Monday, October 12, 2009

LAIN TANGAN BEDA RASA

Menularkan keahlian memasak sudah dilakukan Mbah Suwito Rejo sejak masih muda. Siapa saja orang yang ingin belajar, dilayani oleh pemilik mie Jawa yang terletak di Gunung Kidul, DI Yogyakarta ini. Bahkan Mbah Wito -begitu pria ini akrab sisapa- rela ditanggap oleh mereka yang ingin membuka mie Jawa selama sepuluh hari. Dalam sepuluh hari itu ia menularkan ilmu memasaknya.

“Jika pembelinya sudah stabil, saya tinggal,” ujar Mbah Wito.

Kisah tentang Mbah Wito di atas itu saya kutip dari tulisan Mawar Kusuma yang ada di Kompas, Minggu, 11 Oktober 2009 kemarin. Sebenarnya tulisan yang ada di rubrik Tren-Santap di halaman 16 ini isinya sama dengan tulisan-tulisan soal pembahasan kuliner di minggu-minggu sebelumnya, yakni ada sebuah warung atau tempat jajan yang mak nyos di sebuah daerah di Indonesia. Namun yang menjadi luar biasa dari tulisan berjudul Mi Jawa Incaran Pejabat ini adalah filosofi Mbah Wito yang menjadi pembuka note saya.

Selama 67 tahun membuka Warung Bakmi Mbah Wito di Dusun Kemoro Sari, Desa Piyaman, Wonosari, Gunung Kidul, Mbah Wito tak pernah ngoyo dalam berjualan. Ia sudah cukup puas mengelola satu warung dan tidak berniat sedikit pun membuka cabang atau mencari lokasi jualan yang lebih strategis. Lebih dari itu, sudah puluhan pemilik warung yang meminjam jasanya untuk minta ditularkan resep keberhasilan mie Jawa. Setelah mengerti dan pelanggannya banyak, barulah Mbak Wito meninggalkan pemilik warung tersebut.

Menurut saya Mbah Wito luar biasa. Kata orang sekarang, ia tidak pelit ilmu. Berbeda sekali dengan Pengusaha-Pengusaha -khususnya ilmu masak- di era digital sekarang ini. Sedikit sekali dari mereka yang menularkan ilmu mereka. Yang terjadi justru, mereka membuka cabang sebanyak-banyaknya dengan resep yang hanya diketahui oleh si pemilik usaha. Wajarkah?

Kalo saya menggunakan perspektif kapitalis, resep yang cuma diketahui si empunya makanan, jelas sangat wajar. Siapa yang mau resepnya dicontoh orang lain, dimana si Pemilik sah resep itu tidak mendapat keuntungan apa-apa? Konsep seperti itu memang menjadi konsep kapitalis, sebagaimana yang ditulis oleh Karl Marx dalam artikel Wages of Labour, bahwa dalam kapitalisme hubungan yang lebih manusiawi (gemeinschaft) berganti menjadi hubungan yang bersifat bisnis semata (gesselschft).

Tak ada satu manusia pun yang tidak mau untung. Ketika orang lain minta untuk diajarkan cara memasak, sebagaimana Mbah Wito mengajarkan kepada orang lain tanpa pamrih, kaum kapitalis memanfaatkan dengan cara bekerjasama, yakni membeli franchise atau waralaba. Mereka yang ingin berdagang mie Jawa kudu menyetorkan uang muka sebagai bentuk sistem waralaba tadi dan kemudian membayar royalty tiap tahun atau tergantung dari kesepakatan keduabelah pihak.

Sistem franchise tak hanya dilakukan oleh usaha-usaha makanan yang memang lahir dari negara kapitalis, seperti McDonnald, Kentucky Fried Chicken, atau fast food-fast food lain. Usaha masakan yang berasal dari negara Indonesia yang katanya Pancasila ini juga sudah ikut-ikutan melakukan model usaha franchise. Sebut saja Ayam Bakar Mas Mono, Es Teler 77, dan masih banyak lagi.

Entahlah mengapa saya tetap kagum dengan filosofi Mbah Wito. Filosofinya itu mengingatkan saya pada ucapan pendiri Natural Cooking Club (NCC) Fatmah Bahalwan, bahwa setiap orang memiliki keunikan tersendiri dan kemampuan berbeda, sehingga: “Lain tangan, pasti rasanya berbeda!”. Maksudnya, meski kita sudah memberikan resep pada orang lain 100%, tapi ketika orang tersebut meracik makanan atau kue, pasti rasanya beda, karena masing-masing memiliki kekhasan dan kemampuan beda.

Seperti juga Mbah Wito, ketika diceritakan oleh istri, saya kagum dengan komunitas NCC. Seluruh anggota komunitas ini tidak pelit ilmu masak. Semua resep diberikan seluruhnya. Tidak ada yang ditutup-tutupi alias disimpan. Yang menarik, resep yang diberikan itu gratis dan orang yang memberikannya tanpa pamrih. Luar biasa bukan? Klik aja sendiri di milis mereka: groups.yahoo.com/group/naturalcookingclub atau blognya di NCC.blogsome.com.

Sekadar info, NCC adalah komunitas yang berawal dari mereka yang punya hobi sama, yakni memasak. Oleh karena sering bertukar pendapat di internet, maka Fatmah Bahalwan dan suaminya Wisnu Ali Martono mendirikan NCC pada akhir tahun 2004. Beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 15 Januari 2005, NCC pertama kali mengadakan kursus cake decorating. Tanggal itulah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya NCC.

NCC termasuk milis yang aktif, dengan jumlah posting rata-rata mencapai 100 hingga 200 posting. Jumlah member milis menjelang akhir tahun 2005 saja mencapai 1300, yang tersebar di lima benua. Luar biasa bukan? Milis ini jelas berbeda dengan milis lain yang sekadar ajang curhat-curhatan tak penting atau bahkan kritik-kritik yang tendensius cenderung sarkas.

Mbah Wito dan NCC mengingatkan saya pada Riwayat Iman Bukhari dan Muslim: Qaala rasulullahi shallallaahu’alaihi wasallam: Idzaa maata ibnu aadama, inqath’a’amaluhu illa min tsalaatsin: Shadaqatin jaariyatin, au’ilmin yuntafa’ubih, au waladin shaalihin yad’uulah. Artinya: “Rasulullah S.A.W bersabda: Bila seseorang meninggal, terputus untuknya pahala segala amal kecuali tiga hal yang kekal: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang senantiasa mendo’akannya”.

Perhatikan! Riwayat Iman Bukhari dan Muslim tidak mengatakan soal royalti atau keuntungan dari sebuah usaha franchise. Yang ada justru ilmu yang bermanfaat yang justru kekal abadi. So, jangan pelit ilmu. Taburkan ilmu sebanyak-banyaknya pada orang yang membutuhkan. Berikan resep masakan atau kue yang Anda miliki. Tak perlu disembunyikan, karena tidak bermanfaat juga. Soal rezeki sudah ada yang ngatur. Ingat pula: lain tangan, beda rasa!

No comments:

Post a Comment