Soal jin buang anak ternyata bukan cuma di Jakarta. Di Bandung Utara, ada sebuah lokasi yang juga sempat mendapat julukan itu. Soalnya, di tahun 80-an tempat yang berada di perbukitan Dago ini ogah dijadikan pemukiman oleh warga Bandung sendiri. Namun gara-gara warga pendatang, terutama orang-orang Jakarta, tempat jin buang anak ini “disulap” menjadi salah satu lokasi eksotik dan muahal.
Lokasi itu bernama Rancakendal. Menurut Ibu Sutantra, salah seorang warga yang sudah tinggal di Rancakendal tahun 80-an, lokasi ini awal-awalnya memang nggak menarik. Bukan menjadi pemukiman elit dan tempat nongkrong paling asyik seperti sekarang ini. Padahal view-nya keren abis! Maklum, lokasinya paling tinggi dibanding dengan wilayah Bandung lain. Kalo Bandung Selatan cuma kurang lebih 675 dpl (di atas permukaan laut), Bandung Utara kurang lebih 1050 dpl. Ini artinya, Bandung Utara lebih dingin.
Ini jalan raya Kupa, Dago yang masih di wilayah Rancakendal. Dahulu tempat jin buang anak, eh sekarang jadi lokasi eksotik yang banyak ditempati Pendatang.
“Tahun 80-an mah masih sepi,” jelas Ibu Sutantra. “Dulu mana mau taksi masuk ke wilayah ini. Sudah jauh dari kota Bandung, gelap, sepi pula.”
Belum ada literatur yang membahas soal sejarah wilayah Rancakendal, Dago ini. Namun menurut Ibu Sutantra lagi, perkembangan wilayah ini nggak bisa lepas dari pembangunan kompleks dosen Universitas Padjajaran (Unpad) di kelurahan Cigadung di tahun 70-an. Di tahun itu, konon banyak Dosen yang ogah tinggal di komplek itu. Maklum, jauh banget dari lokasi kampus Unpad sendiri yang berada di Dipatiukur. Sudah jauh, untuk menuju ke kompleks dosen, kudu melewati pepohonan yang ada di kiri-kanan yang masih rimbun. Kebayang dong kayak menembus hutan nan gelap. Apa kata dunia ketika seorang Dosen baru pulang dari kampus Unpad sore menjelang malam dan kudu melewati rimbunan pohon-pohon yang menyeramkan itu?
Lambat laun sejumlah warga pendatang tinggal di Cigadung. Satu demi satu warga membuka lahan. Nggak heran kalo kemudian pohon-pohon yang menyeramkan itu dibabat dan dijadikan tempat tinggal. Perkembangan ini juga terjadi di kompleks dosen Unpad. Dari kompleks dosen jilid pertama, di tahun 80-an kemudian dibuka kompleks Unpad jilid kedua.
Untuk mencapai kompleks dosen Unpad sebenarnya relatif mudah. Begitu keluar dari tol Pastuer, kita tinggal lurus menuju ke arah Ir. Juanda. Sebaiknya Anda lewat fly over Pasupati supaya nggak terkena traffic light. Kalo Anda nggak mau lewat fly over juga nggak apa-apa sih! Nggak ada yang melarang. Nah, begitu papan petunjuk ada tulisan Ir. H. Juanda, Anda turun dan belok kiri menuju ke arah ke jalan Tubagus Ismail. Jalan Tubagus Ismail ini cukup panjang. Ada tanjakan, ada jalanan yang menurun, melewati RS Khusus Ginjal Ny. RA Habibie. Tapi be carefull, jangan terlewat jalan ke Cigadung Raya. Ancer-ancer masuk ke Cigadung adalah Warung Ampera yang ada di kanan jalan. Nah, persis di depan Warung Ampera itulah jalan Cigadung Raya Barat. Kalo sudah menemukan jalan Cigadung Raya Barat, Anda sudah dekat dengan kompleks dosen Unpad. Tinggal cari plang bertuliskan kompleks Dosen Unpad dan cari nama jalan yang Anda tuju deh.
Ada nama jalan Ekologi, Sosiologi, Anatomi, sampai jalan Konstitusi. Nama-nama jalan di kompleks Dosen Unpad memang mengacu pada nama mata kuliah. Itu kalo Anda mau ke kompleks Unpad I. Kalo mau menuju ke kompleks Unpad II, Anda bisa dari arah Dago, bisa pula masuk dari kompleks Unpad I. Caranya? Keluar kompleks Unpad I dan cari jalan Cigadung Raya lagi. Ada papan petunjuk yang agak nyempil sebagai petunjuk perumahan dosen Unpad II.
Sekarang ini, Anda pasti akan takjud melihat kompleks Unpad. Kenapa? Rumah-rumahnya bagus-bagus, bo! Mirip kayak rumah-rumah di kompleks tempat saya tinggal di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Dimana konsep mayoritas rumah di kompleks Dosen Unpad itu bergaya Mediteranian atau modern minmalis. Awalnya saya curiga, sejak kapan Dosen bisa punya rumah yang rata-rata seharga Rp 1 miliar ini? Jangan-jangan mereka banyak yang terlibat korupsi?
Beruntunglah sikap tendensius saya berakhir. Saya jadi nggak terus-terusan berdosa gara-gara menuduh yang bukan-bukan. Kami beruntung sempat tinggal di kompleks dosen Unpad ini ketika liburan ke Bandung lalu. Menurut Ibu Malayati Hasan, rata-rata pemilik rumah di kompleks ini bukan Dosen. Artinya, udah pindah tangan ke orang yang bukan dosen.
“Rumah kami ini aja dari tangan kedua,” kata Ibu Mala yang punya rumah di ujung jalan Alfa, kompleks dosen Unpad II. Maksudnya Ibu Mala “tangan kedua”, ya sebelum rumah yang ditempatinya sekarang ini, ada orang lain yang punya rumah ini dan orang itu bukan pula dosen Unpad.
Ini rumah tempat kami menginap di Bandung, yang lokasinya berada di kompleks Dosen Unpad. Sekarang ini mayoritas Penghuni kompleks Dosen adalah Pendatang. Gw yakin nggak mungkin Dosen punya rumah sebagus ini, kecuali....Yang jadi pertanyaan gw, kenapa ya rumah-rumah untuk dosen bisa dijual? Ini termasuk penjualan aset negara nggak sih?
Warung Lela (selanjutnya saya singkat dengan nama Wale) termasuk “membantu” menumbuhkan wilayah Rancakendal. Ngomong-ngomong Anda sudah kenal dengan Wale ini? Sudah pernah mencoba mie ayam yamin yang nikmat itu? Kalo belum, sebaiknya Anda ke Bandung sekarang juga dan langsung mencoba mie ayam Wale sambil menikmati bukit Dago dari sebuah kursi kayu yang ada di Wale.
Tapi baiklah, saya akan cerita singkat soal Wale ini. Menurut Ibu Sutantra, Wale termasuk pioner perkembangan pemukiman Rancakendal, termasuk pertumbuhan tempat makan di sekitar situ. Sebelum ngetop seperti sekarang ini, Wale cuma sebuah warung kecil, lebih tepatnya kayak kantin rumahan.
Ibu Lela adalah pendatang di wilayah Rancakendal, tepatnya di jalan Kupa, Dago. Memang sih dia asli Bandung. Nah, bersama sang suami yang berdarah Jawa, Ibu Lela membuka warung dengan nama dirinya: Warung Lela, yang menjual mie ayam dan jeruk peras. Oleh karena daerah tersebut belum banyak penghuninya, belum banyak orang yang berkunjung ke Wale. Boro-boro berkunjung, kenal Wale aja belum banyak kok. Nggak heran kalo di awal-awal memasarkan kehebatan mie ayam yaminnya, Ibu Lela ngider dari rumah ke rumah. Dia bersedia mengantarkan mie ayamnya, meski yang mengorder rumahnya jauh.
Ini view dari Warung Lela. Sambil menyantap mie, melihat panorama bukit Dago yang udah mulai gundul.
Lambat laun, kelezatan Wale dikenal luas. Nggak cuma di sekitar Rancakendal, tapi sampai ke Bandung kota. Kini Wale sudah dikenal oleh mereka yang seringkali wisata ke Bandung. Dari warung yang di cuma berada di dalam sebuah rumah BTN, Ibu Lela kemudian membeli tanah buat memperluas warungnya. Jadi kalo nggak kebagian tempat makan yang bisa menghadap view perbukitan, Anda bisa makan di seberang Wale original yang ada di samping masjid itu.
“Kalo sekarang mah udah nggak mau mengantar mie ayam ke rumah-rumah,” kata Ibu Sutantra. “Alasannya banyak tamu.”
Ini mie ayam yamin Wale yang dahsyat banget. Dahulu Ibu Lela masih mau anter mie ini dari rumah ke rumah. Warungnya pun masih tipe BTN. Sekarang mah udah sombong. Maklumlah sibuk melayani Costumer yang membludag saban hari.
Memang sih, Pengunjung Wale tiap hari membludag. Jangankan di weekend, pas weekdays pun Wale selalu kebanjiran Costumer. Mobil-mobil berderat sepanjang jalan Rancakendal dan seringkali memacetkan. Kalo sudah weekend, mobil-mobil berplat nomor B berderat di samping masjid. Mereka ingin merasakan kenikmatan mie ayam yamin yang nikmat itu. Terus terang, sekali merasakan timbul kangen dan ingin merasakan lagi. Jadi kalo tiap ke Bandung belum menikmati mie yamin Wale seharga 8 ribu perak, ada sesuatu yang hilang.
Keberhasilan Wale inilah yang kemudian menginspirasi para Pendatang lain yang mencoba mengadu nasib dengan membuka usaha di wilayah Rancakendal ini. Kalo saya hitung, ada kira-kira sepuluh restoran atau tempat nongkrong di situ. Antara lain Roemah Payung, Roemah Kopi, Damar Cafe, Boemi Joglo, dan yang sekarang menjadi sasaran tempat makan dan lagi happening adalah Congo.
Kalo Wale cocok buat breakfast dan lunch, Congo cocok buat dinner. Sebenarnya Congo juga buka sih siang hari. Tapi kebetulan saya dan keluarga datang ke situ malam hari dan suasananya kayak-kayaknya lebih matap. Ini terbukti dengan Costumer yang hadir di situ cukup penuh. Mungkin karena weekend kali ya? Saya perhatikan nggak ada meja kosong. Setiap meja ada Costumernya. Begitu kami meninggalkan meja pun, sudah ada Costumer baru. Padahal saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 21:15 wib.
Congo sebenarnya nggak cuma restoran. Konsep tempat ini adalah serba kayu. Baik meja dan kursi, semua terbuat dari kayu. Pemilik Congo ini memang seorang Pengusaha mebuel yang terbuat dari kayu. Nggak heran kalo di restoran itu ada sebuah alat pengergajian kayu yang cukup besar. Alat ini diletakkan di depan ruang pamer mubuel yang menghadap ke perbukitan itu.
Terus terang saya nggak menemukan makanan khas Congo. Makanan yang ada di situ masuk kategori di bawah sedikit makanan berkategori enak. Kalo dikatakan rasanya standard, kayaknya nggak juga. Kalo dibilang enak, nanti Pemilik Congo jadi kege’eran. Jadi lebih baik lumayan menuju enak deh. Beda kayak Wale yang ada spesialisasi makanan, yakni mie ayam yamin. Nah, kayak-kayaknya di Congo ini yang diandalkan paling utama, ya suasana yang relatif enak. Dengan hawa dingin pengunungan di Rancakendal, Anda bakal menikmati kesegaran sop buntut plus minuman bandrek yang menghangatkan perut.
Kini wilayah Rancakendal bukan lagi tempat jin buang anak. Perkembangan wilayah ini begitu pesat. Rumah-rumah baru bertumbuhan di sepanjang jalan yang berbukit-bukit itu. Saking bertumbuh, blue print analisa dampak lingkungan (Amdal) sudah nggak dipedulikan lagi. Percaya nggak percaya, nggak lebih dari lima tahun ke depan, penduduk asli menjadi warga minoritas di situ. Mayoritas warga adalah pendatang.
“Makanya tanah di sini sudah mahal,” ujar Ibu Sutantra. Ketika tinggal di Rancakendal tahun 80-an, tanah masih sekitar Rp 100 ribu sampai 300 ribuan. Kini nilai jual objek pajak (NJOP) sudah mencapai Rp 1-1,5 juta per meter persegi. Mahal? Tergantung! Kalo Anda sudah pernah melihat potensi perkembangan di wilayah Rancakendal ini, harga tanah segitu kayak-kayaknya relatif murah. Anda bukan membeli tanah, tapi membeli suasana. Ya, hitung-hitung investasi.
Gara-gara kolusi, banyak pendirian bangunan di wilayah Rancakendal nggak mengikuti Amdal. Nggak heran kalo persawahan udah terdesak eksistensinya. Pohon-pohon yang ada di bukit pun banyak yang digunduli. Lihat saja lima tahun dari sekarang, wilayah ini udah semakin padat dan nggak asri lagi.
Namun saran saya, kalo Anda berniat membeli tanah dan mendirikan rumah, please jangan pernah “melecehkan” Amdal di sekitar situ. Soalnya, ada sebuah hotel yang berdiri di perbukitan Rancakendal yang melanggar Amdal. Kata Ibu Sutantra, sebelum hotel itu berdiri, Pakar lingkungan asal Bandung, (alm.) Prof. Dr. Ir. Otto Soemarwoto sempat menolak. Namun sang Gubernur justru marah besar dangan analisa Otto. Beliau sempat gebrak meja rapat segala gara-gara “ulah” Prof. Otto. Akhirnya, hotel itu pun diizinkan berdiri. Tentu Anda nggak ingin menjadi musuh lingkungan bukan? Kalo bukan Anda, siapa lagi manusia yang mau menyelamatkan bumi ini?
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
"....Yang jadi pertanyaan gw, kenapa ya rumah-rumah untuk dosen bisa dijual? Ini termasuk penjualan aset negara nggak sih?"
ReplyDeleteKomentar : Ya tidak lah, karena semua rumah di Cigadung dan Rancakendal sudah menjadi milik Probadi. Karena dulu Unpad dan BTN yang memfasilitasi. Jadi sertifikat HAK MILIK . Begitu ceritanya, jadi mau diapain kek mau dijual kek sudah bukan urusan Unpad. salam....Oki
Thx atas infonya Oki. Kalo begitu, ini mirip dengan kompleks dosen UI yang ada di jalan Daksinapati, Rawamangung, dimana hampir semua rumah yang "katanya" buat dosen-dosen itu udah jadi rumah pribadi. Bahkan ada beberapa rumah yang sudah ganti kepemilikan dari rumah dosen, jadi rumah konglomerat. Maklum, rumah dosennya halamannya luang banget, bo! Wah, coba gue jadi dosen ya....hmmm.. dulu kenapa ditawarin nggak mau ya? Bego juga gue!
ReplyDelete