Entah bisa dikatakan lambat atau memang baru tanggap. Tetapi pemerintah sedang menyiapkan disain besar (grand design) pembangunan di kawasan perbatasan RI dengan negara lain. Setidaknya hal tersebut terungkap dari pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi.
“Grand design pembangunan kawasan perbatasan ini nantinya harus menjadi acuan bagi departemen dan instansi pemerintah,” ucap Gamawan kepada wartawan di Batam (21/08). “Dengan demikian, nantinya tidak boleh ada departemen atau instansi pemerintah yang membuat dan melaksanakan program di luar grand design yang telah ditetapkan.”
Rencananya Mendagri akan mengundang seluruh stakeholder untuk duduk bersama dan membahas program-program yang dititikberatkan pada kesejahteraan masyarakat di perbatasan. Dalam pertemuan itu nantinya akan dirumuskan program dua tahun, lima tahun, duapuluh tahun, sehingga departemen terkait akan mematuhi peraturan ini.
“Masalah perbatasan berkaitan dengan kedaulatan negara,” kata anggota DPR Dr. Ir. Hetifah, MPP mengomentari niat pemerintah menyiapkan grand design pembangunan kawasan perbatasan RI dengan negara lain. “Dengan menjaga kedaulatan, itu sama saja menjaga negara kita tetap menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Menurut Hetifah, seharusnya pemerintah benar-benar concern dengan masalah perbatasan ini. Sampai sekarang, masalah-masalah perbatasan banyak yang belum terselesaikan, terutama dalam hal penegasan batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia.
Tentu apa yang dikhawatirkan Hatifah tidak berlebihan. Tanpa kepedulian pemerintah terhadap perbatasan, tentu konflik-konflik di perbatasan akan terus terjadi, salah satunya mengenai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Seperti kita ketahui, garis perbatasan RI dengan negara tetangga sangat panjang, yakni total 3.332 km. Anehnya, dari 1.000 km rentang perbatasan antara RI dan Malaysia di Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat, baru ada 31 posko sampai 800 km, sedang 200 km lagi masih belum ada posko.
“Bayangkan! Untuk Kaltim saja panjang batasnya lebih dari 1.000 km,” ujar Hetifah yang merupakan anggota DPR RI untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Timur (Kaltim) itu.
Entikong merupakan wilayah RI yang berbatasan dengan Tebedu, Malaysia. Jalur Entikong kerap digunakan para TKI untuk mencapai wilayah Malaysia. Kebanyakan TKI illegal. Dalam sekali keberangkatan, para TKI itu berkelompok dalam 10 hingga 20 orang. Alasan mereka “menyeberangi” perbatasan tak lain karena mudah mendapatan pekerjaan di Malaysia.
Menurut Mendagri, mengenai konflik perbatasan dengan negara tetangga sebenarnya sudah tidak ada persoalan lagi. Yang paling berat justru adalah membangun kawasan perbatasan. Kalau pun ada konflik, lanjut Mendagri, kadang-kadang nelayan tidak membawa GPS.
Tentu apa yang dikatakan Mendagri tidak sepenuhnya benar. Konflik perbatasan belum selesai. Saat ini masyarakat Indonesia sedang marah menghadapi kesewenang-wenangan Malaysia atas penangkapan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepri oleh polisi Malaysia menjelang 17 Agustus lalu. Kemarahan warga Indonesia menimbulkan aski demonstrasi yang kemarin berlangsung, dimana sekelompok demonstran Bendera di depan Kedubes Malaysia di Jakarta menginjak-injak bendera Malaysia dan melemparkan kotoran manusia ke halaman Kedubes Malaysia.
Selain masalah penangkapan DKP, ada masalah lain yang membuat marah masyarakat Indonesia yang membuat hubungan Indonesia-Malaysia sekarang ini rengang, yakni ancaman hukuman mati 177 Warga Negara Indonesia (WNI) di Malaysia. Memang, dari 177 itu sebanyak 142 di antaranya terkena kasus narkoba, sedangkan sisanya terjerat hukuman mati karena kasus pembunuhan dan kepemilikan senjata api. Namun kasus itu tetap menjadi picu kemarahan masyarakat Indonesia.
Kembali soal perbatasan, dalam lokakarya yang belum lama ini dilakukan di Samarinda, Wakil Gubernur Kalimantan Barat memaparkan sejumlah masalah serta rekomendasi. Bersama Badan Pengelola Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK) Provinsi Kalimantan Barat, Wagub mengatakan, selain batas wilayah yang juga menjadi masalah serius
Dalam pemasalahan perbatasan adalah masalah kesejahteraan masyarakat perbatasan. Jika pendapatan rata-rata penduduk Kalbar hanya US$ 700, penduduk Sarawak lebih lima kali lipat, yakni US$ 4.000.
Keterbatasan prasarana dan sarana wilayah juga menjadi masalah di perbatasan. Dengan sarana transportasi, listrik, air bersih, dan telekomunikasi yang minim, wilayah Kalbar diklasifikasikan sebagai wilayah tertinggal. Belum lagi berbicara mengenai presarana maupun sarana pendidikan dan kesehatan. Hal-hal itulah yang membuat seringkali terjadi migrasi penduduk dari batas wilayah Indonesia ke Malaysia.
“Harusnya hal tersebut bisa dicegah,” ungkap Hetifah. “Penanganan masalah perbatasan sudah tidak bisa ditunda lagi.”
Keseriusan Hetifah memperjuangkan rekomendasi dalam lokakarya ini agaknya tidak main-main. Berdasarkan pemaparan Wagub tersebut, yakni hal-hal yang perlu dilakukan, Hetifah berjanji akan mendesak pemerintah agar lebih serius.
“Saya bersama Forum akan menindaklanjuti dengan mengundang departemen terkait,” ucap Hetifah yang juga dikenal sebagai Sekretaris Forum DPR DPD RI Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Timur (Kaltim). “Saya dan Forum juga akan turun langsung ke daerah-daerah di perbatasan itu, sehingga kami bisa menindaklanjuti program serta pendanaan sesuai kebutuhan di perbatasan itu.”
Berkaitan dengan masalah perbatasan, ada data yang mengungkap, bahwa kerugian akibat lemahnya pengamanan di laut dan persoalan batas wilayah Indonesia dengan negara-negara lain diperkirakan mencapai Rp 192 triliun per tahun. Jumlah ini hampir seperlima dari pendapatan APBN 2010.
Jumlah kerugian tersebut adalah dari illegal fishing sebesar Rp 40 triliun, penyelundupan pasir Rp 72 triliun, penyelundupan BBM Rp 50 trliun, dan dari illegal logging mencapai Rp 30 triliun. Itulah mengapa agenda strategis yang harus dilakukan segera adalah mendesak pemerintah Indonesia menyelesaikan perjanjian dengan 10 negara tetangga.
2 comments:
Mereka tinggal jauh dari Jakarta, pusat pemerintahan. Tapi, mereka rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia juga. Masih jauh dari makmur. Tapi, tega-teganya ada yang menilap anggaran pembangunan untuk wilayah yang bersinggungan dengan negara tetangga itu.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), misalnya, menemukan bukti-bukti ketidakvalidan dalam pertanggungjawaban biaya nonpersonel atas jasa konsultan pada Ditjen PUM (Pemerintahan Umum). Jumlahnya mencapai Rp 3,45 miliar. Itu terdapat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan Nomor 9a/HP/XVIII/05/2011 tertanggal 23 Mei 2011.
Pada 2010, Ditjen PUM Fasilitasi Pengembangan Wilayah Perbatasan Dalam Bidang Ekonomi, Budaya, Sosial dan Pembenahan Tanda Batas (kode 06.90.01.0792) yang pengadaan barangnya ditempatkan pada daerah perbatasan Indonesia. Anggaran yang disediakan untuk program itu Rp 124,474 miliar (belanja barang) dan Rp 166,65 miliar (belanja modal)
Pekerjaan itu digarap Direktorat Wilayah Administrasi dan Perbatasan. Sampai tutup buku, anggaran yang terserap untuk belanja barang sebesar Rp99,345 miliar atau 79,81 persen dan belanja modal sebesar Rp139,633 miliar atau 83,84 persen.
Namun, dari anggaran yang terserap itu, BPK melihat ada kejanggalan. Dalam laporan keuangan itu, ditemukan ada Rp3,45 miliar untuk tiga paket pekerjaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya. Dalam laporan keuangan yang diterima BPK, pelaksana proyek tidak bisa menunjukkan bahwa bukti pertanggungjawaban penggunaan anggaran untuk tiga jenis pekerjaan.
Mereka tinggal jauh dari Jakarta, pusat pemerintahan. Tapi, mereka rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia juga. Masih jauh dari makmur. Tapi, tega-teganya ada yang menilap anggaran pembangunan untuk wilayah yang bersinggungan dengan negara tetangga itu.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), misalnya, menemukan bukti-bukti ketidakvalidan dalam pertanggungjawaban biaya nonpersonel atas jasa konsultan pada Ditjen PUM (Pemerintahan Umum). Jumlahnya mencapai Rp 3,45 miliar. Itu terdapat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan Nomor 9a/HP/XVIII/05/2011 tertanggal 23 Mei 2011.
Pada 2010, Ditjen PUM Fasilitasi Pengembangan Wilayah Perbatasan Dalam Bidang Ekonomi, Budaya, Sosial dan Pembenahan Tanda Batas (kode 06.90.01.0792) yang pengadaan barangnya ditempatkan pada daerah perbatasan Indonesia. Anggaran yang disediakan untuk program itu Rp 124,474 miliar (belanja barang) dan Rp 166,65 miliar (belanja modal)
Pekerjaan itu digarap Direktorat Wilayah Administrasi dan Perbatasan. Sampai tutup buku, anggaran yang terserap untuk belanja barang sebesar Rp99,345 miliar atau 79,81 persen dan belanja modal sebesar Rp139,633 miliar atau 83,84 persen.
Namun, dari anggaran yang terserap itu, BPK melihat ada kejanggalan. Dalam laporan keuangan itu, ditemukan ada Rp3,45 miliar untuk tiga paket pekerjaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya. Dalam laporan keuangan yang diterima BPK, pelaksana proyek tidak bisa menunjukkan bahwa bukti pertanggungjawaban penggunaan anggaran untuk tiga jenis pekerjaan.
Post a Comment