Saturday, September 19, 2009

FANATISME KEBABLASAN

Itulah kenapa gw nggak pernah mengidolakan sesuatu atau seseorang. Soalnya buat gw, ngabis-ngabisan waktu aja. Mending bisa membuat kita kaya raya. Mending menambah pahala. Menambah teman? Ah, enggak juga. Apalagi menambah wajah kita semakin ganteng dan kinclong, wah nggak mungkinlah.

Gw herman, eh heran, ada orang yang fanatik banget sama klab sepakbola. Bela-belain nggak makan, nggak tidur, cuma buat nonton kesebelasan favoritnya itu. Nggak peduli putus sama pacar, kolor udah side A side B, mulut udah jigongan gara-gara nggak gosok gigi 10 hari, sing penting hadir di lapangan buat melihat langsung Pemain A, B, C, D, dan seterusnya, menggocek bola. Syukur-syukur bisa menang.

“Kalo menang bikin pesta tujuh hari tujuh malam. Sementara kalo kalah, ngajak tawuran dan bikin keributan.”

“Yang terakhir ada kasus sebuah film nggak berani diputar di kota B gara-gara dianggap menghina sebuah budaya dan klab sepakbola. Aneh!”

Gw bingung, orang yang fanatik ini juga rela mempertaruhkan nyawanya demi klab sepakbola itu. Naik ke atas kereta api, dimana naiknya di atap kereta, yang mengantarkan mereka dari kota S ke kota J. Boleh jadi karena mereka nggak punya duit buat bayar kereta api. Aneh kan? Mau jadi fans fanatik tapi kere. Tapi ya begitulah kalo udah fanatik, rela melakukan apa saja demi sang Pujaan hati.


Kalo cinta mati main sepeda bukan berarti fanatisme berlebihan dan dianggap orang tolol dong? Justru malah orang-orang penggemar sepeda membantu mengurasi polisi, eh polusi udara yang kian hati kian menyayat hati, ya nggak?

Soal kerelaan, ada juga yang rela menjual nyawanya ketika terjadi perkelahian di dalam stadion. Mereka yang sok Pahlawan ini pasang badan. Timpuk-timpukan. Hasilnya? Kepala bocor dan mengeluarkan darah. Kaki patah. Di luar negeri ada yang sampai bunuh diri segala. Yang paling ringan, paling cuma badan pegel-pegel. Semua dilakukan gara-gara fanatisme yang kebablasan. Kok kayak gitu mau jadi orang kaya? Kok kayak gitu mau jadi Pemimpin? Ngomong-ngomong Pemimpin, jangan-jangan mereka yang sering berkelahi di dalam gedung DPR termasuk fans fanatik klab sepakbola kali ya?

“Apa untungnya sih memuja-muja Manusia?”

“Namanya juga Manusia, cong!”

"Apa untungnya mengidolakan Ariel? Memangnya kalo Ariel jadi idola kita bisa punya mobil Hammer gitu?"

"Ya enggak lah!"

"Apa bedanya Ariel sama gw sih?"

"Ya jelas bedalah! Ariel ganteng, nah elo jelek. Ariel punya Luna Maya, nah elo Bencong aja nggak ada yang suka..."

"Tapi ada Homo yang suka sama gw, cong!"

"Ah, masa sih? Kenalin dong?"

"Najis!"

Fanatisme kebablasan bukan cuma terjadi di lapangan olahraga. Dalam agama juga begitu. Gw berani taruhan, sikap manusia yang sok beragama sebenarnya nggak lebih kayak para Penggemar klab sepakbola.

Ketika ada kafe yang dianggap menjual minuman keras, sekelompok yang mengatasnamakan agama langsung mengacak-acak, bahkan sampai membakar. Padahal perkara jual-menjual minuman keras nggak cuma di kafe, di hotel bukannya banyak? Kenapa nggak diacak-acak hotelnya? Lagipula, kenapa kemarin mengacak-acak kafe, sekarang-sekarang ini kok nggak diacak-acak lagi? Aneh!
Konteks aktivitas anggota organisasi agama dengan fans fanatik klab sepakbola memang beda. Yang satu soal duit, maksudnya kalo setorannya nggak ada atau jatah remannya kurang, organisasi ini siap melakukan aktivitas penggrebekan. Yaiyalah! Kalo bukan masalah duit apa lagi coba? Nggak konsisten soalnya. Nah, yang satu lagi, memang murni fans fanatik. Nggak selalu dibayar jadi fans karena duit. Ada dan nggak ada duit, tetap fanatik.

Namun sekali lagi, kedua Manusia itu – manusia sok suci dan manusia fanatik klab bola – masuk dalam kategori golongan fanatisme yang kebablasan. Sebab, seumur-umur gw belum pernah diajarkan oleh Kiai atau Ustadz soal menjalankan perintah Tuhan dengan menggunakan kekerasan, kebrutalan, atau menjadi vandalis sejati. Yang gw tahu, kalo kita diserang, baru balik menyerang. Yang gw tahu juga, kalo lawan udah menyerah, kita nggak boleh menyerang.

“Terminologi serang menyerang ini akan beda kalo diterapkan oleh manusia yang lagi penuh nafsu birahi....”

“Lho kok begitu?”

“Tanpa diserang, kita boleh menyerang si lawan jenis kalo emang udah nafsu. Pasti lawan itu akan nafsu juga....”

“Oh begitu ya?”

“Begitu juga kalo lawan udah lelah karena diserang terus, itu bukan jaminan si lawan jenis akan mengakhiri pertarungan di atas ranjang dong? Kalo masih nafsu gimana?”

“Oh iya-ya. Lawan yang udah kelelahan itu harus diberikan A-Cong tuh!”

“Apaan tuh A-Cong?”

“Obat kuat!”

Tentu orang-orang yang mengaku punya agama lebih beradab daripada fans fanatik sepakbola. Lebih intelek gitu, cong! Soalnya pasti udah diajarkan mana yang baik dan mana yang nggak baik. Udah diajarkan mana yang dosa dan mana yang bakal mendapatkan pahala kalo kita melakukan sesuatu.

Kalo orang-orang beragama ini ngerti soal agama, gw yakin seyakin-yakinnya, nggak akan ada lagi kekerasan dalam menuntaskan kebiadaban atau kemaksiatan. Ada cara-cara elegan yang lebih terhormat. Nggak akan ada lagi pengkultusan individu seorang Kiai atau Ustadz. Dimana sang murid kudu mencium tangan, cipika-cipiki, gokilnya sampai meminum air bekas cuci kaki si Guru. Kiai dan Ustadz itu Manusia, bo! Nggak ada aturan yang mengajarkan menghormati guru kudu mengkultuskan individu tersebut. Kecuali agama yang kita anut cuma simbol status, sementara dalam diri kita sebenarnya adalah seorang atheis.

No comments:

Post a Comment