Ada dua tokoh yang menurut saya “luar biasa”. Tokoh pertama adalah pengacara yang sekarang terjun ke dunia politik bernama Ruhut Sitompul. Satunya lagi adalah Sekretaris Jenderal PSSI Nugraha Besoes. Apa yang membuat kedua tokoh ini menjadi tokoh “luar biasa” di mata saya?
Sebagai anggota Partai Demokrat, Ruhut menggulirkan wacana untuk memperpanjang jabatan masa jabatan Presiden. Kalo sebelumnya jabatan Presiden hanya dua kali, oleh Ruhut diusulkan menjadi tiga kali. Dengan wacana Ruhut, itu artinya Undang-Undang Dasar (UUD) harus diamandemen lagi.
Seperti kita ketahui, Pasal 7 UUD 1945 dan TAP MPR Nomor XIII/ MPR/ 1998 tertulis, bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Oleh karena di tahun 2014 nanti adalah masa terakhir SBY memerintah Republik ini, Ruhut sebagai fungsionaris Partai Demokrat menggulirkan wacana untuk memperpanjang masa jabatan SBY satu kali lagi.
Namun wacana Ruhut “ditolak” oleh SBY. Dalam pernyataan Presiden RI yang diungkapkan pada saat sambutan Hari Konstitusi di Gedung MPR/ DPR di Jakarta (Rabu/18/8), SBY mengajak semua pemimpin untuk membuka ruang bagi munculnya pemimpin baru, bukan mengubah aturan demi kepentingan pribadi atau mengajukan anak dan istri sebagai pengganti.
Bukan cuma SBY yang notabene adalah Ketua Dewan Pertimbangan Partai Demokrat yang menolak usulan Ruhut, tetapi Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum pun tidak setuju usulan “anak buah”-nya di Partai itu. Kata Anas, pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode adalah yang terbaik dan perlu ditradsikan.
“Pernyataan tentang penambahan jabatan Presiden hingga tiga periode melalui perubahan UUD 1945 merupakan pendapat pribadi Ruhut Sitompul bukan pendirian Partai Demokrat,” kata Anas (Kompas, Kamis/ 19/08).
Saya bukan politikus, tetapi dengan kasus digulirkannya wacana masa jabatan Presiden oleh Ruhut, saya jadi belajar lagi soal politik. Belajar apa? Bahwa wacana itu seperti sebuah game. Ada yang kelompok A dan ada kelompok B. Kelompok A berada di posisi setuju dengan amandemen UUD 1945 yang mengizinkan masa jabatan Presiden selama tiga periode, sedangkan kelompok B adalah kelompok opisisi. Ketika “bola” digulirkan –dalam konteks ini wacana Ruhut-, kelompok A dan kelompok B akan bertarung. Jika yang pro sedikit, maka game dimenangkan oleh kelompok B. Sebaliknya kalo ternyata yang mendukung perpanjangan masa jabatan Presiden itu banyak, kelompok A lah yang menang.
Saya memang awam di dunia politik, tetapi saya sedikit bermain logika –meski di politik terkadang tidak perlu menggunakan logika, juga hati nurani. Kalo ada seorang fungsionaris dalam sebuah Partai berani mengeluarkan statement, pasti dia terlebih dahulu sempat ngobrol dengan Ketua Umum-nya, apalagi yang mengeluarkan statement adalah anggota yang dalam sebuah organisasi seharusnya membawa bendera Partai tersebut. Kalo nggak sempat ngobrol dengan Ketua-nya, at least dengan para anggota di Partai yang sama.
Analoginya, ada anak buah di kantor yang mengeluarkan statement. Pasti statement tersebut harus diketahui oleh Direktur Utama perusahaan tersebut, minimal Manager si anak buah itu, ya tidak? Nah, dalam konteks masa jabatan Presiden, Ruhut adalah fungsionaris Partai Demokrat. Anehnya, baik SBY dan Anas yang sama-sama ada di Partai Demokrat tidak setuju wacana Ruhut. Aneh? Di atas kertas memang aneh. Tetapi ini politik. Kita tidak tahu di balik game ini sesungguhnya. Itulah mengapa saya memakai apostrop pada kata “ditolak”. Sebab, kata “ditolak” buat saya masih abu-abu.
Dari Ruhut, kita beralih ke Nugraha Besoes. Buat saya orang ini “luar biasa” juga. Ia menolak keputusan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) yang sudah mensahkan Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) KOI pada 4 Juni 2010 lalu. Penolakan Nugraha, lantaran dalam AD/ART yang sudah ditandatangani oleh Wakil PSSI Max Boboy itu terkandung aturan, bahwa syarat anggota pengurus pusat atau pengurus besar organisasi olahraga nasional tidak pernah tersangkut perkara pidana dan dijatuhkan hukuman berat.
“Waktu itu kami mengajukan keberatan soal pasal tersebut dan minta dihilangkan. Tetapi kemudian aturan itu tetap ada dan disahkan tanpa melalui rapat pleno,” ujar Nugraha (Kompas, Jumat/20/08).
Aturan ini jelas akan menghalangi Ketua Umum PSSI Nurdin Halid dan Ketua Pengurus Besar PASI Bob Hasan untuk mencalonkan diri dan dicalonkan menjadi Ketua periode berikutnya. Sekadar info, masa kepengurusan PSSI akan berakhir tahun depan, yakni 2011 dan PB PASI akan berakhir 2012.
Mantan Ketua Umum PSSI Agum Gumelar berkomentar, bahwa PSSI harusnya tertib aturan. Selain itu, Agum juga mengingatkan pengurus PSSI agar instrospeksi diri. Ia mengatakan, salah satu alasannya mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI adalah, karena gagal membawa tim nasional menjadi juara Piala Tiger. Padahal saat dipegang Agum, pada tahun 2000 dan 2002, tim nasional berhasil duduk sebagai runner up di Piala Tiger.
Senada dengan Agum, tokoh sepakbola nasional Sinyo Aliando juga mengomentari kinerja PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin Halid. Menurut mantan pemain nasional itu, seharusnya PSSI mengedepankan hati nurani jika ingin memperbaiki sepakbola nasional. Saat ini, sepakbola nasional tidak bisa dibanggakan, karena prestasinya terpuruk.
“Jika saya menjadi Pak Nurdin, saya sudah malu dan mengundurkan diri,” ujar Sinyo.
Malu? Nanti dulu. Urat malu kayaknya sudah putus. Sebagai “orang kedua” dalam organisasi PSSI, Nugraha tetap ngotot untuk protes terhadap aturan KOI. Tak heran, rencananya ia akan mengirim surat keberatan kepada KOI. Hebatnya, PSSI tidak akan mengikuti aturan itu jika keberatan ditolak oleh KOI. PSSI, katanya, akan tetap berklibat pada statuta FIFA. “Luar biasa” bukan Nugraha Besoes ini?
Dari dua “kasus” Ruhut dan Nugraha terdapat benang merah yang bisa kita simpulkan. Apakah itu? Seseorang yang tengah berjuang untuk seseorang. Mereka tidak sedang berjuang untuk bangsa Indonesia atau kemajuan persepakbolaan nasional, tetapi berjuang untuk seseorang. Silahkan Anda simpulkan sendiri, siapa seseorang tersebut.
Jika memang berjuang untuk bangsa Indonesia, seharusnya Pasal 7 UUD 1945 dan TAP MPR Nomor XIII/ MPR/ 1998 tidak perlu diamandemen lagi. Benar kata SBY, bahwa jabatan Presiden maksimal cukup dua periode agar bisa membuka kesempatan pemimpin baru. Saya dukung jika SBY benar-benar tulis dan ikhlas mengeluarkan statement itu. Begitu pula dengan AD/ART KOI yang sudah disahkan pada 4 Juni 2010 itu, seharusnya dipatuhi oleh semua pengurus PSSI tanpa tekecuali. Tidak perlu ngotot untuk mempertahankan jabatan, karena demi kemajuan persepakbolaan nasional.
Kalau saja para pemimpin kita terbiasa dengan sikap legowo, bukan tidak mungkin rakyat kita juga akan mencontoh para pemimpin kita itu. Namun seringkali terjadi mis-persepsi soal sikap legowo ini bagi para pemimpin. Bahwa sikap tersebut dianggap sebagai sebuah kekalahan, padahal legowo adalah sikap sesorang yang berjiwa ksatrya.
No comments:
Post a Comment