Tiba-tiba saja seorang wanita berdiri di depan mata Bismar Siregar, SH. Bukan marah-marah atau melampiaskan emosi dengan cara melakukan kekerasan fisik pada wanita itu, pria kelahiran Baringin (Sipirok), Sumatera Utara, 15 November 1930 ini cuma tersenyum dan dengan lembut mempersilahkan wanita itu pulang.
Itulah salah satu kisah Bismar ketika masih menjabat Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 1984, yang beliau cerita pada saya kemarin. Saya beruntung sekali bisa berjumpa dengan salah satu tokoh penegakkan hukum yang dianggap bersih ini.
"Dahulu sebenarnya juga ada tekanan dalam menegakkan hukum," kata Bismar. "Tetapi kalo ada, semua saya pasrahkan pada Allah."
Kata "bersih" dalam penegakkan hukum di Indonesia ini boleh jadi relatif. Namun sepanjang saya mencari data soal Bismar, nggak ada "cacat" yang pernah dilakukan olehnya. Dan itu adalah sesuatu yang sangat langka. Yaiyalah langka! Indonesia itu dibilang negara hukum, tetapi pada prakteknya, yang berbicara bukan hukum, tetapi uang. Nggak heran kalo persepsi semua orang terhadap penegak hukum di Indonesia itu sangat negatif. Boleh jadi pepatah: "ada uang, hakim sayang" sudah masuk ke otak warga negara kita.
Dalam kesempatan ngobrol, saya meminta pendapat beberapa kasus hukum yang terjadi di tanah air. Yang pertama saya tanya soal kasus Prita Mulyasari. Menurut mantan jaksa di Kejaksaan Negeri Palembang (1957-1959), Kejaksaan Negeri Makassar (1959-1960), dan Kejaksaan Negeri Ambon (1960-1961) ini, hakim yang menjerat Prita ke penjara nggak punya hati nurani.
"Terlepas dari Prita itu bersalah, karena mengkritik rumah sakit Omni, tetapi ia hanya ingin mengungkapkan ketidakpuasannya pada pelayanan rumah sakit," jelas Bismar. "Harusnya bahkan pihak rumah sakit berterima kasih pada Prita yang sudah mengkoreksi pelayanan yang kurang baik dengan mengungkapkan uneg-unegnya."
Selain kasus Prita, saya juga tanya soal kasus yang menimpa Antasari. Bismar pada awalnya mengikuti kasus ini, tetapi lama-lama nggak mengikuti. Katanya, sudah muak. Seharusnya pengadilan nggak memakan waktu sampai begitu lama.
"Kasihan Antasari." kata Bismar.
Menurut Partahi Sihombing, saat ini persepsi mengalahkan kebenaran. Gara-gara, masyarakat sudah nggak percaya hukum. Penyebabnya, mafia hukum. Hakim dan jaksa sudah nggak takut Tuhan, tetapi takut pada penguasa dan uang.
Kebetulan pada saat ngobrol dengan Bismar di Citywalk, Sudirman, Jakarta Pusat, saya juga berkesempatan berkenalan dengan Partahi Sihombing, S.H.. Menurut pengacara yang sempat menangani kasus pemukulan artis cantik Marchella Zalianty terhadap Agung Setiawan ini mengatakan, bahwa saat ini persepsi sudah mengalahkan kebenaran.
Soal persepsi mengalahkan kebenaran ini diungkapkan Partahi berkaitan dengan pernyataan Kwik Kian Gie mengenai kasus bank Century yang menyeret nama Wakil Presiden RI Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
"Ketika Kwik ditanya 'kenapa Boediono dan Sri Mulyani harus mundur?', dia menjawab 'karena opini masyarakat mengatakan seperti itu, bahwa mereka harus mundur'," ungkap Partahi, yang selama menjadi pengacara seringkali diancam akan dibunuh. "Menurut saya itu yang saya sebut sebagai 'persepsi mengalahkan kebenaran'. Bahwa persepsi dijadikan landasan hukum, bukan kita menggali kebenaran dengan menjalankan proses peradilan."
Saya beruntung banget bisa berkenalan dengan Bismar Siregar, S.H., yang sampai saat ini dianggap sebagai Hakim Agung "bersih". Yang juga saya suka, ia meletakkan Al-Qur'an sebagai landasan dalam proses peradilan. Artinya hukum dan agama sangat bersingungan.
Soal benar atau salah, selama ini pengadilan memang seringkali terjadi di lapangan. Warga masyarakat membentuk opini sendiri. Opini-opini tersebut dilansir oleh media. Begitu opini sudah terbentuk dan meluas, maka munculkan persepsi, bahwa apa yang dikatakan oleh masyarakat adalah benar adanya. Padahal belum tentu.
"Tetapi itu wajar, karena masyarakat sudah nggak percaya lagi oleh pengadilan. Nggak percaya jaksa atau hakim," kata Partahi (55) yang kini sedang menangani perkara Reza Herlambang. "Ini berkaitan dengan mafia peradilan. Palunya mau diketok ke mana nih, ke si A atau si B. Tergantung sogokannya."
Menurut Partahi, munculnya mafia peradilan gara-gara penegak hukum sekarang sudah nggak takut sama Tuhan lagi. Bahkan ia mengungkapkan, banyak pengacara yang lebih percaya paranormal. Waduh, ternyata bukan cuma orang miskin yang pengen kaya saja yang pergi ke paranormal. Para penegak hukum yang notabene dari segmentasi well-educated masih percaya paranormal, bukan percaya Tuhan.
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
No comments:
Post a Comment