kesempatan manusianya mau berubah apa enggak.)

* Kalo elo tanya kenapa gw suka merokok, sama aja kalo sekarang gw balikin pertanyaannya: kenapa elo nggak merokok? (Yang ngomong ini pasti Reporter. Soalnya sudah ditanya, eh malah nanya lagi. Ngapain juga tanya-tanyaan kayak begitu ya? Kurang kerjaan!)


Salah satu poster berbahayanya merokok

Mungkin kalo yang merokok orang kaya, ya it’s ok kali ya. Begitu kena kanker atau penyakit yang disebabkan rokok, mereka bisa ke rumah sakit atau langsung meninggal. Warisan atas kematianny tetap banyak. Kekayaan turun temurun. Nah, kalo yang merokok orang miskin, ini yang jadi masalah. Udah miskin, masih ngerokok.

Itikad pemerintah buat menghentikan Jamkes pada rakyat miskin yang merokok adalah sebuah bentuk pemaksaan yang saya pikir cukup positif. Ini salah satu jalan, sebelum pemerintah menutup seluruh pabrik rokok yang kayaknya nggak mungkin terjadi. Wong pajak rokok gede, bo! Udah begitu sponsor olahraga aja banyak dari produk rokok.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, dr. Dien Emawati, M.kes., penghentian Jamkes ini bukan dalam rangka menghemat dana kesehatan, tetapi justru dalam rangka mendidik. Mendidik apa? Mendidik kalo merokok itu rugi, apalagi yang merokok itu orang miskin.

“Dengan tidak merokok, maka produktivitas akan meningkat,” jelas dr. Dien. Lho apa hubungannya produktivitas dengan merokok? “Sangat jelas! Sudah banyak bukti-bukti, bahwa merokok itu menyebabkan terganggunya kesehatan. Coba kalo uang buat merokok itu digunakan buat keluarga.”

Peneliti dari Universitas Indonesia (UI), Rita Damayanti menambahkan, bahwa merokok erat kaitan dengan kemiskinan. Dalam penelitian yang berjudul Rokok, Kemiskinan, dan Generasi yang Menghilang terdapat data yang menyebutkan perokok itu lebih banyak dilakukan oleh orang miskin, termasuk yang tinggal di desa. Lebih dari 22% pendapatan orang miskin digunakan buat membeli rokok, sedangkan buat kebutuhan keluarga cuma 19%. Gokil abis!


Orang ini sembarangan merokok di dalam mikrolet. Saya sebal banget kalo bertemu dengan orang model begini. Saya pasti akan bilang: "Pak, Bapak goblok banget sih merokok di dalam kendaraan umum."

Tambah Rita, bahwa dengan merokok, maka akan ada generasi yang “menghilang”. Kita tahu, bahwa kadar nikoton yang masuk ke tubuh mempengaruhi apa yang terjadi dalam tubuh kita. Ujung-ujungnya, keturunan kita akan mendapatkan gizi atau asupan yang kurang baik dari tubuh si perokok. Dengan memiliki gizi buruk, maka otomatis daya tahan tubuh akan berkurang. Akhirnya kita menjadi kurang produktif.

Sebenarnya kebijakan yang baru diusulkan ini sudah lama diaplikasikan pada asuransi. Kalo Anda ikut asuransi, biasanya ada salah satu klausal yang menanyakan soal merokok ini. Kalo kita sebagai orang yang diasuransikan dan merokok, maka asuransi bisa membatalkan klaim kesehatan apabila penyakit yang kita derita disebabkan oleh rokok. Bahkan kalo anak kita diasuransikan dan kita perokok, maka asuransi juga berhak menyelidiki penyakit si anak. Maklumlah, akibat rokok bukan cuma pada si perokok aktif, tetapi perokok pasif.


Seseorang sedang melihat poster bahayanya rokok.

Akankah kebijakan Pemkot DKI Jakarta ini akan direalisasikan? I don’t know! Kalo direalisasikan apakah akan berjalan efektif? Lagi-lagi I don’t know for sure. Kalo kebijakan ini dilakukan, jangan justru mengalihkan duit Jamkes ke kantong pribadi atau dikorupsi, tetapi justru buat membantu rakyat miskin yang sedang sakit. Rakyat miskin yang nggak punya uang buat berobat, atau ditolak rumah sakit. Tentu penyakitnya bukan akibat merokok. Atau kalo perlu dana Jamkes-nya dikumpulkan buat bikin rumah sakit gratis, ya nggak?

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

No comments: