Seorang Sutradara Indonesia terkenal pernah bertanya pada seorang Pengacara terkenal. Pertanyaannya kira-kira begini: mengapa lembaga seperti Lembaga Sensor Film (LSF) nggak dibubarkan saja? Apa susahnya sih membubarkan LSF? Menurut Sutradara yang namanya saat ini sedang melambung di perfilman nasional, LSF nggak dibutuhkan, karena yang namanya film itu nggak boleh disensor.
What do you think?
Kalo menurut gw, pernyataan Sutradara kita tercinta ini terlalu emosional. Tapi gw mengerti mengapa beliau mempertanyakan eksistensi LSF di tengah perfilman nasional ini. Bahwa LSF dianggap lembaga yang “asal potong”. Dalam film, setiap scene atau shot pasti punya nilai. Setiap dialog, punya makna. Bayangkan kalo sebuah nilai atau makna dipotong, pasti benar merah cerita di film itu akan terganggu. Kalo benar merah sebuah cerita udah “diobrak-abrik”, buat apa film diputar.
Itu baru soal “mengobrak-abrik” benang merah, belum soal (maaf!) “permainan” yang ada di LSF. Ini memang rada tendensius, tapi udah banyak cerita-cerita miring soal “permainan” ini. Tolong jangan salah arti kata “permainan” di sini. Bukan permainan kayak main petak umpet atau main perempuan. “Permainan” di sini nggak lain nggak bukan adalah kolusi. Walah!
Contoh di atas juga pernah dialami oleh Mira Lesmana. Sebagai Produser film 3 Hari Untuk Selamanya, Mira bereaksi sangat keras, karena film garapan Sutradara Riri Riza itu dipotong sebanyak 8 adegan oleh LSF. Menurut Mira, tindakan itu sama aja “membunuh” cerita film itu sendiri. Film adalah karya seni yang seharusnya bisa dipertunjukan secara keseluruhan. Jadi nggak seharusnya disensor.
Perlu diketahui, setiap film maupun program televisi, wajib disensor. Caranya? Materi film atau program televisi kudu dikirim ke LSF. Di LSF, ada beberapa orang yang akan melakukan penyensoran. Hasil dari LSF ini adalah sebuah surat. Nama surat itu adalah Surat Tanda Lolos Sensor (STLS). Itu kalo berhasil lolos sensor. Nah, sekarang kalo nggak lolos sensor? Materi kudu direvisi dan dikirim kembali ke LSF sampai akhirnya mendapatkan STLS.
Itu prosedur yang ideal. Pertanyaannya sekarang, apakah tenaga LSF mampu mensensor jumlah produksi film dan program televisi yang ratusan ini? Data terakhir produksi film nasional tahun 2008 mencapai 50 judul. Bagaimana dengan program televisi? Let’s count, kalo dalam sehari sebuah stasiun televisi punya 10 program yang kudu disensor, maka dalam seminggu adalah 70 program atau dalam sebulan 280 materi program. Itu baru satu televisi, bagimana televisi lain? Dengan jumlah segitu, jelas dibutuhkan banyak orang di LSF. Buat apa lagi kalo bukan buat melakukan penyensoran. But you know what? Saat ini jumlah karyawan yang mensensor di LSF di bawah 40 orang. Jumlah yang krucil (maksudnya kru kecil) atau kruni (maksudnya kru mini) ini nggak didukung oleh Peraturan Pemerintah (PP) atau Undang-Undang. Padahal di PP Pasal 9 tahun 1994 udah disebutkan, jumlah anggota LSF sedikitnya 45 orang. Artinya, mereka yang menyensor di LSF minimal 45 orang.
Minimnya jumlah orang di LSF inilah yang justru membuat banyak orang bertanya-tanya: mana mungkin 40-an orang mampu mensensor ratusan materi? Nah, gara-gara nggak masuk akal secara proporsional, maka lahir tendensi-tendensi soal “permainan” di LSF ini. Bahwa LSF bisa mengeluarkan STLS asal ada “uang pelicin”. Gokilnya lagi, ada tendensi yang sangat sarkas, yakni LSF udah menyediakan STLS kosong. Mereka tinggal isi STLS itu, misalnya nama judul program, tahun produksi, dan lain sebagainya. Biasanya STLS kosong ini buat program-program televisi yang kejar tayang.
Maksudnya?
Begini. Bagi Anda penggemar sinetron, pasti sering melihat sinetron-sinetron stripping. Sinetron yang tayang setiap hari non-stop. Sinetron-sinetron kayak gini produksinya juga kejar produksi. Pagi sampai sore syuting, malam hari kudu tayang. Nah, dengan waktu yang mepet, mana sempat sinetron kejar tayang ini bisa disensor? Kapan materi sempat direvisi kalo ada scene atau shot yang “berbahaya” dan kemudian dikirim ke LSF lagi buat mendapatkan STLS? Tentu secara logika nggak masuk akal sinetron kejar tayang kayak gitu lolos LSF, ya nggak? Makanya menurut Praktisi hukum Hartono SH, MH, 80% sinetron nggak lolos sensor atau nggak punya STLS. Kalo pun ada, ya STLS-nya diisi sendiri oleh Produser dari PH.
Film tanpa sensor, sama saja membiarkan kondisi sosial generasi mendatang semakin carut marut. Naudzubillah min dzaliq. Gw mah ogah! Gw sayang sama anak-anak gw. Kecuali negara dalam kondisi normal, tingkat intelektualitas masyarakat relatif tinggi, atau film cuma diputar di kalangan terbatas.
Ironis! Yap! Begitulah kondisi sensor di negara kita yang tercinta ini. So, jangan heran kalo mayoritas sinetron kita “hancur lebur” dari segi pendidikan moral atau etika. Anak SD udah berani pacaran, pegang-pegangan tangan, bahkan ciuman! Anak SMP udah berani melawan orangtua maupun guru. Orang kaya selalu digambarkan jahat, sementara orang miskin digambarkan selalu menang. Padahal itu stereotype! Ada pula menampilkan anak-anak kecil jahil yang justru dianggap sebagai “pahlawan”. Ini niatnya kayak film-film Home Alone. Masih banyak contoh sinetron lain yang gw anggap sebagai “sinetron caur”.
Memang sih, kisah di sinetron-sinetron itu ada yang berdasarkan realita. Artinya, ada fakta anak SD yang pacaran. Ada anak SMP yang melawan orangtua atau guru. Apapula mahasiwa yang melakukan free seks atau melakukan hubungan badan sebelum married. Tapi jumlahnya nggak banyak! Lagipula ngapain juga hal-hal kayak begitu selalu dimunculkan dalam kisah sinetron? Dieksploitir. Apakah konflik sebagai bumbu cerita cuma berdasarkan fakta-fakta negatif kayak begitu? I don’t think so! Gw pikir ini masalah kreativitas si Penulis Skenario aja.
Mau dahulu, mau sekarang, urusan sensor memang kompleks. Pada saat masih ada Departemen Penerangan (Deppen), ada Keputusan Menteri Penerangan (Kepmenpen) RI No.216/KEP/MENPEN/1994 mengenai Tata Kerja LSF dan Tata Laksana Penyensoran. Lalu ada pasal di Undang-Undang (UU) Penyiaran, yakni Pasal 34 ayat 3. Di Pasal ini menjelaskan, setiap mata acara film atau rekaman video cerita yang akan disiarkan, wajib terlebih dahulu memperoleh tanda lulus sensor dari LSF.
Dalam UU Penyiaran Bab IV mengenai Pelaksanaan Siaran pada Bagian Pertama mengenai Isi Siaran di Pasal 32 ayat (6), (7), (8), dan (9) bahkan secara jelas memperketat sensor. Ayat 6 menjelaskan soal materi siaran yang akan disiarkan hendaknya mengandung unsur yang bersifat membangun moral dan watak bangsa, persatuan, dan kesatuan, pemberdayaan nilai-nilai luhur budaya bangsa, disiplin, serta cinta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lalu ayat 7 menyebutkan soal isi siaran yang mengandung unsur kekerasan dan sadisme, pornografi, takhayul, perjudian, pola hidup permisif, konsumtif, hedonistis, dan feodalistis DILARANG. Selanjutnya ayat (8): Isi siaran yang bertentangan dengan Pancasila, seperti halnya yang bertolak dari paham Komunisme, Marxisme, Leninisme, dilarang. Ayat (9): Isi siaran dilarang memuat hal-hal yang bersifat menghasut, mempertentangkan, dan/atau bertentangan dengan ajaran agama atau merendahkan martabat manusia dan budaya bangsa atau memuat hal-ha yang patut dapat diduga mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.
Seperti juga terkandung dalam Pasal 32 UU Penyiaran, LSF juga wajib memeriksa materi-materi program yang meliputi tema, jalan cerita, adegan-adegan, dan dialog yang terjalin dalam program. Secara umum, bila suatu program mengandung muatan politis atau unsur SARA (Suka, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang dapat menyulut kerusuhan masyarakat, kekerasan, dan pornografi, maka materi program tersebut bakal ditolak atau nggak lolos sensor. Hal ini berlaku bagi semua jenis tayangan program non-komersial maupun komersial. Bahkan film-film yang di-dubbing pun nggak luput dari penyensoran. Keren nggak tuh?
Setiap stasiun televisi memang nggak bisa sembarangan menyerahkan materi program ke LSF. Ada prosedur yang udah ditetapkan pemerintah melalui Deppen. Program yang akan ditayangkan, dibedakan dalam dua jenis, yakni program impor (canned program) dan program lokal. Untuk jenis program impor, stasiun televisi perlu mengajukan permohonan izin yang biasa dikenal dengan Surat Permohonan Pemasukan Rekaman (SPPR). Sedangkan untuk jenis program local dibutuhkan permohonan izin untuk penyensorannya, yakni Surat Izin Permohonan Penyensoran (SIPP).
Saat itu, sekitar tahun 90-an, biaya permohonan izin sekitar delapan ribu rupiah per episode. Bila sinetron tersebut berjumlah 13 episode, maka stasiun televisi mengeluarkan biaya seratus empatpuluh ribu rupiah. Sebelumnya biaya untuk mendapatkan SIPP sebesar empat ribu rupiah.
Setelah mendapatkan SPPR atau SIPP, materi program tersebut baru dibawa ke LSF yang berupa pita VHS. Di sini pihak stasiun televisi membayar beberapa biaya, yakni biaya penyensoran senilai tiga ratus rupiah per menit, biaya laminating Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) kalo program tersebut lolos sensor, dan telop yang per lembar sepuluh ribu rupiah.
Sayang seribu kali sayang, biaya-biaya tadi cuma di atas kertas. Sebab, biaya tersebut belum termasuk biaya-biaya nggak terduga. Konon, biaya-biaya nggak terduga ini pun masih terjadi, meski Orde Baru (Orba) udah mampus dan Deppen udah dibubarkan pada saat Presiden-nya Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Inilah yang membuat Sutradara yang gw sebutkan di atas tadi mempertanyaan soal eksistensi LSF yang udah nggak relefan lagi.
“Mending film yang ditayangkan cukup menggunakan sistem klasifikasi (masudnya ada tanda parental guide-nya),” kata Sutradara itu lagi.
Buat gw, negara kita belum bisa menerapkan parental guide only. Artinya, film atau program televisi tanpa melalui LSF, tapi cuma klasifikasi seperti PG-13, R, NC-17 (di Amrik) atau MA dan XR (di Australia). Bukan melecehkan masyarakat kita sendiri, lho. Bahwa intelektualitas warga Indonesia meningkat, memang betul. Bahwa warga negara yang tergolong well educated udah semakin banyak. Tapi please wake up! Warga yang berhadapan dengan culture shock atau gagap budaya lebih banyak lagi.
Masyarakat yang semula menjalani ritual agama dengan taat di sebuah kampung kecil, tiba-tiba berhadapan dengan sinetron-sinetron yang mengumbar budaya free seks. Semua itu dilihat secara gratis dari sekotak televisi dan setiap hari pula. Ada pula keluarga yang sangat menjunjung tinggi sopan santun, tiba-tiba mendapati anak-anak mereka yang berpakaian seksi (mengenakan hotpants, sexy dress, atau tank top). Padahal mereka ini tinggal di sebuah kampung yang masih ada sawah, dimana orangtua mereka masih banyak yang menggunakan kebaya plus kain yang menutup rapat tubuh.
Melihat kondisi kayak gitu, apakah masih relevan keinginan Sutradara kita tadi buat membubarkan LSF?
Demi moral dan attitude masa depan anak-anak, terutama anak-anak kami, gw lebih setuju dengan Dosen gw: Pak Hartono SH, MH. Bahwa negara kita masih belum normal atau abnormal. Selama negara Indonesia belum menjalankan aturan secara benar, maka meniadakan LSF adalah tindakan bodoh. Intinya, ada LSF aja moralitas bangsa ini udah “hancur lebur”, apalagi nggak ada sensor. Apakah cuma dengan parental guide, penonton kita bisa terseleksi? Apakah yakin film yang harusnya ditonton oleh orang dewasa nggak bakal ditonton anak-anak? Memang yakin 100% parental guide bisa memininalisir cerita-cerita yang mengajarkan soal free sex atau kekerasan? I don’t think so!
Selama pembajakan masih merejalela, perfilman yang nggak lewat lembaga sensor, sama aja bohong. Anak-anak bisa dengan mudah mendapatkan DVD bajakan. Wong sekarang ini aja kita mudah mendapatkan DVD porno dimana-mana. Pengrebekan-pengrebekan yang dilakukan oleh Aparat cuma basa-basi dan nggak konsisten. Musim-musiman aja. Ini gw perhatikan di kota atau pusat perbelanjaan yang menjual DVD-DVD bajakan. Para Penjual DVD bajakan udah tahu kalo akan ada pengrebekan. Begitu info tersebar, pagi-pagi toko DVD bajakan tutup. Eh, esok harinya buka lagi. Dasar!
Sejatinya lembaga semacam LSF tetap dibutuhkan. Namun yang kudu dilakukan sesungguhnya adalah pengawasan. Pengawasan terhadap apa? Ya, terhadap LSF. Jangan sampai LSF ditendensikan cuma sebagai lembaga yang bisa kongkalikong dengan Produser. Kalo memang sebuah film atau program televisi akan mengganggu stabilitas sosial, misalnya mengajarkan free sex, kekerasan, atau kesadisan, ditolak mentah-mentah aja. Nggak perlu direvisi, tapi komit buat ditolak. Kalo diprotes oleh si Sutradara-nya, ya kita persilahkan Sutradaranya itu memutarkan filmnya di negara lain atau buat kalangan terbatas.
Soal 80% sinetron kejar tayang nggak punya STLS, seharusnya ditindak tegas. Kalo komit dengan UU no 8 tahun 1992, di Pasal 40 huruf c menyebutkan: barangsiapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukan dan/ atau menayangkan film yang tidak disensor dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Sedangkan Pasal 41 huruf b menyebutkan: barangsiapa mengedarkan, mengekspor, mempertunjukan atau menayangkan reklame film yang tidak disensor diancam pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Tuh, bayangkan! Kalo tendensi soal kongkalikong antara LSF dan Produser film atau televisi nggak terjadi, barangkali LSF tetap akan kaya. Hitung aja jumlah sinetron kejar tayang dan dikali denda yang kudu dilakukan pihak production house, ya nggak? Tapi sayang, UU cuma simbol. Karena UU bisa dikalahkan oleh UUD. Apa lagi kalo bukan Ujung-Ujungnya Duit! What a pitty!
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
No comments:
Post a Comment