Boleh jadi tanggal 27 ini menjadi hari yang menggembirakan buat kita semua. Setidaknya buat mereka yang masih tercatat sebagai karyawan. Sebab, tanggal 27 merupakan hari gajian nasional. Pasti pagi ini atau detik ini Anda berada di depan layar ATM dan melihat deretan angka. Yang semula angkanya udah menipis, sekarang bertambah.
Memang sih, ada perusahaan swasta yang nggak menggaji karyawannya di tanggal 27 ini. Ada beberapa perusahaan yang seringkali memberikan gaji pada tanggal 32, bahkan ada yang tanggal 35. Maksudnya, gaji perusahaan tersebut terlambat. Kalo hal ini terjadi, perusahaan swasta itu sungguh nggak lazim. Abnormal! Gokil! Bahlul! Edan!
Perusahaan yang memberikan lebih dari tanggal 27, itu sama saja mendzolimi karyawannya. Yaiyalah! Saya pernah merasakan berada di perusahaan yang membayarkan gaji karyawannya di bulan berikutnya. Meski turut terdzolimi, tapi Alhamdulillah saya nggak sempat merasakan parahnya cash flow keluarga gara-gara gaji terlambat. Namun beberapa kawan saya waktu itu sempat berhutang kanan-kiri buat menghidupi rumah tangga mereka di bulan berikut, termasuk membayar cicilan hutang dan kontrakan. Jangan-jangan ada di antara Anda yang pernah merasakan kondisi itu?
Yang merasa terdzolimi bukan cuma karyawan swasta yang belum menerima gaji di tanggal 27 ini. Para korban 27 Juli pun merasa terdzolimi. Sebab, hak mereka mendapatkan keadilan hukum, yakni dengan mengadili dalang peristiwa 27 Juli tigabelas tahun lalu sampai kini belum juga tertangkap.
Ada upacara pembakaran ban tepat di depan kantor yang menjadi saksi kerusuhan 27 Juli 2006.
Barangkali di antara Anda banyak yang udah lupa. Saya maklumilah. Anda udah tua kan? Udah pikun kan? Baiklah, saya akan flashback soal peristiwa 27 Juli 1996. Bahwa hari ini tigabelas tahun lalu, terjadi peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang berada di jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat. Saat itu, PDI dikuasai oleh pendukung Megawati Soekarnoputri.
Sekitar 06:15 wib, mulai terjadi penyerbuan yang dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi. Pria berambut putih dan berkacamata ini kala itu nggak lain adalah Ketua Umum terpilih versi Kongres PDI di Medan. Penyerbuan tersebut dibantu oleh aparat kepolisian dan TNI. Maklum, pemerintah nggak ingin Megawati menang jadi Ketua Umum PDI, padahal grass root menginginkan Megawati menjadi Ketua Umum.
Meski Soerjadi udah terpilih jadi Ketua Umum PDI, Megawati serta pendukungnya tetap menguasai kantor PDI. Hal itulah yang membuat pendukung Soerjadi mengambilalih kantor PDI dengan paska. Peristiwa pengambilalihan secara paksa itu meluas menjadi kerusuhan. Nggak Cuma di seputar jalan Diponegoro, tapi meluas ke Salemba dan Kramat. Nggak heran kalo beberapa kendaraan dan gedung terbakar, antara lain Bank Swastaindo International, Auto 2000, Bank Mayapada, dan gedung Honda di Salemba. Menurut data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), kerusuhan tersebut menyebabkan 5 orang meninggal, 149 orang luka-luka, dan 136 orang ditahan.
Bapak berkepala botak ini yang lagi diinterview rekan-rekan Wartawan ini konon adalah pelaku sejarah yang sempat berada di kantor PDI tanggal 27 Juli 2006. Bukan gara-gara kerusuhan itu, lho, yang menyebabkan kepala Bapak ini botak.
Pemerintah saat itu, dalam hal ini Presiden (alm.) Soeharto menuduh dalang kerusuhan itu adalah aktivis PRD. Padahal PRD cuma jadi kambing yang warnanya hitam. Nggak heran, gara-gara jadi kambing, eh maksudnynya gara-gara dituduh sebagai biang kerusuhan, pemerintah Orde Baru menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Sang Ketua Umum PRD, Budiman Sudjatmiko mendapatkan hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara.
Dokumen dari Laporan Akhir Komnas HAM menyebutkan, ada pertemuan yang terjadi tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya yang dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Tahu dong nama pria yang saya sebutkan itu? Nah, selain SBY, hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, SBY mengambil keputusan untuk menyerbu atau mengambilalih kantor DPP PDI.
Dokumen Komnas HAM tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI. Selain itu, Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo juga melakukan penyerbuan. Komnas HAM juga memiliki rekaman video peristiwa 27 Juli 2006, dimana menampilkan pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha. Pasukan ini menyerbu markas PDI dengan cara menyamar, seolah-olah mereka adalah massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta serupa juga ada dokumen Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, yang diungkap dalam paparan di depan anggota Komisi I dan II DPR RI pada tanggal 26 Juni 2000.
Peringatan 27 Juli dari tahun ke tahun selalu menjadi bahan tontonan warga. Ada yang sekadar mau lihat-lihat bentuk peringatannya, ada yang sok ngaku-ngaku ikut menjadi saksi sejarah, dan tentu saja ada beberapa Wartawan yang menunggu momentum peringatan ini. Yang paling beruntung adalah para Pedagang yang memanfaatkan peringatan ini buat cari rezeki.
Tepat hari ini, 27 Juli tigabelas tahun lalu, mereka yang merasa terdzolimi mengadakan acara mengenang peristiwa berdarah itu. Dalam acara tersebut, hadir beberapa saksi mata maupun mereka yang sempat menjadi pelaku “sejarah”. Kebetulan saya hadir di bekas lokasi peristiwa kerusuhan pagi ini. Bukan, saya bukan saksi mata atau pelaku “sejarah”. Saat kejadian itu, saya masih belum tahu apa-apa.
“Memangnya sekarang udah tahu?”
“Enggak juga sih! Tapi sedikit banyak udah melek politik gitu, deh!”
Saya melihat dari dekat, mereka yang ingin menuntut keadilan atas peristiwa ini. Membuat spanduk bertuliskan “adili dalang kerusuhan”, berteriak-teriak menuntut keadilan, membakar ban, dan aktivitas lain. Wajar sih, tapi kasihan juga. Kenapa? Jangan-jangan Megawati sendiri udah melupakan peristiwa yang merupakan cikal bakal berdirinya PDI Perjuangan (PDIP) ini. Prejudice ini beralasan. Wong di zaman Megawati jadi Presiden, pengadila cuma bisa membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke kantor PDI. Gara-gara itu Jonathan sempat dihukum dua bulan sepuluh hari. Sementara dua perwira militer yang diadili, yakni Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas. Begitu pula mereka yang lain. Nggak ada satu pun yang berhasil dimasukkan ke dalam penjara.
Tiap kali ada peringatan di kantor PDI, pasti kemacetan pun terjadi. Untung si Komo nggak lewat. Kalo si Komo sampai lewat, wah bisa-bisa kemacetan pun makin parah. Bersyukurlah Kak Seto nggak mengizinkan si Komo lewat.
“Sia-sia dong korban kerusuhan 27 Juli itu?”
“I don’t know!”
“Baik yang dituduh mendalangi maupun didzolimi, sama-sama sibuk mencaci-maki Komisi Pemilihan Umum (KPU) gara-gara Pilpres 2009 ini dianggap curang. Soal kerusuhan 27 Juli 2006, sementara nanti-nanti dulu deh diurusinnya....”
Ah, what a pitty!
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
No comments:
Post a Comment