Tuesday, May 12, 2009

MENJAGA KEHORMATAN

Dalam sebuah nasihat pernikahan di akad nikah Adik gw, Prof. Dr. Arief Rachman mengatakan, pasangan Suami-Istri kudu selalu menjaga kehormatan. Nggak bisa nggak! Ibarat kiasan, Suami kudu menjaga rahasia agar “piring pecah” yang terjadi nggak dikatahui orang lain. Sebaliknya, sang Istri kudu bisa menyimpan sesuatu hal, meski “jendela” di rumah udah rusak parah.

Suami-Istri kudu kompak. Masalah dalam rumah tangga itu biasa. Cek-cok itu lumrah. Bohong banget kalo ada pasangan Suami-Istri yang hidupnya selalu rukun dan damai. Pasti ada pasang dan ada surut dalam mengarungi bahtera keluarga. Bukan begitu bukan? Menurut Pak Arief, yang penting bukan pada saat bahagia kita kompak. Justru, pada saat terjadi masalah pasangan Suami-Istri dites soal menjaga kehormatan itu.

Apakah “piring pecah” itu akhirnya menjadi konsumsi publik? Dimana semua orang jadi tahu konflik internal yang terjadi dalam rumah tangga pasangan Suami-Istri itu? Apakah “jendela yang rusak” itu jadi diintip oleh para Tetangga yang ada di kiri dan kanan?

Anda pasti nggak ingin kisah hidup Anda kayak para Selebritis yang hidupnya selalu diekspos di televisi, dimana ketika masa pacaran hidup mereka luar biasa. Namun begitu married dan usia married mereka seumur jagung, pasangan tersebut saling membuka aib. Sang Istri membeberkan “borok” sang Suami dari A sampai Z. Sementara sang Suami merasa dirinya paling benar dan melegalkan diri ketika harus menjelek-jelekkan si Istri.

Kisah rumah tangga Achmad Dani dan Maia Estianti adalah sepasang Mahkluk Tuhan yang kayak-kayaknya paling nggak patut jadi contoh buat diri kita semua. Bayangkan, konflik mereka nggak selesai-selesai. Ada saja statement buruk soal Maia yang keluar dari mulut Dani. Begitu juga Maia yang selalu men-counter statement Dani dengan keburukan juga. Padahal semua orang tahu, ketika belum bercerai, mereka begitu kompak. Rumah tangga mereka indah bersemi. Namun ketika “piring” mereka pecah, entah kenapa kedua pasangan itu saling berseteru dan membuka aib masing-masing.


Kehidupan Maia Estianti nggak patut kita contoh. Ngeri banget anak-anak ngikutin mereka, yang begitu mudah saling ejek-mengejek atau mengeluarkan kata-kata negatif pada mantan suami. Kenapa sih mereka nggak bisa nahan diri demi anak-anak mereka?



“Mereka ngerti nggak sih kalo perseteruan itu memberi contoh buruk buat anak-anak mereka?”

“Apa kata dunia?”

“Ah, elo kayak iklan pajak aja!”

Kalo nggak salah, Imam Ghazali pernah mengumpamakan hati Perempuan kayak lautan. Bahwa hati Perempuan itu lebih dalam dari lautan terdalam yang diciptakan oleh Allah. Sementara Pria yang kuat, mampu menyelami lautan yang dalam tersebut. Ini maksudnya apa? Maksudnya, Suami kudu ngerti keinginan Perempuan. Sebaliknya, Perempuan juga kudu ngerti soal Lelaki. Nggak heran kalo kita dianjurkan karakter Mars dan Venus. Soalnya kalo nggak belajar, Mars dan Venus nggak pernah ketemu-ketemu, bakal konflik terus.

Menjaga kehormatan ternyata nggak cuma dalam rumah tangga. Dalam dunia pekerjaan, kita juga kudu menjaga kehormatan. Ketika kehormatan kita sebagai Karyawan diinjak-injak, terkadang pilihan kita ada dua: resign atau status quo.

Temen gw nggak tahan dengan sikap Big Bos-nya. Segala hal yang dilakuan oleh temen gw, nggak pernah diapresiasi. Boro-boro pundaknya ditepuk dan menjulurkan tangan sebagai tanda selamat. Ini mah gokil, mau punya prestasi baik, pasti kena semprot. Wah, apalagi prestasinya buruk, nggak ada ampun lagi deh. Ketika rating yang dihasilkan lewat jerih payah dan kerja kerasnya bagus, nggak dapat apresiasi. Big Bos-nya tetap mencari kesalahan temen gw ini. Yang paling menjengkelkan, hidup teman gw semakin hancur berkeping-keping ketika rating programnya jeblok.

Nggak heran kalo temen gw pilih resign. Katanya, resign lebih terhormat daripada harus hidup merana dengan Big Bos yang nggak apresiatif itu. Resign lebih asyik daripada harus bersabar buat mencari trik-trik yang paten dalam “mengalahkan” si Big Bos. Katanya lagi, sabar itu ada batasnya. Memang sabar ada batasnya ya?

Temen gw juga nggak mau memilih jadi Karyawan status quo. Katanya, status quo itu bikin kita jadi Penjilat. Oh ya? Maca cih? Maksud status quo dalam konteks ini bukan “mencari selamat” atau “carmuk” (cari muka) apalagi jadi Penjilat. Beda, cong! Status quo justru menjadikan Karyawan punya semacam strategi jitu menghadapi Big Bos yang nggak apresitif itu. Memang sih nggak mudah, tapi banyak orang dengan kesabaran ekstra, berhasil “mengalahkan” si Big Bos. Logikanya, nggak ada Big Bos yang nggak suka dengan keberhasilan Karyawan. Nggak ada Big Bos yang nggak memberikan apresiasi pada anak buahnya.

“Iya juga ya? Jangan-jangan memang si Karyawan itu egonya terlalu tinggi. Sok tahu. Sok ngerti berbagai persoalan kerja. Memandang remeh si Big Bos-nya. Sok senior. Sombong mentok...”

Yang terjadi, si Big Bos merasa “dipandang remeh” dan si Karyawan merasa kehormatan diinjak-injak, nggak ada yang mengalah. Ego masing-masing terlalu tinggi. Mana ada Big Bos yang mau mengalah buat Anak Buah-nya? Jarang ada Bos bilang: “Yang mundur elo apa gw?” Nggak heran, dengan impulsif si Karyawan bertekad bulat buat resign.

"Padahal persoalan nggak akan pernah selesai dan dunia ini sempit sekali...."

Dalam status quo, ada titik-titik yang kudu dipelajari si Karyawan soal Big Bos-nya. Mencari titik-titik di sini adalah mengetahui kelemahan si Big Bos dan juga mengetahui keungulannya. Dalam buku-buku yang gw baca, nggak ada satu orang pun yang mau diungkapkan kelemahannya. Kalo itu terjadi, maka kehormatan orang tersebut hilang. Apalagi kalo mengungkapkan kelemahan si Big Bos dihadapan orang banyak. Orang yang mengungkap kelemahan menjadi musuh.

You know what? Orang selalu ingin diungkapkan keberhasilannya. Hal-hal yang luar biasa yang pernah dilakukannya. Meski si Big Bos memiliki prestasi sedikit, pasti ada satu hal yang baik darinya. Satu hal itulah yang kudu kita ketahui. Kalo udah tahu, maka kita otomatis bisa memegang kehormatan dirinya. Pujilah dia. Kalo nggak klepek-klepek, bohong banget. Eit! Jangan anggap memuji itu adalah menjilat. Ente salah bung! Memang udah sewajarnya kita kudu memuji setiap orang. Dengan memuji, kita melihat gambaran orang dengan kacamata positif.

Sayang, menjaga kehormatan diri sendiri dan juga Big Bos kita, nggak semudah membalik telapak tangan. Pada prakteknya, ego berbicara. Maklumlah, namanya juga manusia, selalu merasa dirinya lebih benar. Ini yang dialami temen gw. Gw juga begitu. Gw adalah manusia bodoh yang kadang selalu berpikir orang lain salah dan gw benar. Big Bos kita brengsek, sedang kita suci. Halah! Padahal belum tentu begitu. Kata orang bijak, ketika elo merasa diri benar, saat itu elo sebenarnya adalah orang yang paling bersalah.

photo copyright by Brillianto K. Jaya

No comments:

Post a Comment