Sunday, May 3, 2009

BURUH + ORGANISASI = MANAGEMENT ENEMY NUMBER ONE. REALLY?

Melakukan sesuatu yang ideal memang susah-susah gampang. Selama hayat masih di kandung badan, ideal menjadi sesuatu yang mirip kayak mukjizat. Kita udah berusaha, masih ada aja yang meleset, nggak sempurna, kurang ideal. Makanya kalo ada seorang Wanita menunda kawin gara-gara mau mencari Pasangan yang ideal, udah dipastikan Wanita itu bakal jadi Perawan Tua.

Note gw ini nggak akan membahas soal Perawan Tua atau Jejaka Tua. Meski di tempat kerja gw sekarang ada beberapa Manusia yang picky (baca: terlalu memilih, sehingga nggak married-married), namun fokus utama note gw adalah soal Serikat Pekerja (SP). Moga-moga nggak terlalu berat ya, Cong?! Gw berusaha meringankan penderitaan kalian yang membacanya. Kenapa gw membahas ini? Pertama, buat memperingati hari Buruh sedunia yang kemarin dirayakan (1 Mei). Kedua, kebetulan soal SP ini penting buat kita renungkan, apalagi buat mereka yang kebetulan saat ini menjadi anggota SP atau aktivis.


Di Indonesia terdapat Undang-Undang (UU) yang mengatur soal SP ini, yakni UU no 21 tahun 2000. UU ini memiliki landasan hukum dari UU sebelumnya, yakni UU Dasar 1945, yang terdapat pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 28. Lalu UU No 18 tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar daripadanya Hak Untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1050). Terakhir terdapat UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886).

Inti dalam UU yang dibuat pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid itu adalah, Buruh diizinkan membentuk SP. Nggak ada perusahaan yang boleh menghalang-halangi buruh (selanjutnya Karyawan). Di zaman Gus Dur, SP memang ”dimanjain” banget. Nggak tahu kenapa? Bukan gara-gara Gus Dur peduli Wong Cilik, lho. Soalnya nggak ada hubungannya peduli Wong Cilik dengan ”memanjakan” SP.

You know resiko kalo sebuah perusahan menghalang-halangi Karyawan membuat SP? Di Bab XII Pasal 43 UU 21 menyebutkan, ”Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.



Dalam UU No 21 tahun 2000, SP boleh dibentuk sekurang-kurangnya cuma 10 Karyawan. Artinya, cuma dengan 10 orang aja SP sah demi hukum. Namun kejadiannya, kalo sebuah kantor mendirikan SP, hampir 80% Karyawan langsung mendaftarkan diri. Bukannya norak dan udik, SP begitu laris manis tanjung kimpul. Kenapa begitu?

SP sebagai tempat berlindung. Lho kok tempat berlindung? Memangnya SP itu bodyguard yang bisa melawan mereka yang punya niat menyerang? Memangnya SP rumah, pohon, atau payung, sehingga kita bisa menjadi tempat berlindung kalo lagi hujan. Kalo pake analogi, SP memang mirip kayak bodyguard, rumah, pohon, atau payung. Buat Karyawan, SP sebagai tempat berlindung terhadap ”serangan” dari atasan atau Pemilik perusahaan.

Ketika ada Karyawan yang ”tersudut”, misalnya mau di-PHK, atau dipaksa resign, SP bekerja. Maksudnya, SP membantu si Karyawan tersebut mati-matian agar nggak di-PHK atau mendapatkan perlakuan diskriminatif dari perusahaan. Ketua SP pasti akan menjadi Mediator antara Pimpinan perusahaan dan si Karyawan. Kalo nggak mendapat titik temu? Ya, demonstrasi.

Demonstrasi memang menjadi cara meluluskan permintaan Karyawan. Karyawan yang diterzolimi yang kebetulan anggota SP, mengadu ke Ketua SP. Oleh karena gagal, ketua SP gagal menghimpun seluruh anggota SP buat ”menghajar” Perusahaan. Hal ini biasa terjadi di perusahaan yang punya SP. Ketua SP minta Pimpinan perusahaan memberikan klarifikasi di hadapan seluruh Karyawan. Ibaratnya, Pimpinan perusahaan disidang. Lho, kok seluruh Karyawan? Iya, karena nggak semua Karyawan mau masuk jadi anggota SP.


Selama gw kerja di kantor lama, SP seringkali menyidangkan pimpinan Perusahaan. Yang gw inget, Pimpinan diminta menjelaskan soal nasib perusahaan. Apakah perusahaan akan dibuburkan? Apakah kondisi perusahaan sangat buruk? Klarifikasi ini bertujuan agar Karyawan-Karyawan yang resah bisa mendapatkan pencerahan. Yang paling sering, klarifikasi soal kenaikkan gaji.

Pengalaman gw, SP dianggap menjadi ”musuh dalam selimut” dalam perusahaan. Management Enemy Number One. Soalnya, SP sewaktu-waktu bisa mengancam kondisi dalam perusahaan. Maklum, SP selalu menantang terhadap kebijakan perusahaan yang dianggap nggak sejalan. Ibarat dalam pemerintah, ada yang menjadi oposisi. Nah, di perusahaan, dianggap oposisinya ya SP ini. Oleh karena berperan sebagai oposisi, maka jarang banget (bahkan boleh dikatakan nggak ada) anggota SP yang di perusahaan jabatannya di Human Resource Development (HRD) atau Public Relations (PR).

Harus diakui, HRD atau PR selama ini menjadi corong perusahaan. Kalo HRD corong perusahaan secara internal, PR bisa berlaku internal maupun ekternal. Padahal idealnya, HRD maupun PR bisa juga berfungsi sebagai “penyambung lidah” Karyawan ke perusahaan atau sebaliknya. Artinya, setiap Kebijakan yang diturunkan HRD itu juga berasal dari “bottom up” alias juga berasal dari aspirasi arus bawah (baca: Karyawan). Namun selama ini kebijakan “up down” atau seluruhnya dari pemilik atau pimpinan perusahaan.

Sekali lagi, memang susah-susah gampang mencari yang ideal. Memfungsikan HRD dan PR sebagai mediator Karyawan, nggak semudah membalik telapak tangan. Ujung-ujungnya, lahirlah SP. Kelahiran SP ini guna menyeimbangkan perusahaan. Ketika PR memberikan statement “perusahaan sehat” padahal realitasnya “perusahaan lagi sakit”, SP dengan gagah berani meminta klarifikasi soal itu. Coba kalo nggak ada SP, pasti semua hal akan ditelan mentah-mentah oleh seluruh Karyawan, ya nggak?

Sebenarnya, posisi SP nggak harus menjadi oposisi. SP nggak harus menjadi Management enemy number one. Dalam Surat Keputusan Menteri Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmen Depnakertrans) No 255/ MEN. 2003, ada istilah “bipartit”. Yakni forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari Managemen di Perusahaan dan SP. Ini artinya, tanpa melakukan aksi demonstrasi, SP bisa melakukan komunikasi terhadap Managemen perusahaan secara intensif.

Dalam komunikasi tersebut, harusnya Ketua SP dan Wakil-Wakil SP juga sadar diri terhadap kondisi perusahaan. Jangan sampe kondisi perusahaan memang lagi kembang kempis, eh minta kenaikkan gaji. Gokil itu namanya! Jangan juga, mentang-mentang anggota SP, Karyawan yang memang nggak perform atau nggak produktif atau yang memang “bandel”, dibelain supaya nggak di-PHK. Ya, kudu realistis lah!

Posisikan diri kita anggota SP sebagai Pemilik perusahaan. Kalo elo punya perusahaan dan keuangan lagi nggak bagus, apa tindakan kita? Nggak menaikkan gaji sepanjang satu tahun, padahal harga-harga sembako udah selangit, atau mem-PHK Karyawan? Selama ini yang terjadi, SP nggak mau tahu dengan kondisi tersebut. Gimana caranya gaji naik tapi nggak ada PHK. Belum puas dengan kenaikkan gaji (padahal perusahaan udah mati-matian mencari duit buat menaikkan gaji), SP masih protes karena kenaikkan gaji nggak sampe 2,5%. Kenaikkannya nggak signifikan, cuma 0,1%. Halah!

Kalo teori “nggak puas” menjangkit di sanubari para anggota SP, gw yakin SP akan tetap menjadi Management Enemy Nuber One deh. Kalo cara berpikir yang nggak realistis selalu berkecambuk di benak SP, demostrasi yang dilakukan oleh Karyawan akan berlangsung terus menerus. Memang manusia itu nggak pernah bisa puas ya? Manusia juga nggak bisa mengambil posisi lain di luar posisinya sendiri. Selalu melihat dari kacamatanya sendiri atau egosentris.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

No comments:

Post a Comment