Setiap kali ngegowes sepeda atau naik kendaraan umum, saya selalu menyempatkan diri ngobrol dengan orang-orang yang kebetulan ada di sekitar situ. Beberapa waktu lalu, pada saat saya berhenti ngegowes buat minum air mineral, saya sempat berkenalan dengan pria yang profesinya sebagai kenek atau kondektur Metromini. Namanya Bang Bolong.
Awalnya saya cuma ngobrol hal sederhana seperti tempat tinggal dan kondisi hidupnya. Bang Bolong mengaku, hidupnya makin lama, makn miskin. Meski sejak dari orok (maksudnya sejak dari bayi) sudah berada di Manggarai, ia nggak punya rumah pribadi. Ia masih mengontrak rumah.
"Hidup saya dari ngenek (maksudnya menjadi kenek) aja," ujar Bang Bolong, yang sudah menjadi kondektur S-61 jurusan Manggarai-Kampung Melayu beberapa tahun ini. "Sementara istri saya jadi tukang cuci."
Stiker Sri Mulyani ditiang jembatan penyebrangan depan Komdak, Gatot Subroto. Koboi, nek!
Anak bang Bolong yang paling tua belum mendapatkan pekerjaan. Ia mengerti mengapa seperti itu, karena anaknya memang berpendidikan rendah. Anaknya nggak ada yang lulus SMA. Semua cuma tamat SMP.
"Nggak ada yang tertarik ngambil sekolah lagi," aku Bang Bolong.
Oleh karena nggak punya pekerjaan, anaknya banyak di rumah. Ketika saya tanya kenapa nggak menjadi kondektur sebagaimana dirinya, bang Bolong mengaku nggak ingin anak-anaknya menjadi kondektur. Alasannya, ia takut pergaulan anak-anaknya menjadi rusak. Maklum, di Manggarai terkenal sebagai kasawan rawan, entah itu rawan terhadap penodongan maupun narkoba.
"Lebih baik anak-anak saya nggak menyusahkan orangtua, ketimbang mereka berbuat yang nggak baik."
Memang sungguh "aneh" dengan sikap bang Bodong. Di satu pihak nggak membimbing anak-anaknya berpendidikan formal sampai lulus SMA bahkan kalo perlu berjuang sampai ke perguruan tinggi, di pihak lain bang Bolong justru mendidik anaknya dari segi moral.
Soal moral, bang Bolong juga menerapkan pada sang istri. Buatnya, kejujuran jauh lebih baik daripada uang maupun jabatan. Kejujuran adalah segala-galanya. Tanpa sikap jujur, kita nggak akan mungkin menjadi orang yang bermoral.
Salah satu contoh kejujuran adalah ketika istrinya menemukan uang 50 ribuan di kantong celana kotor. Pada saat hendak mencuci pakaian-pakaian kotor, uang yang relatif besar buat mereka itu ditemukan. Oleh istrinya, uang itu ditunjukkan pada bang Bolong. Lalu apa tindakan bang Bolong?
"Kembalikan uang itu pada pemiliknya," ujar bang Bolong pada istrinya saat itu. "Jangan pernah elo ambil uang kotor. Nggak bakalan jadi daging. Mending kita hidup dari gaji aja, yang penting uang yang kita terima halal."
Salah satu stiker di tembok jalan.
Luar biasa! Pagi itu saya belajar soal kejujuran. Soal moralitas dari seorang kondektur S-61. Saya yakin banget, pemikiran sebagaimana bang Bolong ini relatif langka di tengah iklim kapitalis dan sikap individualistik yang terjadi di tanah air kita.
Soal kejujuran, bang Bolong sempat berkomentar soal pansus bank Century yang berlarut-larut itu. Buatnya, tanpa pansus, semua orang sudah tahu siapa yang seharunya bertanggung jawab.
"Orang yang bodoh seperti saya saja sudah tahu," kata bang Bolong. "Seharusnya Sri Mulyani dan Boediono dibawa ke pengadilan. Biar di pengadilan memutuskan apakah mereka bersalah atau tidak."
No comments:
Post a Comment