Wednesday, June 30, 2010

FILM "OBAMA ANAK MENTENG": KETIKA BANCI TAHUN 90-AN HIDUP DI TAHUN 70-AN

Boleh jadi judul tulisan ini membuat anda bingung. Terus terang saya pun demikian. Bayangkan, ketika anda duduk di sebuah bioskop untuk menyaksikan film dokudrama ber-setting 70-an, tiba-tiba muncul kata “doski” dalam sebuah dialog.

Begitulah kenyataan yang saya sebagai penonton terima. Entah tidak sadar atau memang sang sutradara kurang teliti, Teuku Zacky yang berperan sebagai sosok banci bernama Turdi di film Obama Anak Menteng itu, menyebut kata “doski”. Padahal kita tahu, kata “doski” baru muncul pada tahun 90-an.

Selain kata “doski”, masih banyak hal-hal yang luput dari film ini. Misalnya scene pidato Obama asli di televisi. Seharusnya pada saat Obama berpidato, di layar televisi diberikan logo stasiun televisi yang menyiarkan pidato tersebut. Tolong perhatikan siaran televisi anda di rumah, tidak ada satu pun televisi yang tidak menggunakan logo pada saat siaran. Namun sayang, scene Obama pidato di layar televisi dibiarkan kosong, sehingga hampir semua orang tahu, pidato itu bukan dari siaran televisi, melainkan playback dari video tape. Sekali lagi saya tidak tahu persis kenapa sebagai seorang sutradara John de Rantau “membiarkan” itu terjadi.

Ternyata saya terlalu berekspektasi lebih terhadap film Obama Anak Menteng ini. Betapa tidak, setiap kali menyaksikan film nasional, saya selalu berpikir positif. Bahwa film yang saya tonton kelak akan berkualitas. Tidak usah mimpi meraih penonton banyak dulu sebagaimana Laskar Pelangi, tetapi kualitas dulu.


Damien Damitra dengan novel karyanya Obama Anak Menteng. Konon dalam kru film ini sedang "bergejolak" tentang siapa sutradara sebenarnya. Konon Damien tidak menyutradarai film ini. Menurut beberapa kru, Damien tidak pernah melakukan job desk sebagaimana layaknya sutradara, termasuk meneriakkan "action" dan "cut". Sutradara sesungguhnya John de Rantau


Ukuran kualitas tentu saja pada cerita, sinematografi, dan tidak kalah hebat adalah detail-detail dari produksi film tersebut, baik itu properti maupun dialog. Harapan saya juga berlebih pada film Obama Anak Menteng ini. Pasalnya, film ini rencanannya akan menjadi salah satu bagian dari program Celebrating Obama`s Homecoming, yakni saat Obama akan datang ke Jakarta, dimana nantinya Obama “dipaksa” menyaksikan film yang berdurasi 100 menit ini. Entah kebetulan atau memang takdir, Obama akhirnya gagal total datang ke Jakarta.

Namun harapan-harapan positif saya ternyata harus berakhir dengan kekecewaan. Saking kecewa, saya sampai berpikir negatif. Bahwa kegagalan Obama datang ke Jakarta barangkali bukan cuma masalah internal di Amerika Serikat atau keamanan di Jakarta, tetapi (mohon maaf) demi menghindar nonton film Obama Anak Menteng.

Meski begitu, sebagai orang yang terlahir di Indonesia, saya tetap menghargai karya anak bangsa ini. Film yang berasal dari novel berjudul sama Obama Anak Menteng karya Damien Damitra yang diterbitkan Penerbit Gramedia ini. Saya juga salut dengan film yang diproduksi oleh Multivision Plus ini, dimana cuma dalam tempo 18 hari (14 Mei-3 Juni 2010), tim produksi film ini berhasil menyelesaikan proses shooting dengan berbagai tantangan.

Saya baru mengerti, proses shooting yang sangat singkat itu karena mengejar kedatangan Obama yang terakhir direncanakan datang pada bulan Juni. Jangan heran kalo sebelum akhirnya dirilis per 1 Juli 2010, film ini sudah direncanakan diputar di bioskop per 17 Juni. Namun kemudian dimundurkan lagi menjadi tanggal 24 Juni. Sampai akhirnya, begitu tahu Obama tidak jadi datang, Multivision konfirm merilis film ini di awal Juli ini.

Saya juga baru mengerti, jadwal shooting yang pendek ini membuat banyak hal yang miss. Selain detail shot yang nampak kurang kaya, juga riset terhadap lokasi, properti, dan wardrobe juga kurang matang. Apakah di tahun 70-an semua payung menggunakan payung dari kertas dan berbatang bambu? Apakah seorang Turdi yang cuma berprofesi sebagai pembantu memang wardrobe-nya colourfull dan selalu berganti-ganti seperti itu? Menjadi pertanyaan besar buat saya dan penonton lain.

Anyway, seperti juga novel dan kisah yang barangkali sudah anda ketahui sebelumnya, bahwa film ini juga berkisah mengenai Obama ketika di Jakarta. Dimulai saat kedatangan keluarga Sutoro di Jakarta tahun 1969. Bersama Sutoro, Obama kecil (diperankan oleh Hasan Faruq Ali, 12 tahun) tinggal bersama sang ibu Ann Dunham (diperankan oleh Kara Lachele, 25 tahun).

Selama tinggal di Jakarta, Obama mencoba beradaptasi dengan tetangga, teman, maupun lingkungannya. Seperti bisa diduga, selama beradaptasi, banyak tantangan yang dihadapi oleh Obama kecil. Namun tantangan-tantangan tersebut berhasil dilaluinya termasuk menjalin persahabatan dengan musuhnya, Carut.

No comments:

Post a Comment