Ketika filusuf Descartes mencetuskan gagasan cognito ergo sum, sejak itulah manusia dianggap sebagai mahkluk paling sempurna. Bayangkan, manusia “diangkat” menjadi “subjek”. Subjek adalah sesuatu yang tinggi derajatnya. Kenapa? Subjek selalu berpikir dan menjadi pusat dalam melakukan tindakan. Gagasan itu dikenal sebagai filsafat subjek.
Jelas kita mengerti, Tuhan menciptakan kita untuk berpikir. Dengan kemampuan otak kita, manusia melebihi mahluk yang ada di bumi ini, dimana mereka diposisikan sebagai “objek”. Binatang adalah objek. Tumbuhan juga begitu. Mereka selalu dimanfaatkan subjek, dalam konteks ini manusia. Ayam dipotong. Sapi diperah susunya. Kayu dibuat meja atau kursi. Daun dibuat sayur lodeh. Manusia memanfaatkan mahkluk-mahkluk ciptaan Tuhan tersebut. Dan memang seperti itulah konsep filsafat subjek.
Namun belakangan justru subjek mulai bergeser posisinya. Manusia bukan lagi menjadi subjek sepenuhnya, tapi begeser menjadi objek (decentered). Dalam buku Thomas Kristanto berjudul Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan: Pengantar Memahami Subjektivitas Modern Menurut Perpektif Slavoj Zizek, dikatakan setiap kali manusia meyakini sesuatu, sebenarnya keyakinan itu berasal dari keyakinan orang lain. Maksudnya begini, kita yakin kalo ada orang lain yang berhasil meyakini diri kita. Dalam konteks aktual Pemilihan Presiden (Pilpres) misalnya. Tim Sukses ketiga Calon Presiden (Capres) dengan ngotot membela habis-habisan Presiden yang mereka promosikan pantas menjadi Presiden. Tim Sukses pertama mengatakan Capres A antineolibelis. Tim Sukses kedua menghajar Capres G yang dianggap munafik, karena bilang antineoliberalis tapi gaya hidupnya kapitalis. Tim Sukses lainnya sibuk membantah isu-isu seputar SARA dan menghajar Capres A dan G yang terlibat masalah HAM.
Subjek terpengaruh dengan semangat Tim Sukses mempromosikan masing-masing Capres. Mayoritas subjek udah nggak bisa berpikir waras lagi. Dalam politik biasa disebut emotional voter alias pemilih yang mengandalkan faktor emosi aja. Tanpa logika berpikir, mereka memilih Capres pilihan. Padahal apa yang digembar-gemborkan Tim Sukses belum tentu benar.
Memang, para Tim Sukses terdiri dari orang-orang pintar. Apakah orang pintar menjamin sesuatu yang ditawarkan juga pintar? My friends, Tim Sukses itu nggak lebih sebagai seorang Marketer yang sedang menjual produk, which is Capres-Capres itu. Di sinilah subjek seringkali bergeser menjadi objek. Mempercayai pada keyakinan orang lain. So, be carefull! Don’t go mistake!
Dalam konsep descentered, ada contoh lain. Iklan-iklan di media masa sesungguhnya membentuk manusia menjadi objek. Menjadi mahkluk manusia yang pasif. Padahal konsep filsafat subjek yang digelorakan oleh filusuf Descartes lewat gagasan cognito ergo sum nggak menginginkan manusia pasif. Otak manusia kudu di-exercise, kudu digunakan semaksimal mungkin.
Semua manusia pasti mati. Gw juga pasti mati. Tapi sebelum benar-benar mati, ada baiknya otak kita jangan dimatikan. Kita sebagai "subjek" kudu berpikir. Otak kita diajak exercise buat berpikir akan sesuatu hal, termasuk memilih Capres yang bakal kita pilih.
Lewat iklan kita jadi manusia gadget-freak. Tiap ada gadget baru, kita beli. Padahal faktor need-nya nggak sebesar faktor gengsi. Bahkan boleh dikatakan 90%gengsi yang mendominasi. Istilahnya, nggak penting-penting amat yang penting punya dulu. Padahal dengan handphone pun manusia juga masih bisa bernafas, kok. Bisa telepon-teleponan, SMS-SMS-an, atau bisa foto-fotoan (kalo kebetulan handphone-nya ada camera-nya).
Selain gangsi, juga ajang menunjukkan strata sosial si Pemakai (show off). Nggak heran kalo BlackBerry digunakan oleh hampir seluruh strata sosial, termasuk anak-anak SD. BlackBerry yang mewabah saat ini tanpa sadar menjadikan manusia bergeser sebagai objek. Produsen BlackBerry berhasil menjadi subjek yang mampu merubah manusia menjadi mahkluk pasif. Inilah kemenangan Produsen dan kekalahan manusia.
Iklan memang banyak mempengaruhi manusia, sehingga menggeser posisi manusia dari subjek ke objek. Saya contohkan satu iklan lagi. Iklan sabun, misalnya. Guna membuat manusia percaya (baca: Konsumen), sebuah iklan sabun menggunakan aktris papan atas, antara lain Tamara Blezeinski dan Dian Sastrowardoyo. Mereka direpresentasikan sebagai manusia berjenis kelamin wanita yang cantik gara-gara sabun tersebut. Siapa wanita yang nggak ngiler? Padahal kalo pada saat pemutaran iklan itu manusia adalah subjek, dia akan berpikir. Mana mungkin bintang secantik Tamara dan Dian Sastro mau pakai sabun seharga 2000 perak? Mana bisa sabun 2000 perak bisa membuat wanita jadi secantik mereka? Subjek pasti berpikir, iklan sabun itu cuma buat kalangan Pembantu yang (maaf) mayoritas nggak well-educated. Para Pembantu selalu punya mimpi tinggi bak Cinderella. Mereka secara instans membeli sabun itu dan berharap bisa berubah menjadi Tamara dan Dian Sastro.
Contoh kasus BlackBerry dan iklan sabun seringkali membuat manusia bergeser (decentered). Padahal seharusnya manusia tetap menjadi manusia, yakni mahkluk sempurna. Yang selalu menggunakan otak semaksimal mungkin. Saya yakin, Tuhan akan sedih kalo manusia berubah menjadi objek. Bayangkan ketika mahkluk-mahkluk lain udah lebih dahulu menjadi objek, masa manusia ikut-ikutan jadi objek? Kalo itu terjadi, mana mahkluk Tuhan yang akan menjadi subjek? Yang berpikir? Ah, kalo itu benar-benar terjadi, maka manusia benar-benar mati.
No comments:
Post a Comment