Polisi dan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) itu ibarat musuh dalam selimut. Yang satu merasa memiliki kewenanga dalam menyidik maupun menyelidik. Satunya lagi merasa punya hak prerogatif buat menangkap Koruptor. Jangan heran, di lapangan mereka menggunakan istilah: “siapa cepat, dia dapat”. Siapa yang lebih dulu menangkap Koruptor, lembaga itulah yang dianggap pertama kali layak mendapat pujian. Begitu sebuah lembaga merasa “kecolongan” gara-gara nggak mampu menangkap Koruptor –atau lebih tepatnya sebenarnya sudah ditangkap, tapi kemudian dilepas lagi dan boleh pergi ke luar negeri-, lembaga itu merasa “kalah”.
Setidaknya begitulah apa yang gue simpulkan dari beberapa pakar politik dan kriminal mengenai dua lembaga negara yang luar biasa ini. Dua lembaga ini sesungguhnya punya andil besar dalam memberantas korupsi. Wong mereka punya kewenangan, kok. Tetapi namanya juga manusia, sudah menjadi karakter kalo ada orang lain yang punya kewenangan sama, biasanya timbul kecemburuan. Sirik. Bukannya berkordinasi buat kepentingan lebih besar, yakni memberantas korupsi, eh malah saling menjatuhkan. Mereka bekerja sendiri-sendiri, tanpa kordinasi dan inilah yang pada akhirnya mejadi musuh dalam selimut.
“Koruptor itu lahan gue, elo jangan ngambil lahan gue dong,” kata pakar politik dan kriminal yang nggak mau membuka KTP-nya.
Hah?! Koruptor dianggap sebagai “lahan”? My friends, hal ini sudah bukan rahasia lagi. Koruptor itu semacam mesin ATM hidup. Ia bisa diperas uangnya. Sebagai orang awam seringkali kita kena tipu. Koruptor ditahan, diadili, dan dipenjara, padahal itu bisa jadi sebuah rekayasa. Secara fisik memang ditahan, diadili, dan dipenjara, tapi hidup mereka di penjara jauh lebih nikmat dibanding di rumah yang barangkali harus bertemu dengan orang-orang yan bikin hidupnya pening. Wong di penjara ada AC, sound system, televisi, buku bacaan, mau minta makanan enak tinggal pesan, delivery. Enak kan?
Sedih banget kalo Anda mengetahui kebenaran dalam dunia politik. Anda bisa nangis tujuh tahun nggak berhenti-berhenti. Sebenarnya secara naif kita juga bisa mereka-reka, kenapa begini kenapa begitu. Maksudnya, ketika ada seorang Koruptor diadili lalu dipenjara, eh cuma setahun dua tahun bisa bebas. Begitu maling ayam yang nggak punya duit, bisa dipenjara bertahun-tahun. Udah digebukin sekampung sampai mukanya bonyok, eh masih hidup dalam terali beberapa tahun. Gokil nggak?
Padahal gue yakin banget, dibawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, polisi mampu berbuat yang terbaik. Kabarnya, Pak Bambang Hendarso ini orangnya “bersih”. Ia berhasil menumpas perjudian di Medan, makanya usia dinasnya di Medan nggak lama. Ini juga dialami oleh Kapolri sebelumnya Jendral Sutanto yang juga dikenal penumpas perjudian di Medan, yang menyebabkan Raja Judi di sana nggak bisa berkutik.
Kalo Pak Bambang dengan kearifannya bisa melakukan kordinasi dengan KPK, gue yakin banget Korupsi sedikit demi sedikit bisa dibasmi. Kalo korupsi dihabisi, wah itu perlu waktu lama. Bukan tidak mungkin, tapi butuh beberapa generasi, karena orang miskin pun sudah ikut-ikutan korupsi, kok. Bahkan ada satu aliran agama yang melegalkan mencuri, selama orang yang dicuri bukan anggota aliran agama itu. Gokil kan?
Masalahnya sekarang ini, KPK dianggap musuh. Polisi mengganggap lembaga pemberantas korupsi ini over lapping alias selalu mengambil pekerjaan polisi, sehingga polisi merasa dilangkahi. Nggak heran kalo ada mural –lukisan di tembok, bo!- yang judulnya menurut gue cukup unik: MAU BERANTAS KORUPSI ATAU BERANTAS KPK?
2 comments:
Kisah Cicak Vs Buaya ini seperti Epos Mahabharata Modern. Mengingat "Kurawa" yang dihadapi sangatlah besar maka mari kita dukung KPK agar alur skenario ini tidak seperti yang diharapkan sang sutradara, namun endingnya bisa seperti kisah Mahabharata yang kita ketahui bahwa si Pendawa atau KPK bisa menang melawan Kejahatan arus besar ini..
Betul bung Daniel DPK! Setuju!!!
Post a Comment