Sunday, May 3, 2009

KEJAR SETORAN

Terminologi “kejar setoran” beda tipis maknanya dengan “kejar tayang”. Kalo “kejar tayang” biasanya muncul dalam dunia broadcast. Istilah ini muncul ketika program maker harus berkejar-kejaran dengan slot (baca: waktu tayang), sementara program yang sedang dibuat masih belum kelar. Taruhlah slot-nya jam 20.00, program masih diedit pukul 17.00 wib di hari yang sama. Artinya, program maker cuma punya waktu 3 jam before on air.

Rentang waktu dari proses pengerjaan dengan on air sesungguhnya nggak boleh mepet. Paling mentok H-2, program kudu udah masuk ke library. Sebelum library kudu disensor internal dahulu. Kenapa harus disensor dulu dan ke library? Sebenarnya bukan cuma disensor atau diteliti soal ada-tidaknya SARA, tapi dicek juga soal kualitas program (time code-nya jumping kah? Ada scratch-kah pada materi on air? Atau durasi program sesuai standar-kah?). Sementara library berfugsi sebagai pendataan program atau administratif aja.

“Kejar tayang” nggak cuma program-program yang mementingkan kecepatan (baca: aktual) kayak program berita. Terkadar program reguler weekly yang cuma tayang seminggu, ada pula yang merasakan pola “kejar tayang”. Yang paling sering, “kejar tayang” terjadi di program stripping alias program yang nggak cuma sekali tayang dalam seminggu, tapi program yang muncul setiap hari, misalnya Senin-Jumat. Sinetron, misalnya.

“Jangan heran ada kasus, sebuah sinetron berdurasi satu jam dicacah jadi dua...”

“Maksudnya?”

“Setangah jam pertama materi dideliver ke stasiun televisi dan ditayangkan. Sisa setengah jam, masih diedit. Begitu editing kelar, si Pengantar materi langsung ngebut dengan menggunakan motor ke stasiun tersebut. Gokil nggak?”

“Bikin jantung mau copot ya?”

“Kebayang nggak kalo si Pengantar-nya celaka? Sinetron yang satu jam jadi setengah jam, gara-gara nggak ada materinya lagi....”

“Setengah jamnya diisi aja pidato para Capres-Cawapres, pasti cukup tuh!”

Itu tadi terminologi “kejar tayang”, nah kalo “kejar setoran” ini biasanya muncul dalam sebuah keluarga. Kalo ada satu anggota keluarga ingin sesuatu, misalnya mau married, beli barang, atau travelling, tapi nggak punya duit, maka doi kudu melakukan sesuatu. Sesuatu yang dilakukan mau nggak mau ada hubungannya buat menambah duit. Jadilah si anggota keluarga itu cari tambahan, entah itu SJ alias Side Job atau kerja setelah pulang kerja. Aktivitas kerja setelah pulang kerja demi menambah income itu biasa disebut “kejar setoran”.

Ada lagi istilah “kejar setoran” yang diperuntukan buat pasangan suami-istri yang married-nya udah telat dan tiap tahun punya anak. Di tahun pertama, anaknya baru 3 bulan, eh di tahun kedua udah mau melahirkan kembali. Begitu si istri baru mengeluarkan anak, eh udah hamil lagi. Begitu seterusnya: hamil-melahirkan, hamil-melahirkan. Sebenarnya yang kasihan si istri, waktu istirahatnya (maksudnya break nggak hamil dulu) jadi nggak banyak. Namun soal kehamilan biasanya kan udah komitmen berdua bukan? Kecuali kecelakaan. Kecelakaan pertama MBA alias Married By Accident. Kecelakaan kedua, lupa pake alat kontraspsi, either nggak pake kondom atau salah hitung kalender.

Dalam politik, terminologi “kejar setoran” juga terjadi. Elo tahu nggak berapa modal yang kudu dimiliki oleh seorang Caleg? Minimal Rp 100 juta – Rp 1 milyard. Kalo ada Caleg baru yang bilang: “Saya nggak akan main duit!” Itu bohong! Bolehlah Caleg nggak “main duit” atau lazim dikatakan money politic atau politik uang. Nggak bagi-bagi duit saat kampanye atau memberikan sembako atau memberikan televisi. Namun modal buat bikin kaos, cetak brosur, stiker, spanduk, dan kartu nama gimana? Memangnya mau Tukang sablon atau Tukang kaos dibayar pake senyum? Memangnya mau Tukang-Tukang itu dibayar pake daun? Enggak lah yau!


Menurut Primus, kalo kita merasa mampu jadi anggota DPR dan punya duit, why not? Doi ngaku sedih mendengar korupsi yang merajalela di DPR. Padahal, tambahnya lagi, kalo para anggota DPR mengandalkan gaji, masa sih nggak bisa jadi orang idealis yang benar-benar membela Rakyat? Kalo belum pernah jadi anggota DPR, idealisme memang kenceng ya, cong?! Coba ente buktikan Mr. Primus...


Primus Yustisio mengaku, dalam Pemilu Legislatif kemarin udah mengeluarkan dana sekitar Rp 760 juta. Buat apa aja dana segitu, ya macam-macam. Kalo mau breakdown detailnya, tanya aja sama suami Jihan Fahira itu. Namun doi mengaku, selain buat mencetak spanduk, stiker, dan poster, duit segitu buat maintenance mobilnya.

“Percaya nggak, cuma dalam waktu dua bulan mobil gw udah 30 ribu kilometer,” ungkap Primus, Caleg PAN yang sebelumnya juga sempat menjadi Cawagub Subang ini.

Kenapa bisa boros gitu kilometernya?

Sebenarnya udah kebayang. Bintang sinetron kesayangan Ram Punjabi ini kudu bolak balik Majalengka-Sumedang atau Sumedang-Subang atau Subang-Majelengka. Dimana jarak ketiga kota tersebut nggak dekat, cong! Namun demi jabatan sebagai anggota Dewan Legislatif untuk Wilayah Dapil IX, Primus rela menjalani masa kampanye ke ketiga kota tersebut. Katanya, pergi ke Majalengka, Sumedang, dan Subang kayak pergi dari Cempaka Putih ke Tebet aja.

“Gw sampe meninggalkan istri selama lebih dari tiga bulan, bo!” jelas Primus lagi. “Coba gimana rasanya mendengar anak kena deman berdarah saat kita sedang tugas?”

Kata Primus, kampanye-nya memang penuh tantangan. Selain kudu meninggalkan istri dan nggak sempat ngurusin anaknya yang kena deman berdarah, doi juga sempat mendapat perlakuan nggak bagus oleh para Pendukung Caleg competitor-nya. Apa aja? Mulai dari poster-posternya disobek, nggak boleh masuk ke wilayah si Caleg competitor tersebut, dan caci-maki.

Demi sebuah jabatan, seringkali memang mengundang resiko. Primus janji, nggak akan korup. Nggak akan “kejar setoran”. Katanya, kalo gaji anggota Dewan Legislatif Rp 40 juta – Rp 60 juta, maka duit modalnya saat kamanye yang Rp 760 juta bakal balik dengan sendiri dalam setahun tanpa harus melakukan tindakan korupsi.

Primus boleh ngomong enteng soal pengembalian modal tanpa korupsi. Pada prakteknya, nggak mungkin kalo para anggota Legislatif berpikir sama. Hukum ekonomi pasti akan berlaku. Modal yang dikeluarkan harus memperoleh keuntungan yang berlipat. Boleh jadi duit Rp 760 juta kembali dalam setahun, tapi apakah gaji yang diterima anggota Dewan semuanya rata-rata Rp 40 juta – Rp Rp 60 juta? Ya enggak! Kalo menjadi Ketua Fraksi, mungkin. Tapi kalo jadi anggota kroco-kroco, paling gajinya nggak sampai Rp 30 juta. Bahkan gaji yang diterima, belum tentu langsung take home pay, cong! Masih banyak potongan-potongan yang kudu dicacah lagi, either ke Partai atau ke kelompok-kelompok yang mendukung si anggota Dewan itu. Istilahnya duit pembinaan kader lah. Nggak heran ada yang bilang, anggota Dewan yang kroco, paling-paling cuma bawa duit Rp 10 juta.

Cekak banget?! Itu mah sama kayak gaji seorang Producer, cong!

Justru itulah kenapa diperlukan “kejar setoran”. Artinya, begitu si Caleg terpilih duduk di kursi empuk di gedung DPR alias menjadi anggota Legislatif, kudu mengisi pundi-pundi yang udah “jebol” gara-gara tergerus aktivitas kampanye. Mikirnya nggak cuma Break Even Point (BEP) kayak Primus dan menikmati gaji setelah setahun BEP. Mikirnya, gimana caranya dalam setahun udah untung dan dalam periode lima tahun bisa jadi Konglomerat. Gokil nggak?!

Yakinlah, bukan cuma anggota Legislatif yang punya pikiran BEP dan untung. Capres-Capres juga demikian. Koalisi-koalisi yang dilakukan beberapa Partai bukan didasarkan atas kepedulian pada rakyat dan bangsa ini. Tapi udah lebih kepada ego pribadi. Bohong banget kalo masih ada Partai yang bilang “demi bangsa” atau “demi rakyat”. Wong Partai-nya udah kalah kok? Kalo udah kalah yang nggak usah grasak-grusuk berkoalisi atau cari dukungan. Legowo aja kale!

Sumber dari KPU, dana yang dihabiskan Girindra buat kampanye legislatif sebesar Rp 308 milyard. Gokil nggak?! Meski jumlah dana ini nggak update alias belum tentu segitu. Nggak mungkin kurang, tapi pasti lebih. Nilai yang bejibun itu membuat Partai ini menduduki urutan pertama dalam dana kampanye. Partai selanjutnya adalah Partai Demokrat (Rp 243,8 milyard); Golkar (Rp 164,5 milyard); PKS (Rp 36,4 milyard); Hanura (Rp 19 milyard); PAN (Rp 18 milyard); PBB (Rp 10,9 milyard); PDIP (Rp 10,6 milyard); PPP (Rp 4,1 milyard); dan PKB (Rp 3,6 milyar). Partai-Partai sisanya, pasti rata-rata milimal Rp 1 milyard.

Apa artinya dana kampanye tersebut buat kita?

Itu artinya “kejar setoran”. Duh, balik lagi! Yaiyalah! “Kejar setoran” adalah kata yang pas buat menanggapi duit-duit yang fantastis itu. Dimana kalo kita gabungkan, duit itu bisa membangun sekolah-sekolah yang reot, anak-anak yang nggak bisa sekolah, mereka yang punya ketrampilan tapi nggak punya modal, dan lain-lain. Namun sayang, demi ambisi dan jabatan, hal-hal yang berhubungan dengan Negara dan Rakyat, jadi nggak punya arti lagi.

Coba elo jawab, siapa yang mau duit hilang begitu saja? Meski Partai-nya kalah, duit kudu kembali. Ibaratnya modal kudu balik, cong! Syarat utama, Partai yang kalah, kudu cari teman. Nggak heran kalo kemudian mereka berkoalisi. Partai G dan H yang kalah jauh dari Partai D cari koalisi. Koalisinya kudu yang bersebrangan dengan Partai D. Jadilah Partai G dan Partai H menjajaki koalisi dengan Partai P. Padahal semua Rakyat tahu, Partai G dan Partai H adalah musuh Partai P. Lawan jadi kawan. Sekali lagi, demi ambisi.

Belum selesai urusan dengan koalisi, Partai H memutusan berkoalisi ke Partai G2. Soalnya Partai H pikir, nggak akan mungkin Partai H bisa menjagokan kadernya jadi Capres, wong kalah kok. Partai H lebih realistis. Jadilah Partai H diusung jadi Cawapres, sementara Partai G2 yang mendapat suara lumayan di Pemilu Legislatif menggusung kadernya jadi Capres.

Begitulah terus menerus. Satu tetap ngotot jadi Capres meski kalah, satunya lagi tetap nggak mau digeser kedudukannya jadi Capres. Kita-kita sebagai Rakyat begitu muak melihat tingkah laku politisi koalisi kayak gitu. Pasti elo setuju, kalo nanti terpilih jadi Presiden, politisi yang nggak tahu diri ini bisa membuat Negara ini menjadi nggak jelas lagi. Korupsi nggak bakal pernah habis, bahkan akan semakin parah. Lah iya, wong banyak yang “kejar setoran”, cong! Apalagi Ketua KPK Antasari Ashar yang terkenal keras dalam memberantas korupsi, diduga kena skandal cinta segitiga. Waduh! Kacau, cong!

So, please pilih-pilih Presiden dengan punya track record masa lalunya indah gemilang dan nggak mungkin “kejar setoran”.

No comments:

Post a Comment