Terkadang sebel juga ketika selalu ditanya dengan pertanyaan yang sama tanpa kita sempat diberikan kesempatan berpikir. Ini dialami sendiri oleh Atok. Tiap kali rekan-rekannya dari Sales and Marketing tanya, Atok terpaksa menjawab sesuai kebiasaan yang sebelum-sebelumnya doi jalankan, yakni tanpa prosedur semestinya.
“Kalo bikin filler kira-kira production cost-nya berapa ya, To?”
“Kalo kita cuma coverage sebuah event berapa budget-nya?”
"Shooting di studio berapa? Nggak live berapa kalo live berapa?"
"Kalo shooting outdoor piye?"
Sebenarnya Atok bisa langsung menyebutkan production cost atau menyebutkan budget yang diminta. Namun kondisi begitu jadi membuat dirinya serasa nggak boleh berpikir terlalu lama. Kudu cepat. Maksudnya, nggak bisa lagi berpijak pada prosedur yang seharusnya dilakukan, yakni berangkat dari konsep kreatif baru kemudian membicarakan budget.
Terkadang ada program yang blocking (membayar slot waktu tayang di televisi) yang di-block oleh Departemen-Departemen pemerintahan. Mereka biasanya buat sosialisasi. Mending blocking-nya waktunya cukup, ini mah dadakan, yakni kurang dari H-2. Ini kadang yang bikin ngeselin. Udah nggak sempat punya waktu buat mikirin konsep kreatif, kerja jadi diburu-buru.
Memang harus kita akui, televisi adalah industri kreatif yang kudu cepat. Ibarat kata, waktu adalah duit. Yang namanya industri, dianggap nggak punya banyak waktu merenung dan mencari wangsit agar ide turun dari langit. Kondisi kayak gini (maksudnya kerja di dunia broadcast) memang nggak cocok buat para seniman yang selalu butuh kontemplasi sebelum melakukan hal-hal kreatif. Nggak heran kalo akhirnya, kita terpaksa “melanggar” prosedur yang tadi gw sebutkan di atas.
“Padahal seharusnya kita punya konsep kreatif dulu baru bicara budget,” kata Atok rada sok tahu, tapi kelihatannya benar cara berpikirnya. “Eh yang terjadi sebaliknya, budget dulu baru dituangkan dalam konsep...”
Atok memang terpaksa menjalankan kebiasaan yang sebelumnya diajarkan pada dirinya. Bos-Bos terdahulu mengajarkan kayak begitu. Sehingga, teman-temannya dari Sales and Marketing bertanya, selalu diawali dari budget bukan konsep. Mereka selalu berpatokan pada angka produksi buat pitching dengan klien-klien mereka. Memang sih nggak semua begitu, tapi sayangnya mayoritas ya begitu-itu.
Begitulah kalo sales, sales, dan sales yang selalu dikejar. Orang-orang marketing selalu berpikir bagaimana cara meraih duit sebanyak-banyaknya, sehingga target bisa terlampaui dengan baik. Mereka selalu bekerja keras buat cari sponsor agar tertarik melakukan sponsorship, built in, ad lips, dan lain sebagainya. At least membeli spot-spot di beberapa program.
Salahkah? Ya enggak salah! Merugikan perusahaan kah? Tentu menguntungkan dong!
Selalu siap live dimana pun dan kapan pun juga. Mirip kayak iklan produk minuman soda ya?
Menurut buku yang Atok baca, brand building jauh lebih dahsyat daripada sekadar mendewakan sales. Kalo sales itu cuma berpikir buat hari ini. Artinya, berpikir pencapaian target bulan ini doang. Target bulan ini Rp XX (double X), bulan depan dinaikkan menjadi Rp XXX (triple X). Namun begitu target di bulan ke-4 dinaikkan jadi Rp XXXX (quadruple) dan ternyata mencapai, malah turun Rp XX (double X) lagi, itu berarti salesnya jeblok.
Analogi pencapai sales tersebut di atas mirip kayak “yoyo”. Naik turun-naik turun. Nggak konstan, apalagi memiliki efek exponential yang selalu menanjak terus-menerus, wah itu mah lebih nggak mungkin lagi. Parahnya, analogi tadi bisa dikategorikan kayak keluarga Pemulung yang selalu berpikir: “Besok gw makan apa ya?” atau “Kira-kira besok gw bisa makan nggak ya?”
Separah itukah? Please think about it my friends!
Lain halnya kalo brand building. Sesungguhnya brand building ujung-ujungnya sales juga sih. Bedanya apa? Bedanya brand building lebih long lasting. Artinya, sales yang dihasilkan bakal bertahan lama. Nggak kayak “yoyo”.
“Bukankah kita ingin brand kita mampu bertahan berpuluh-puluh tahun?” tanya Atok, cowok yang kiprahnya selalu diremehkan di kalangan para Saleman atau Marketer ini pada rekannya: Hendri.
“Ah, gw mah lebih mentingin sales daripada membangun brand,” kata Hendri, cowok Manado yang wajahnya lebih mirip cowok Surabaya ini. “Membangun brand terlalu lama, cong! Padahal performance gw dinilai berdasarkan sales.”
“Betul Hen! Apalagi kalo sales gw ok, insentif selalu menanti. Cihuy nggak tuh?!” tambah Rifa yang konon udah puluhan tahun berkecimpung di dunia Sales and Marketing ini, yakni sejak zaman keemasan Gajah Mada.
Atok nggak salah, Hendri dan Rifa pun nggak salah. Jadi siapa yang salah dan siapa yang benar? Tergantung kebijakan masing-masing Bos si Salesman dan Marketer. Kalo memang strateginya sales di awal-awal membangun usaha, ya sok dijalankan. Namun dalam buku yang Atok baca, ada sebuah pertanyaan yang seharusnya mengusik: "Apa gunanya sales meledak di bulan itu tapi brand kemudian hilang dipasaran di bulan-bulan berikutnya?" Buku itu menutup tulisan dengan kata-kata bijak: "Berpikir jangka pendek boleh dilakukan (baca: sales yang gila-gilaan buat operational cost sebuah perusahaan), tapi berpikir jangka panjang (baca: membangun brand yang bisa long lasting) nggak boleh dilupakan".
Atok duduk sendiri di depan komputer. Matanya masih menatap status updates beberapa temannya yang ada di Facebook. Tiba-tiba ada pesan di inboxnya. Isi pesannya begini...
“To, gw nggak tangung jawab ya kalo program loe kehilangan sponsor? Soalnya klien gw nggak bisa muncul di tanggal itu. Doi minta di-tapping, karena mau pergi ke luar negeri...”
Atok bingung.
"Please dong, To! Sekali-sekali melanggar prosedur H-3 nggak dosa kan? Yang penting klien mau blocking nih!"
“Lha, urusan dapat sponsor atau nggak dapat sponsor mah bukan urusan gw, cong! Elo dapat klien dan si klien bisa shootingnya besok atau bulan depan juga bukan urusan ogut,” pikir Atok dalam hati. “Urusan gw mah cuma bikin program (baca: brand) yang bagus dan nggak menyusahkan gw. Kalo klien loe mau sponsorin ya Alhamdulillah, kalo nggak ada yang sponsorin ya jangan mengancam gw kayak gitu dong. Emang kita cowok apaan?”
No comments:
Post a Comment