Belum lama ini saya ditawari minum Jack Daniels. Entah apa yang membuat seorang teman mengajak saya menemani minum alkohol yang berkadar 50% sehabis shooting malam itu. Padahal dia tahu kalo saya nggak pernah mengajak atau memperlihatkan diri minum alkohol di depannya, even merokok. Jangan-jangan dia tahu masa lalu saya.
Ketika zaman kegelapan, Jack Daniels ibarat dewa. Ketika melihat botol berstiker hitam dengan tulisan warna putih berukuran 50 ml itu, apalagi botolnya berembun karena dingin, nafsu birahi saya langsung memuncak. Saya tak kuasa untuk mengucurkan tetesan alkoholnya ke sebuah gelas kaca kecil yang sudah diisi batu-batu es. Kalo saya boleh analogikan, ketika alkohol itu masuk ke kerongkongan saya, perjalanan sepanjang 80 km menyusuri Padang Pasir sekejap sirna. Nikmat sekali!
Namun masa-masa jahiliyah sudah nggak ada dalam kamus hidup saya. Biar Jack Daniels masih hidup dari 1875 sampai 2009 ini, saya nggak akan birahi lagi melihatnya. Nggak heran kalo tawaran itu saya langsung tolak. Cara menolaknya tentu nggak sekasar kita menolak Peminta sumbangan yang tiba-tiba muncul di pagar depan rumah kita. Saya perlahan-lahan mundur, meninggalkan teman saya yang niat banget memesan Jack Daniels sebanyak dua botol malam itu.
Saya adalah saya. Saya dan Anda pasti punya integritas yang kuat. Maksudnya, ada komitmen-komitmen yang kita pegang teguh yang kudu kita pertahankan sekuat tenaga, kalo perlu sampai titik darah penghabisan. Integritas dan komitmen itu merupakan bagian dari apa yang disebut oleh David McNally dan Karl D. Speak sebagai personal brand atau ‘merek diri’.
Zaman edan dahulu kala, saya begitu birahi memandangi botol ini dan dengan bangga bisa minum sampai muntah. Namun sekarang, boro-boro niat minum, melihat saja udah pengen muntah.
Dalam buku Be Your Own Brand (Gramedia Pustaka Utama, 2004) karya Nally dan Speak itu, kita semua adalah merek. Kita masing-masing memiliki merek yang ditunjukan dengan integritas kita. Mereka mencontohkan soal integritas ini lewat film adaptasi novel John Grisham berjudul The Firm. Di film itu Tom Cruise yang berperan sebagai Pengacara muda terjerumus ke dalam hal yang sebenarnya tidak diinginkan, karena mitra-mitranya yang tidak jujur dan gaya hidup mewah (lihat buku Be Your Own Brand, hal 147). Gara-gara sikap hidupnya, sang istri meninggalkannya. Namun di ending film itu, sang istri kembali kepadanya, karena di tengah semua kericuhan yang direncanakan oleh para mitranya yang tidak jujur tersebut, Cruise telah kembali pada kehidupan sesuai janji mereknya, yakni integritas dan menghormati hukum.
Apakah Anda punya integritas? Punya komitmen pada ‘merek diri’ Anda? Ketika banyak mobil berseliweran di bahu jalan di jalan tol, Anda menetapkan diri untuk tetap berada pada jalur yang benar bersama mobil-mobil yang lain. Anda nggak ikut serta menghancurkan integritas Anda sebagai orang yang ingin disiplin dalam berlalu lintas. Apakah Anda akan dikatakan tolol oleh mereka yang melajukan kendaraan di bahu jalan? No way! Tenang aja, mereka yang tolol, kok! Mereka yang nggak displin. Memang yang mau ke kerja mereka yang nggak disiplin itu aja? Memangnya yang mau cepat sampai ke kantor orang-orang tolol itu?
Ketika teman Anda punya gadget baru, integritas Anda mulai tergoda untuk ‘berselingkuh’. Anda yang sebelumnya hidup sederhana, bisa menabung uang buat sekolah anak-anak atau buat married, eh jadi ngiler melihat teman-teman Anda nampak keren menggunakan sebuah gadget canggih yang sebentulnya nggak penting-penting amat Anda miliki. Kita nggak sadar, antara perlu dan nafsu.
“Rasanya kalo udah punya gadget canggih ‘dunia seperti ada dalam satu genggaman’ gitu, bo!”
“So what kalo ‘dunia ada di dalam satu genggaman’? Memangnya bisa jadi orang kaya gitu? Bisa membuat perubahan bagi banyak manusia di dunia ini, ya at least orang-orang di sekitar kita? Come on baby!”
Anda punya hak buat melakukan ini-itu. Tapi Anda juga punya hak buat memiliki integritas. Komitmen untuk menjadi diri Anda sendiri, tanpa melihat ‘rumput tetangga’. Ingat: the grass is always greener on the other side of fance. Merek Anda bukanlah merek orang lain. Kita adalah merek diri kita sendiri. Kalo nggak mampu membeli gadget mahal, sebaiknya Anda nggak memaksa diri, karena sungguh sangat berbahaya kalo ‘besar pasak daripada tiang’ atau gaji Anda sebenarnya belum mampu buat membeli (atau mencicil) apa yang Anda inginkan.
Ketika seorang suami sadar telah berselingkuh, ia sungguh menyesal. Integritasnya hancur. Komitmen cinta pada pasangannya rusak berkeping-keping. Padahal ketika married dahulu, mereka sang suami pernah berjanji for better and worst till dead do us part. Nyatanya, hanya karena godaan janda beranak satu, sang suami tega mengkhianati janji suci di kala married itu.
Dalam perkawinan ‘merek diri’ akan menjadi contoh bagi anak-anak kita. Ketika kita nggak punya integritas, dalam konteks nggak disiplin, maka anak kita pasti akan ikut-ikutan nggak disiplin. Kalo dalam contoh di atas soal melajukan mobil kita di bahu jalan. Ketika kita berkomitmen dengan ajaran agama, dimana terdapat perintah-perintah maupun larangan-larangan-Nya tapi Anda nggak melakukan semua itu, otomatis anak Anda akan mencontoh ‘merek diri’ Anda itu. Ketika teman mengajak ikutan pijat plus-plus, iman Anda jangan goyah. Ketika seluruh teman Anda menggunakan Blackbarry, Anda nggak tahan ingin membeli gadget lain dan Anda pun membeli iPhone. Ketika seorang janda seksi menggoda Anda dalam sebuah shooting sinetron, sebagai Sutradara Anda terpikat untuk menselingkuhi dirinya, padahal anak-anak Anda menanti di rumah bersama istri Anda.
‘Merek diri’ bisa dibentuk. Segala godaan yang membuat integritas Anda hancur, bisa dibendung asal kita punya komitmen buat bekerjasama dengan hati dan pikiran kita, begitu yang dikatakan Nally dan Speak. So, ingin seperti apa Anda membangun ‘merek diri’ Anda? It’s all up to you honey!
No comments:
Post a Comment