Boleh jadi Pemilu besok itu rada mirip kayak Pemilu tahun 1971. Why? Yang bakal bertarung itu Partainya banyak banget. Kalo pada saat Pemilu pertama rezim Orde Baru tanggal 3 Juli 1971, Partai pesertanya ada sepuluh Partai. Ada Golkar, NU, Partai Muslimin Indonesia, PNI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, dan Partai Murba. Sementara kalo Pemilu tahun 2009 ini, ada 38 Partai nasional, Cin! Jumlah segitu mash ditambah Partai lokal di Aceh.
Namun bedanya Pemilu 2009 dengan 1971, ini Pemilu ”one man one vote. Maksudnya memilih secara langsung mereka yang bakal duduk di kursi MPR/ DPR. Sebenarnya ini Pemilu langsung yang kedua kali. SBY adalah hasil dari Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Kalo zaman Orba mah kita kayak beli kucing dalam karung. Yang artinya, kita nggak tahu siapa Manusia-Manusia yang bakal jadi anggota Legislatif. Tahu-tahu ada aja 360 anggota DPR di Senayan. Tahu-tahu yang jadi Presiden itu Soeharto aja. So, Manusia-Manusia legislatif dan executive bukan hasil pilihan rakyat langsung.
Meski Pemilu 2009 ini langsung, tapi belum tentu memberikan kualitas anggota Legislatif ok, lho. Maksudnya “ok” di sini adalah sepak terjang mereka sekarang dan nantinya. Apakah sebelum Pemilu ini mereka sehari-harinya memang memperjuangkan dengan rakyat? Apakah nantinya begitu udah memakai pin anggota Legislatif mereka masih ingat janji mereka yang pernah diucapkan pas kampanye?
Yang gw tahu, saat ini Caleg yang muncul itu mayoritas cuma memenuhi kuota si Partai supaya ketahuan kalo Partai-nya ada Caleg, ada pengikut, ada anggotanya. Memang sih, sebelumnya ada verifikasi Partai peserta pemilu. Tapi biasanya orang-orangnya ya itu-itu aja. Begitu Partai nggak lolos verifikasi, para anggotanya buru-buru melamar ke Partai yang lolos dan mengajukan diri sebagai Caleg.
“Kasihan banget ya rakyat kita...”
Sebelumnya gw pernah nulis di Note, pilih Partai kudu hati-hati. Lihat Partai, juga perlu lihat juga bakal Capres-nya. Percuma kan kalo Capres-nya basi, ya nggak usah pilih Caleg atas nama Partai itu. Sebelum ngomong Capres, mending elo kudu selidiki dulu si Caleg-Caleg yang bakal elo mau pilih. Ini supaya nggak beli kucing dalam karung. Kok mirip kayak Pemilu 1971 ya? Lah, kan gw udah bilang dari awal, cin!
Elo jangan pernah milih Caleg yang sok bilang “perubahan” atau “reformasi”. Please jangan kejebak dengan kata-kata itu. Kata-kata itu menyesatkan. Persis kayak aliran yang menyesatkan. Tahu nggak kenapa gw bilang menyesatkan? Because, rata-rata mereka nggak ngerti maksud “perubahan” itu apa? Maksud “Reformasi” itu apa?
“Berjuang buat kemakmuran rakyat?”
Ah, bullshit!
Caleg-Caleg ini mayoritas cuma meloloskan ambisi pribadi, partai, dan Capres-nya. Maksudnya? Menurut loe kalo sesuatu yang udah baik, masa perlu direformasi? Masa hal-hal yang udah berjalan sesuai sistem kudu dirubah? Yang terjadi, tiap ganti Pemerintahan, semua dirubah, bukan diperbaiki atau dijalankan sebagaimana yang udah dilakukan dengan baik. Relnya jadi berubah. Tujuannya jadi bergeser. Niatnya ke Bogor, eh nyasar ke Sukabumi.
Caleg-Caleg dan Capres-Capres terlalu egois meneruskan sesuatu yang udah baik. Mereka mau bikin sistem sendiri. Mau membuat aturan-aturan sendiri. Sebab, kalo si Caleg atau Capres ngikutin Pemerintahan sebelumnya, dianggap follower atau nggak kreatif. Padahal udah jelas kalo kita ngikutin sesuatu yang udah dibangun oleh founding fathers Ir. Soekarno, boleh jadi Indonesia nggak kayak sekarang ini.
“Kita ini memang udah krisis identitas...”
Yap! Coba elo tanya Caleg-Caleg, even para Capres, ngerti nggak mereka soal Pancasila? Ngerti nggak soal Undang-Undang Dasar 45? Hafal nggak lima sila di Pancasila? Hafal nggak Pembuka UUD, Batang Tubuh UUD, dan Penjelasan UUD. Kalo nggak hafal, nggak ngerti, ngapain juga jadi Caleg?
Masa Caleg nggak tahu sila ke-3 Pancasila? Ini kejadian nyata! Kebangetan banget nggak, Cin?! Udah jadi kewajiban sebagai Manusia yang hendak memimpin negara ini, menjalankan roda pemerintahan, membuat UU, kudu tahu yang namanya Pancasila. Sejarah bangsa ini. Sejarah UUD, dimana sebelumnya masih menjadi UUD Sementara. Gimana mau membangun bangsa ini kalo dasar negara kita aja dicuekin? Gimana mau ajak rakyat berjuang untuk Indonesia kalo sejarah Indonesia aja nggak ngerti?
Nah, kalo elo ketemu Caleg, please tanya mereka:
• Tahu nggak apa itu Negarakertagama? Tahun berapa ditulis?
• Kata “nusantara” itu merujuk pada periode kerajaan apa?
• Siapa tokoh yang paling rajin mempromosikan Majapahit sebagai model NKRI modern?
• Apa nama panggilan Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang konsisten berjuang buat pendidikan nasional?
• Berapa jumlah kepulauan Indonesia?
• Tahun berapa pertempuran laut Jawa?
• Apa isi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 45?
Pertanyaan-pertanyaan di atas baru 1% dari pengetahuan yang kudu dimiliki oleh seorang Caleg. Kalo nggak bisa jawab pertanyaan gampang itu, harusnya nggak usah sok jadi Caleg lah. Nggak usah sok bilang berjuang buat Indonesia atau buat rakyat. Back to school di kelas lima SD aja dulu. Minta diajarin Sejarah sama Ibu atau Bapak Guru. Zaman dulu sih diajarin PSPB atau PMP.
“Tapi rakyat nggak butuh sejarah, Cin! Rakyat butuh makan, butuh pekerjaan, butuh...”
Nah, begitulah kalo urusannya cuma perut, Indonesia jadi bangkrut. Krisis identitas. Ngaku berpaspor Indonesia, tapi pikirannya ke Amrik. Gayanya udah nggak ada Indonesia-nya banget. Sok modern, globalisasi, padahal kapitalis. Nggak ada lagi yang namanya “musyawarah atau mufakat untuk demokrasi”. Yang ada tawuran antarkampung atau antarmahasiswa. Nggak ada lagi yang namanya “gotong royong”. Yang ada individualistik. Loe perlu, gw bantu. Kalo nggak penting, ngapain nolongin. Ngabis-ngabisin waktu.
Ketika kampanye yang dijual cuma sosok artis. Yang dijual cuma public figure. Elo pikir artis bisa membuat Indonesia lepas dari krisis identitas? Elo pikir public figure bisa menjadikan Indonesia sebagai NKRI? Mengangkat lagi Pancasila sebagai landasan bangsa? Menjadikan UUD sebagai pedoman bernegara dan berbangsa? No way! Mayoritas Artis dan Caleg cuma meng-eksiskan kapitalisme, individualisme, hedonisme, dan isme-isme yang cenderung negatif.
“Sedih banget sih....”
That’s why teliti sebelum mencontreng 9 April ya, Cin!
No comments:
Post a Comment