“Kami
tidak dapat memberitahukan kepada khalayak ramai sejauh mana kondom
dapat memberikan perlindungan pada seseorang. Sebab, menyuruh mereka
yang telah masuk ke dalam kehidupan yang memiliki risiko tinggi (seks
bebas dan pelacuran) ini untuk memakai kondom sama saja artinya dengan menyuruh orang yang mabuk memasang sabuk ke lehernya.”
(M. Potts, Presiden Family Health International, salah seorang pencipta kondom)
***
Barangkali
Menteri Kesehatan (Menkes) pilihan Pak Beye: Nafsiah Mboi perlu membaca
banyak buku penelitian tentang kondom. Bu Menkes lupa, bahwa pada 1993,
Direktur Jenderal WHO, Hiroshi Nakajima pernah mengatakan tentang
efektivitas kondom yang diragukan untuk mencegah virus HIV/ AIDS. Bahkan
J. Mann dari Harvard University pada 1995 mengungkapkan hasil
penelitiannya yang mengungkap, tingkat keamanan kondom hanya 70 persen.
Artinya, 30 persennya lagi tidak aman.
Bloggers, setiap kondom punya serat berbentuk lubang yang besarnya 1/60 mikron (dalam keadaan tidak meregang) dan 10 kali lipat lubangnya dalam keadaan meregang. Memang, jika dimasukkan air, seakan-akan air yang dimasukkan itu tidak keluar. Namun sesungguhnya tidak, karena itu tadi, kondom (berbahan latex) memiliki pori-pori. Sementara dalam penelitian yang diungkapkan di konferensi AIDS Asia Pacific di Chiang Mai, Thailand (1995) ini, virus HIV itu 1/250 mikron. Jadi seribu kali lipat lebih kecil dibanding
pori-pori kondom. Jadi seandainya ada anak-anak remaja berzina
menggunakan 10 lapis kondom, virus-virus HIV/ AIDS masih tetap bisa
keluar dari kondom itu. Dapat diumpamakan bahwa besarnya sperma seperti ukuran jeruk Garut, sedangkan kecilnya virus HIV/AIDS seperti ukuran titik.
Tentang
30 persen tingkat kebocoran virus AIDS pada kondom ini, telah diteliti
oleh Carey dari Division of Pshysical Sciences, Rockville, Maryland, USA
pada 1992. Pada penelitian tersebut, ia meneliti 89 kondom yang beredar
di pasaran. Ia menemukan kenyataan, virus HIV tetap dapat menembus
kondom. Dari 89 kondom, ternyata 29 kondom bocor.
Dalam rubrik SuaraPublika pada
13 September 2001, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
(FKUI), Prof. Dr. Dadang Hawari juga pernah menulis hasil rangkuman
beberapa pernyataan tentang kontroversi kondom sebagai pencegah
penyebaran AIDS. Pernyataan ini berdasarkan data-data. Oleh karena itu,
di akhir tulisan, Prof. Dadang menegaskan, bahwa kelompok yang
menyatakan kondom 100% aman, merupakan pernyataan yang MENYESATKAN dan BOHONG.
Bukan
cuma Prof. Dadang, pada 2000, Prof. Dr. Biran Affandi pernah melakukan
penelitian, yang menyimpulkan, tingkat kegagalan kondom dalam Keluarga
Berencana (KB) mencapai 20 persen. Sebelumnya, pada 1994, Prof. Dr.
Haryono Suyono (Ketua BKKBN zaman Orde Baru) juga pernah mengeluarkan
pernyataan, bahwa kondom itu dirangcang bukan untuk mencegah virus HIV/
AIDS.
Kesesatan
dan kebohongan yang dilakukan Menkes dengan program kondomisasi ini
juga diutarakan oleh V. Cline. Pada 1995, Profesor psikologi dari
Universitas Utah, Amerika Serikat ini mengatakan, memberi kepercayaan
pada remaja atas keselamatan berhubungan seksual dengan menggunakan
kondom sangat keliru. Penyakit kondom hanya dapat mereduksi risiko
penularan, tetapi tidak dapat menghilangkan sama sekali risiko penularan
(transmisi) virus HIV/ AIDS.
“Jika
para remaja percaya bahwa dengan kondom mereka aman dari HIV/ AIDS atau
penyakit kelamin lainnya, berarti mereka telah tersesatkan,” kata V. Cline.
Bloggers,
kondomisasi cuma sebuah solusi pragmatis yang sangat menyesatkan.
Kondomisasi bukan menghilangkan akar sesungguhnya, yakni seks bebas yang
terjadi di kalangan remaja yang memang sangat memprihatinkan. Pada
2000, Joni Rasmanto, SKM, Mkes mengeluarkan data tentang prilaku seks
bebas di kalangan remaja di Jawa Barat (Jabar) dan Bali.
Dalam
penelitian, terungkap 6,9 persen remaja di Jabar usia 12-17 tahun sudah
melakukan hubungan intim. Lalu di Bali, 5,1 persen remaja berusia 15-19
tahun sudah making love. Sementara angka nasional aborsi pada 2000 mencapai 1.982.880 kasus.
Pada
2004, Synovate Research melakukan survey tentang prilaku seksual remaja
di 4 kota, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan dengan jumlah
responden 450 orang dengan kisaran usia 15-24 tahun. Hasil penelitian
yang dimunculkan di vivanews.com ini menunjukan, ada 16 % sudah
melakukan hubungan seks. Tempat mereka melakukan hubungan seks favorit
adalah di rumah (40 %), kos-kosan (26%), dan hotel (26 %).
Dalam
Kongres Nasional I Asosiasi Seksiologi Indonesia (Konas I ASI) di
Denpasar, Bali pada Juli 2002, Hudi Winarso dari Laboratorium Biomedik
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair), Surabaya juga
mengemukakan penelitian serupa. Dari 180 mahasiswa Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) di Surabaya berusia 19-23 tahun, 40% mahasiswa sudah pernah
melakukan seks bebas.
Tentu,
angka-angka tersebut akan terus meningkat. Namun kondomisasi bukan
solusi, apalagi sejumlah penelitian tentang kondom telah membuktikan,
kondom tidak efektif. Anehnya, dalam situs BKKBN (http://ceria.bkkbn.go.id/ceria/referensi/media/detail/341), instansi ini masih tetap yakin kodom sebagai solusi. “Amat
sulit mengubah prilaku seksual seseorang, sebagaimana orang gemar
ngebut (naik motor dengan kecepatan tinggi) sulit untuk disuruh berhenti
ngebut, maka mereka dianjurkan pakai helm agar bila terjadi kecelakaan
tidak terlalu fatal. Upaya ini disebut harm reduction.”.
Sungguh lucu, BKKBN membuat analogi pegiat seks bebas dengan seorang pengendara motor yang gemar ngebut. Institusi ini bukan memberikan pendidikan agar tidak perlu ngebut, tetapi malah mempersilahkan tetap ngebut,
tapi supaya aman pakai helm. Dan sepertinya di pernyataan tersebut,
BKKBN sudah frustrasi dengan prilaku seks bebas, sehingga mereka
mengatakan ‘amat sulit’. Padahal jika melihat survey yang dilakukan oleh
Synovate Reseach, kita mencegah para remaja melakukan hubungan seks
sebelum nikah.
Jika
berkaca pada data-data sejumlah pakar kesehatan dunia, semoga Menkes
insyaf serta kembali ke jalan yang benar dan melupakan program
kondomisasi untuk para remaja Indonesia. Atau jangan-jangan kondomisasi
ini proyek titipan, sehingga anak buah Pak Beye ini ngotot dengan
kondomisasi? Sebab, di Australia ada program yang mirip dengan gagasan
Menkes ini, yakni One Dollar One Condom, dimana kondom dijual
bebas sebagaimana Anda ingin membeli minuman ringan di sebuah kulkas
transparan. Cukup memasukkan uang recehan, pilih kondom, dan Anda pun
langsung mendapatkan kondom sesuai selera Anda.
Bloggers, tulisan ini saya tutup dengan pernyataan pakar AIDS, R. Smith pada 1995, yang penulis kutip dari Republika 12 November 1995. Setelah bertahun-tahun meneliti tentang AIDS dan penggunaan kondom, lalu mengecam para penyebar free sex dengan cara menggunakan kondom, Smith menyimpulkan:
“Menggunakan kondom untuk mencegah AIDS sama saja dengan mengundang kematian.”
No comments:
Post a Comment