Tak ada gading ya tak retak. Pepatah tersebut barangkali cocok buat Undang-Undang (UU) Perfilman 2009 yang baru saja disahkan pada Selasa, 8 September 2009 lalu. Ketika pemerintah dan DPR merasa ingin ‘menghapus’ monopoli perbioskopkan nasional yang selama ini dijalankan oleh Subentra Group 21, beberapa insan perfilman justru menganggap inisiatif itu justru malah membelenggu mereka. Ini terlihat dari Pasal-Pasal yang ada di UU ini.
Nah, berikut ini, saya menampilkan cuplikan dari beberapa Pasal yang dianggap ‘kontroversial’ oleh sejumlah insan perfilman. Silahkan Anda menafsirkan sendiri, sehingga setelah membaca Anda bisa tahu pro atau kontra. Sengaja saya tidak menampilkan UU komplet. Sebab, kalo komplet dari Bab I yang berisi Ketentuan Umum, bisa-bisa tulisan soal Pasal-Pasal ‘kontroversi’ di blog ini jadi terlalu panjang.
Yuk, kita tafsir sama-sama!
Pasal 5
Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.
Pasal 6
Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang:
a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
b. menonjolkan pornografi;
c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan;
d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama;
e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan/atau
f. merendahkan harkat dan martabat manusia.
Pasal 5 dan Pasal 6 ini dianggap oleh Riri Riza dan rekan-rekannya sebagai bentuk pengekangan. Kalimat ‘kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi’ di Pasal 5, menurut mereka tidak serta merta membebaskan insan perfilman memproduksi sebuah film.
Tambah mereka, ketidakbebasan berkreasi jelas-jelas tercantum dalam Pasal 6, dimana insan perfilman tidak dengan mudah memproduksi film sembarangan. Lihatlah item-item di Pasal 6. Menurut Riri, dia nggak akan pernah bisa membuat film tentang konflik Poso atau Irian Jaya. Kenapa? Sebab bisa memprovokasi terjadinya pertentangan antarsuka sebagaimana yang tercantum di Pasal 6 huruf “c”.
Aneh ya? Di satu sisi kita dibebaskan melakukan kreasi, inovasi, dan karya (Pasal 5), eh di Pasal 6 justru dibatasi. Dua Pasal ini dianggap ‘kontroversi’, karena saling bertentangan.
Oleh Enison Sinaro seperti yang penulis kutip dari milis Alumni FFTV IKJ, Pasal 6 ini ditafsirkan berbeda (baca: diplesetkan):
a. Film boleh mengandung kekerasan, perjudian , penyalah gunaan psikotropika ... dst .... asal tidak mendorong khalayak umum untuk melakukannya. Apalagi setelah melihat adegan tsb, penonton benci melakukannya. Maka, bikinlah !
b. boleh kok memperlihatkan pornografi , asal tidak menonjol.
c. boleh memperlihatkan terjadinya pertentangan antar kelompok ... dst ... asal jangan sampai penonton terprovokasi/ selama penonton tidak terprovokasi oleh adegan tsb , oke-oke aja.
d. kalo point ini memang tidak boleh sama sekali : menistakan, melecehkan ... dst
e. selama tidak mendorong khalayak umum melakukannya , boleh memperlihatkan adegan melawan hukum ...dst.... Kalo yang terpengaruh cuma 2-3 orang masih boleh, buatlah adegan tsb. Apalagi kalo komersil.
f. kira-kira thema atau adegan apa ya yang bisa dikategorikan merendahkan harkat dan martabat manusia?
Bebas berkreasi, asal mengikuti aturan-aturan yang ada di Pasal 6. Sebenarnya boleh berkreasi atau enggak sih?
Pasal 12
Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf d dilarang mempertunjukkan film hanya dari satu pelaku usaha pembuatan film atau pengedaran film atau impor film melebihi 50% (lima puluh persen) jam pertunjukannya selama 6 (enam) bulan berturut-turut yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Niat pemerintah maupun DPR membuat Pasal 12 ini barangkali ingin menghapus praktek monopoli yang selama ini terjadi. Pasal ini menjelaskan, kalo ada bioskop yang selama enam bulan berturut-turut menampilkan film impor di layar-layar melebihi 50%, bioskop itu dianggap monopoli.
Menurut insan perfilman Pasal 12 ini bukan melindungi, justru malah mengkerdilkan mereka. Dengan pembatasan impor film, maka mereka nggak punya film pembanding atau referensi. Menurut mereka, biarlah film tumbuh dengan ‘alamiah’. Artinya apa? Artinya, biarlah penonton menentukan film-film yang layak ditonton, bukan membatasi jumlah film impor via UU. Dengan konsep ‘membiarkan’ ini, pasar akan berbicara dan film Indonesia akan menjadi dewasa. Secara alamiah akan ‘mati’ kalo memang nggak berkualitas atau layak tonton.
Kata Mira, biar film Indonesia tumbuh dengan alamiah. Untuk memproteksi film nasional agar tidak dikalahkan oleh film luar nggak usah diundang-undangkan. Ini bisa mendidik penonton agar dewasa memilih tontonan. Kalo memang mereka pikir nggak bagus, norak, udik, dan kampungan, mereka pasti nggak akan mau nonton.
Pasal 17
(1) Pembuatan film oleh pelaku usaha pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) harus didahului dengan menyampaikan pemberitahuan pembuatan film kepada Menteri dengan disertai judul film, isi cerita, dan rencana pembuatan film.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan tanpa dipungut biaya dan dicatat dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja.
(3) Menteri wajib:
a. melindungi pembuatan film yang telah dicatat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) agar tidak ada kesamaan judul dan isi cerita.
b. mengumumkan secara berkala kepada publik data judul-judul film yang tercatat.
(4) Pelaku usaha pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan pembuatan film yang dicatat paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal pencatatan pembuatan film.
(5) Dalam hal rencana pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (4), pemberitahuannya dinyatakan batal.
Seluruh Ayat di Pasal 17 menjadi bahan olok-olok insan perfilman. Tafir dari Pasal 17 ini adalah kalo mau buat film kudu mendaftar ke Menteri. Entah apa bentuk pendaftarannya, apakah ada form tertulis atau si pembuat kudu membuat proposal. Yang pasti, dalam pendaftaran itu, si pembuat kudu memberitahukan judul film, isi cerita, dan rencana pembuatan film.
Meski dalam Ayat 2 (dua) disebutkan tanpa dipunggut biaya, namun Ayat 1 (satu) jelas-jelas menunjukkan pemerintah sebagai pengontrol, regulator, dan ini nggak beda kayak zaman Orde Baru. Kalo ada film yang dianggap nggak sejalan dengan pemerintah, maka film tersebut bisa ditolak. Memang sih pemerintah ingin negara kita yang multietnis dan multikultur ini ingin diproteksi, namun menurut insan perfilman Ayat ini sebagai (sekali lagi) bentuk ketidakbebasan berkreasi.
Judul film yang menggunakan Pocong itu jumlahnya udah puluhan, apalagi judul Kuntilanak. Menurut insan film yang protes, mempersoalkan judul yang sama itu nggak esensial, nggak penting. Ngapain juga dimasukkan menjadi Pasal. Inisiatif pemerintah mempersoalkan supaya judul nggak sama cuma cari-cari kerjaan dan dianggap membelenggu.
Lucunya, di Ayat 3 (tiga) disebutkan, Menteri melindungi pembuat film agar nggak ada judul dan isi cerita yang sama. Lha kok aneh? Memangnya kalo ada judul sama kenapa? Sejujurnya sih saya ngerti ketakutan pemerintah terhadap ‘judul yang sama’ (bukan isi cerita yang sama). Ini adalah bentuk antisipasi. Jangan sampai ada konflik, sehingga menimbulkan perang antarinsan perfilman gara-gara ada dua Sutradara menggunakan ‘judul yang sama’.
Berbeda dengan kasus penolakan Mira Lesmana, Riri Reza, Hanung Bramantyo dan Rudi Soejarwo terhadap keputusan juri Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2006 yang memenangkan film Eskul. Kalo dalam kasus ini, mereka menilai film garapan sutradara Nayato Fio Nuala ini tidak orisinil dan melanggar hak cipta karena menggunakan ilustasi musik dalam film Hollywood yaitu Gladiator dan Munich. Bukan persoalan judul yang sama, juga bukan persoalan isi cerita yang sama. Tapi penjiplakan musik atau musik yang dijiplak dari film luar. Nah, kalo ada perkara kayak begini, apakah Nayato bisa dijerat hukuman?
Masalah orisinalitas terkadang memang ukurannya bisa absurd. Apakah film-film Kuntilanak dianggap orisinil atau adaptasi atau terinspirasi oleh film-film sebelumnya? Itu perlu diperdebatkan. Saya yakin, seluruh pembuat film adalah penikmat film. Artinya, mereka banyak menonton film-film referensi. Jadi seluruh film-film yang mereka tonton pasti ada scene yang mereka ‘colong’ dan dimasukkan ke dalam film mereka. Apakah ini dianggap tidak orisinil atau terinspirasi? Namun saya setuju kalo musik film Eskul sama persis dengan film aslinya.
Back to Pasal 17! Di Pasal ini Ayat 4 (empat) tertulis ‘wajib melaksanakan pembuatan film paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal pencatatan pembuatan film’. Tafsir saya di Pasal ini, mereka yang sudah menyampaikan pemberitahuan sebagaimana Ayat 1 (satu) di Pasal 17 ini cuma punya waktu tiga bulan untuk segera berproduksi. Lebih dari tiga bulan, pemberitahuan tersebut dinyatakan batal sebagaimana tercantum di Ayat 5 (lima). Kalo batal dan mau memproduksi kembali, si pembuat film mengajukan permohonan lagi. Batal lagi, ajukan lagi. Batal lagi, ajukan lagi. Pokoknya waktu harus melakukan produksi dibatasi sampai tiga bulan.
Selama ini, insan perfilman nggak pernah mendaftarkan film mereka ke pemerintah dan nggak pernah merasa dikejar-kejar oleh waktu produksi meski skenario sudah selesai. Nah, kalo sekarang, ada ketakutan untuk segera berproduksi begitu berani mendaftarkan diri filmnya ke pemerintah.
Pasal 32
Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut.
Pasal 33
(1) Pelaku usaha pertunjukan film yang melakukan pertunjukan film di bioskop sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf a wajib memberitahukan kepada Menteri secara berkala jumlah penonton setiap judul film yang dipertunjukkan.
(2) Menteri wajib mengumumkan kepada masyarakat secara berkala jumlah penonton setiap judul film yang dipertunjukkan.
Pasal 32 ini mirip seperti Pasal 12. Kalo Pasal 12 untuk melindungi insan perfilman dari praktek monopoli dari satu pelaku usaha pembuatan film atau pengedaran film atau impor film yang selama 6 bulan berturut-turut sebanyak 50% cuma menayangkan film-film hasil produksinya. Nah, kalo Pasal 32 dimaksudkan untuk memproteksi film dengan cara memberikan kuota film nasional. Bahwa selama 6 bulan berturut-turut bioskop kudu mempertunjukan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% dari seluruh jam pertunjukan. Kalo nggak mencapai angka itu, sebuah bioskop dianggap monopoli.
Menggelikan di Ayat 1 (satu) Pasal 33 yang menyebutkan pelaku usaha pertunjukan –dalam hal ini pemilik bioskop- wajib memberitahukan ke Menteri jumlah penonton setiap judul film. Ada yang menafsirkan, Menteri ini pasti kurang kerjaan. Ngapain juga minta laporkan soal penonton? Bukankah selama ini ada lembaga yang membuat laporan sebagaimana pernah dilakukan oleh Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BPPN)?
Memang menggelikan, tapi saya barangkali mengerti maksud pemerintah. Pasti ini ada hubungannya dengan soal pajak. Apalagi kalo bukan pajak tontonan yang sebesar 5% itu. Nah, barangkali para pemilik bioskop saat ini melakukan ‘kecurangan’ dalam hal pelaporan jumlah penonton. ‘Kecurangan’ ini menyebabkan pajak tontonan yang seharusnya diperoleh pemerintah nggak terlalu signifikan. Padahal pemerintah melihat film bisa menjadi penghasil pajak terbesar juga, mengingat perfilman nasional saat ini sedang produktif-produktifnya.
Pasal 32 di atas tadi kembali ditafsirkan oleh Enison Sinaro sebagai berikut:
Film Indonesia dapat jatah pemutaran di bioskop sekurang-kurangnya 60 % dari total jam pertunjukan yang ada di bioskop. Pihak bioskop harus menyediakan jumlah waktu tsb. Dengan kata lain juga berarti, pihak bioskop tidak bisa dipaksa memutar film Indonesia (lagi) kalau dia sudah memutar 60% dari jam pertunjukannya untuk film Indonesia.
Menurut Enison yang penulis kutip dari milis FFTV IKJ, Pasal 32 ini mengarah ke peredaran copy film secara merata ke para pengusaha pertunjukan film, dst. Maksudnya, untuk memenuhi jumlah jam pertunjukan yang 60%, Produser bisa kelimpungan. Kenapa? Para produser harus menyediakan film atau copy film mereka, agar memenuhi masa putar film Indonesia di bioskop yang harus 60% itu. Itu berarti, Produser-Produser itu harus menyediakan copy film mereka untuk diedarkan ke seluruh Indonesia secara serentak. Kalo dihitung-hitung, copy yang harus mereka siapkan sebanyak 180 copy. Jelas saja mereka berteriak. Wong film Laskar Pelangi yang laris manis tanjung kimpul itu cuma 75 copy (ralat dari saya bung Enison: bukan 75 copy tapi 80 copy! Angka copy tersebut menurut data di supplementary Laskar Pelangi dari Jive Collection).
Pasal 74
(1) Insan perfilman harus memenuhi standar kompetensi.
(2) Standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi kompetensi.
(3) Sertifikasi kompetensi dilakukan oleh organisasi profesi, lembaga sertifikasi profesi, dan/atau perguruan tinggi.
(4) Sertifikasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 74 yang masuk di Bab IX tentang pendidikan, kompetensi, dan sertifikasi ini menjelaskan soal sumber daya manusia (SDM) yang memproduksi sebuah film. Sekali lagi, di Pasal ini pemerintah mencoba memproteksi kualitas film. Ini tafsir saya, lho! Pemerintah ingin film-film yang muncul di layar bioskop benar-benar berkualitas, nggak ecek-ecek. Oleh karena itu, insan perfilman kudu memenuhi standar kompetensi (Ayat 1) dan memiliki sertifikat (Ayat 2) yang dilakukan oleh organisasi profesi (Ayat 3).
Namun organisasi profesi yang menguji standar kompetensi insan perfilman yang dimaksud Ayat 3 (tiga) nggak jelas. Selama ini ada sebuah badan yang menguji sertifikasi profesi. Namanya Badan Nasional Strandarisasi Profesi (BNSP). Tapi badan ini nggak ‘terbuka’ atau diketahui secara umum oleh orang per orang atau perusahaan-perusahaan. Padahal tujuan badan yang baru dibentuk di pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono ini sangat mulia, yakni supaya profesi kita bisa berstandar internasional.
Apakah pembuat film yang bukan lulusan seklah film tidak diizinkan memproduksi film? Apakah film-film yang diproduksi mereka yang lulusan IKJ menjamin berkualitas? Kayaknya belum tentu, deh! Ya nggak? Jadi sebenarnya bukan masalah pernah sekolah film atau tidak pernah mengikuti pendidikan perfilman, tapi masalah kreativitas. Kalo lulusan sekolah film tapi nggak pernah buat film atau omong doang, ya kualitasnya bisa dipertanyakan. Itulah mengapa Pasal 74 ini masih ‘kontroversi’ dan masih dianggap ‘Pasal karet’, karena nggak jelas siapa yang menentukan dan teknis mendapatkan sertifikasi tersebut.
Pasal 80
Setiap orang yang dengan sengaja mengedarkan, menjual, menyewakan atau mempertunjukkan kepada khalayak umum, film tanpa lulus sensor padahal diketahui atau patut diduga isinya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
Pasal 81
(1) Setiap orang yang mempertunjukkan film hanya dari satu pelaku usaha pembuatan film atau pengedaran film atau impor film tertentu melebihi 50% (lima puluh persen) jam pertunjukannya yang mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha perfilman atau membuat ketentuan yang bertujuan untuk menghalangi pelaku usaha perfilman lain memberi atau menerima pasokan film yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Kalo Pasal 80 dan Pasal 81 yang terdapat di Bab XII ini benar-benar diterapkan, pelaku usaha yang melakukan praktik monopoli akan kelojotan alias jatuh miskin. Sebenarnya bagus juga sih. Pemerintah benar-benar melindungi praktik-praktik monopoli bioskop yang dahulu pernah terjadi dan membuat film nasional terpuruk. Namun tetap saja Ayat 1 (satu) dianggap ‘menganggu’, karena insan perfilman jadi tidak punya film pembanding dan film Indonesia tidak secara alamiah ditonton oleh penonton lokal.
Nah, dari Pasal demi Pasal yang sudah saya utaran di atas apa pendapat Anda? Apakah pemerintah dan DPR terlalu terburu-buru mensahkan UU ini sehingga menimbulkan kontroversi? Atau sesungguhnya pemerintah sangat baik mencoba memproteksi film nasional, hanya UU ini belum cukup sempurna untuk diundang-undangkan? Butuh waktu untuk membuktikan UU ini mujarab atau tidak mujarab bagi kelangsungan perfilman nasional.
No comments:
Post a Comment