Sungguh beruntung nasib Rosid (diperankan oleh Reza Rahardian). Meski tidak kuliah, berambut kribo, dan bukan anak orang kaya, tetapi punya dua pacar sekaligus. Pacarnya cantik pula. Pacar pertama bernama Delia (diperankan oleh Laura Basuki). Pacar kedua bernama Nabila (diperankan oleh Arumi Bachsin).
Apa yang membuat Rosid “digila-gilai” oleh dua wanita cantik itu? Selain wajah yang tampan –keturunan Arab dengan ukuran tubuh tinggi dan berhidung mancung-, juga jago membuat dan membaca puisi. That’s it! Cuma itu? Yap, cuma itu! Gara-gara berwajah ganteng dan berprilaku “ala” WS Rendra yang jago berpuisi, Rosid “digila-gilai” Delia dan Nabila. Itulah mengapa film ini dikasih judul 3 Hati. Ada hati Rosyid serta dua hati wanita cantik tersebut. Dan Rosid pun harus memilih cintanya di antara dua wanita itu.
Rosid (tengah) dan dua wanita yang mencintainya: Delia (kiri) dan Nabila (kanan).
Tentu konflik bukan cuma soal memilih cinta. Sebab, kalo yang dipake cuma itu, cerita akan basi. Sudah banyak film-film yang berkisah soal memilih cinta. Oleh karena itu, sebagai penulis skenario dan juga sutrdara, Benni Setiawan mencoba menambah konflik dengan memasukkan tema perbedaan agama. Meski konflik ini pun sudah basi, namun Benni menambah sub plot-sub plot lain agar kisah di film 3 Hati ini semakin terlihat dramatik.
Sub plot pertama soal keinginan babenya Rosid, yakni pak Mansur (diperankan oleh Rasyid Karim), untuk menjadikan Rosyid anak yang benar-benar berprilaku islami. Hal yang pertama dilakukan oleh pak Mansur adalah meminta Rosid untuk memotong rambutnya.
“Kalo rambut loe kribo, mane bisa pake peci?” ujar pak Mansur.
Dalam Islam, setiap kali sholat rambut kita tidak boleh menutupi jidat alias kening. Yang namanya jidat, kudu bersih dari rambut. Nah, salah satu upaya agar rambut yang panjang tidak menutupi jidat adalah dengan menggunakan peci atau istilah untuk penutup kepala khas Indonesia.
Namun Rosid ternyata lebih “pintar”. Menurutnya antara sholat dengan peci dan rambut kribonya nggak ada hubungannya. Yang ia yakini, bahwa Allah pasti akan menerima setiap orang yang sholat dengan khusuk, tanpa melihat manusia yang sholat itu nggak pake paci atau berambut gondrong. Apalagi dalam tradisi babenya Rosid, memakai peci adalah lambang bagi orang Islam yang shaleh.
Dengan berbagai cara, pak Mansur berusaha agar Rosid “tunduk” pada babenya. Maklum, baik Rosid maupun babenya sama-sama keras kepala. Saking frustrasi, pak Mansur sempat mencari ramuan-ramuan yang bisa membuat Rosid mau mengikuti perintah babenya. Mulai dari mantra-mantra, sampai minyak wangi yang dioleskan di tangan pak Mansur yang baunya tidak sedap.
Pertentangan soal rambut dan peci menjadi salah satu sub plot, dimana penonton diajak buat mengerti kalo Rosyid dan babenya memiliki perbedaan pendapat. Sub plot ini makin berkembang menjadi sub plot-sub plot kecil lagi. Sub plot kecil pertama, saat pak Mansur mengajak Rosid ke seorang Kiai yang konon menjadi guru ngaji. Pak Mansur berharap Rosid sadar.
“Apakah tradisi turun temurun yang diajarkan oleh orang-orang terdahulu semuanya benar, tidak juga?” kata Rosid pada Kiai tersebut.
Pada saat mengucapkan kalimat itu, hampir semua murid, termasuk pak Mansur, membelalakkan mata. Mereka memandang Rosid sebagai orang yang murtad. Pemuda ber-KTP muslim yang dianggap menodai ajaran agama.
“Dia penganut aliran sesat, nih!” teriak salah seorang jamaah si Kiai itu.
Scene ini menurut saya luar biasa. Bukan shot-shot-nya yang spektakuler. Tetapi dialog-dialog yang diucapkan Rosid sangat kontemplatif. Kita, terutama umat Islam, diajak merenung tentang tradisi atau budaya. Bahwa selama ini, Islam yang diturunkan oleh orangtua kita dianggap sudah benar. Padahal belum tentu!
Seharusnya kita sebagai manusia yang berpikir, jangan ikut-ikutan orangtua. Memang sih, kita wajib menghormati orangtua kita sesuai ajaran Islam. Namun kalo ajaran orangtua atau leluhur tentang Islam kita anggap melenceng, kita wajib untuk meluruskannya. Tergantung bagaimana mengkomunikasikannya. Kalo kita cukup keras, pasti akan timbul konflik dan dianggap durhaka. Namun kalo kita sabar, lambat laun mereka bisa mengerti.
Rosid ternyata lebih memakai dengan cara keras. Ia memang tipikal pemuda muslim idealis yang main “hajar bleh”. Tidak peduli siapa orang yang dihadapi. Apalagi bahasa komunikasinya Betawi-Arab yang keras, ya jadilah konflik semakin meruncing.
Itu baru soal peci. Konflik dengan babenya semakin tajam begitu tahu Rosid pacaran dengan Delia. Wanita dari keturunan keluarga kaya ini beragama Katolik. Kisah cinta Rosid-Delia ibarat roman Cinderella atau kisah-kisah cinta lain, dimana ada sepasang kekasih yang dimabuk cinta, tapi memiliki perbedaan. Kalo nggak perbedaan soal latar belakang keluarga (kaya dan miskin), ya latar belakang agama.
Barangkali saat ini masih terjadi. Dengan berlandaskan cinta, pasangan nggak peduli dengan latar belakang. Namun kalo latar belakang kaya dan miskin, menurut saya terlalu klise. Mereka yang mencari pasangan saat ini malah cenderung melihat kekayaan (bibit-bebet-bobot). Anak konglomerat, pacaran dengan sesama anak konglomerat. At least pacaran dengan selebritis lah. Meski sekolahnya nggak jelas, yang penting bintang sinetron. Dalam film 3 Hati, Delia naik BMW sementara Rosid naik vespa.
Era kapitalis seperti sekarang ini kalo tidak lihat kaya atau tidaknya pasangan, sepertinya rugi banget. Yang saat ini rada cuek adalah masalah perbedaan agama. Kisah cinta beda agama sebagaimana dialami Rosid saat ini banyak kita temui. Pola pikir masyarakat kita semakin berubah. Buat pasangan, agama dan kepercayaan itu nomor dua. Mending nomor dua, belakangan menjadi nomor kesekian. Yang menjadi agama saat ini adalah cinta dan uang.
Sebagai keluarga muslim yang taat, orangtua Rosid melakukan berbagai cara agar Rosid putus dengan Delia. Sebaliknya, orangtua Delia pun demikian. Kalo keluarga Rosid memilih mencari jodoh, pak Frans (diperankan oleh Robby Tumewu) dan bu Martha (diperankan oleh Ira Wibowo), orang tua Delia, memakai strategi mengirim Delia sekolah ke Amerika.
Atas bantuan adik pak Mansur, Rosid berkenalan dengan gadis bernama Nabila, yang juga keturunan Arab-Betawi. Nabila ternyata begitu mengidolakan Rosid. Namun sayang, cinta bertepuk sebelah tangan. Rosid cuma menganggap Nabila sebagai teman.
“Emak nggak minta ape-ape sama elo Sid,” papar bu Rodiah, emaknya Rosid. “Emak cuma pengen kali ini elo menolong emak. Kali ini aja, Sid. Mau kan?”
Biar Kribo, nggak kuliah, dan cuma pake Vespa, Rosid "diburu" dua perempuan cantik, euy! Kisah model Cinderella versi pria memang masih laku
Permohonan bu Rodiah sebenarnya merupakan upaya untuk memisahkan Rosid dari Delia. Sulit sekali bagi Rosid untuk menolak permintaan emaknya, namun di sisi lain hati Rosid memang tidak ikhas mencintai Nabila. Di sini penonton diajak berputar-putar dari scene ke scene, dimana memperlihatkan kemana nanatinya Rosid akan memilih. Delia kah? Atau Nabila yang sebenarnya tidak dicintainya.
Benni Setiawan menutup kisah dengan netral. Rosid dan Delia ditokohkan sebagai dua anak muda yang rasional dalam menyikapi perbedaan agama mereka. Di akhir scene, mereka sepakat untuk tidak meneruskan hubungan mereka. Begitu pula dengan hubungan Rosid dan Nabila. Bahwa Nabila juga sadar, bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Ia pasrah Rosid juga tidak memilih dirinya sebagai istri.
Film ini merupakan produksi keenam Mizan Production. Sebelumnya Mizan sempat bekerjasama dengan beberapa rumah produksi, antara lain dengan Miles Production di film Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Film 3 Hati ini diangkat dari novel bestseller karya Ben Sohib, yakni Da Peci Code dan Rosid & Della.
No comments:
Post a Comment