Saturday, August 21, 2010

RISIKO KALO DIKENDALIKAN SATU ORANG: A STORY OF GADO-GADO BONBIN CIKINI

Nampak seorang nenek duduk di pojok warung. Ia hanya mengenakan daster yang motifnya sudah lusuh. Setiap kali ada pelanggan yang datang ke warung, perempuan keturunan Tionghoa ini tak pernah melewatkan untuk memandangi, termasuk mereka yang sedang asyik menyantap makanan di warung itu. Sesekali, nenek itu berteriak dengan menggunakan bahasa Mandarin kepada para pelayan. Ia tak lain adalah Lanny Wijaya, pemilik warung gado-gado Bon Bin yang saya maksud ini.

Sementara itu, di depan warung, sepasang suami istri terlihat sibuk menjajakan makanan untuk pelanggan yang ada di warung. Sang suami sibuk meracik bahan untuk membuat gado-gado, yang terdiri dari rebusan bayam, tahu, tauge, telur ayam, dan potongan lontong. Sementara itu sang istri memberi bumbu serta menaburi bawang goreng, emping melinjo dan kerupuk udang. Begitu selesai, mereka memberi kode pelayan untuk segera mengantarkan gado-gado kepada pelanggan di warung itu. Perempuan itu adalah putri Lanny Wijaya yang bernama Yuli.


Gado-gado Bon Bin, salah satu gado-gado legend di Jakarta ini. Tidak ada cabang. Kalo mau beli, ya kudu ke Cikini.

Begitulah suasana di warung gado-gado Bon Bin. Warung yang berlokasi di jalan Cikini IV no 5, Jakarta Pusat ini adalah warung gado-gado dan asinan yang cukup legend di Jakarta. Maklumlah, warung ini sudah berdiri sejak tahun 1960-an, dimana jalan di depan warung ini belum bernama Cikini, tetapi masih memakai nama jalan Kebon Binatang III. Konon, sebelum ngetop sebagai warung gado-gado, warung ini ternyata dulunya hanya berjualan es cendol. Namun gado-gado dan asinan lah yang melambungkan nama warung ini. Tak heran nama warung ini gado-gado Bon Bin alias gado-gado Kebon Binatang.

Penamaan jalan Kebon Binatang III tak lepas dari sejarah Taman Ismail Marzuki (TIM) yang nggak jauh dari warung gado-gado Bon Bin. Dahulu, sebelum jadi areal planetarium, gedung kesenian, dan kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), TIM adalah kebon binatang. Tanah kebon binatang ini sebelumnya dimiliki oleh Raden Saleh.

Seiring perkembangan Jakarta, pemerintah memindahkan kebon binatang ke Ragunan. Alasan pemerintah kota Jakarta boleh jadi lantaran kebon binatang tidak cocok berada di pusat kota. Namun sebenarnya analisa tersebut belum tentu benar juga. Lihat saja Surabaya. Lokasi kebon binatang tetap berada di tengah-tengah kota sampai sekarang. Kalo pun dulu Ragunan dianggap cocok menjadi tempat kebon binatang, karena jauh dari kota dan masih asri, toh sekarang ini kebon binatang di Ragunan tetap berada di tengah-tengah pemukiman.


Yuli dan sang suami dari generasi ke-2 gado-gado Bon Bin yang kini sibuk meracik gado-gado maupun asinan. Tidak percaya pada orang lain untuk menjalankan aktivitas ini.

Anyway, ketika masih kebon binatang, lahirlah warung gado-gado Bon Bin ini. Ternyata gado-gado ini laku keras. Kebetulan rasanya memang enak banget. Bumbu kacangnya beda dengan gado-gado uleg yang ada. Bumbu kacang gado-gado Bon Bin encer. Menurut ibu Lanny, kacangnya pakai kacang Tuban Super. Kacang dipilih hanya yang bagus. Begitu menemukan kacang yang tidak bagus, langsung dibuang. Kata ibu Lanny lagi, 1 kacang yang kurang bagus bisa mempengaruhi rasa ratusan kacang pilihan. Jadi, tahap pemilihan kacang ini juga merupakan bagian terpenting dalam pembuatan bumbu gado-gado ini.

Setelah kacang dipilih, proses selanjutnya digiling dan dimasak sampai keluar minyaknya. Oleh karena sudah digiling, maka ketika menyajikan gado-gado, si penjual tak perlu ngulek bumbu lagi. Bumbu hasil gilingan itu sudah dimasukkan ke dalam sebuah panci besar.

Kini, kalo dihitung-hitung umur gado-gado Bon Bin sudah lebih dari 50 tahun. Dalam sebuah usaha, usia setengah abad jangan dianggap remeh. Itu artinya gado-gado yang disajikan masih tetap digemari di segala zaman. Namun apakah ketika sudah melawati 50 tahun masih bisa tetap eksis? Nah, itu masalahnya.

Bukan saya mendahului sang pemberi rezeki, yakni Allah. Bukan pula saya sok tahu membuat prediksi usaha, padahal bukan pengusaha. Tetapi saya sekadar menganalisa dari kacamata pribadi. Bahwa usaha model gado-gado Bon Bin ini paling-paling hanya bisa sampai ke genarasi kedua. Generasi pertama dikendalikan oleh ibu Lanny, yang kini hanya duduk di pojok warung dengan menggunakan daster. Sedang generasi kedua adalah generasi sekarang, yakni anak ibu Lanny bernama Yuli, yang kini sibuk bersama suaminya menyiapkan gado-gado dan asinan. Lalu generasi ketiga?


Pelanggan gado-gado Bon-Bin tak cuma mereka yang masuk kategori Oma dan Opa, tetapi juga anak-anak muda.

Setiap kali saya datang ke warung gado-gado yang baru buka jam 10 dan tutup jam 5 sore ini, tak nampak anak muda atau keluarga keturunan dari ibu Yuli yang membantu di warung itu. Semua dilakukan oleh ibu Yuli dan suaminya. Padahal gerak mereka kini sudah cukup lambat dalam melayani pelanggan.

Setiap kali menunggu pesanan gado-gado yang dibungkus, saya selalu menghitung durasi mereka meracik gado-gado –mengambil sayuran, memotong lontong, dll- sampai gado-gado terbungkus. Hampir sepuluh menit, bo! Saya gemas sekali lihat mereka, tetapi mau bagaimana lagi? Faktor usia agaknya yang membuat mereka lambat. Padahal pelanggan yang menunggu banyak.


Sebenarnya gado-gadonya uenak banget. Tetapi dengan model bisnis konvensional yang diterapkan di gado-gado Bon Bin ini, dianggap oleh banyak pengamat cukup berat untuk eksis. Tak ada delivery, pun tak ada sistem duplikasi.

Itulah usaha yang memang rentan untuk “bubar” pada generasi ketiga. Sebab, nampaknya keluarga Tionghoa ini tidak mau menduplikasikan job desk-nya pada orang lain. Itu baru soal job desk, belum soal racikan bumbu gado-gado dan asinan yang saya yakin banget tidak akan pernah mereka berikan kepada orang lain, selain keluarga dekat dari keluarga Tionghoa ini. Memang wajar. Keberhasilan bisnis mereka ya dari racikan bumbu yang mak nyos itu yang dibuat oleh pemiliknya langsung, yakni ibu Lanny Wijaya.

Serba salah, mungkin itu kata yang tepat buat bisnis model gado-gado Bon Bin ini. Kalo racikan bumbu diberikan kepada orang lain, mereka pasti akan berpikir bisnis gado-gado akan hancur lebur. Oleh karena itu, lebih baik racikan bumbu hanya diketahui oleh anak kandung atau cucu, yang sekarang diturunkan dari ibu Lanny ke anaknya Yuli. Namun sayang, cucu ibu Lanny atau anak ibu Yuli tidak nampak. Jadi, risiko yang bakal terjadi dalam bisnis gado-gado Bon Bin setelah 50 tahun atau sepeninggal anak kandungnya yang sekarang bertugas meladeni pelanggan itu, belumlah jelas. Eksiskah atau malah tinggal kenangan.


Mampukah gado-gado mak nyos Bon Bin ini bisa bertahan 50 tahun mendatang dengan model bisnis konvensional?

Bisnis model gado-gado Bon Bin ini pula yang menurut saya tidak bisa dijadikan bisnis model franchise. Kenapa? Sekali lagi, racikan bumbunya sepertinya menjadi rahasia keluarga saja. Agaknya, selama racikan bumbu masih dikendalikan oleh satu orang, sepertinya sistem duplikasi tidak akan berjalan sesuai kaidah franchise.

Lebih dari itu, di usia yang ke-50 tahun lebih ini gado-gado Bon Bin tidak memiliki layanan delivery. Maklumlah, tidak ada orang. Ya, selain tidak ada generasi berikut yang akan mewariskan bisnis ini, pun orang yang menurut keluarga Tionghoa ini bisa dipercaya. Kalo Anda mau beli, ya harus punya waktu datang ke jalan Cikini. So, jangan berharap gado-gado Bon Bin akan memiliki gerai sebanyak KFC atau McDonnald. Sampai kapan pun bisnis model gado-gado Bon Bin akan menjadi bisnis konvensional. Gemuk di satu tempat, bukan dengan strategi tidak membuat gemuk, tetapi porsinya mengenyangkan di banyak outlet.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

No comments:

Post a Comment