Adalah Marky Jahjali. Sutradara lulusan Fakultas
Seni Rupa Insititut Teknologi Bandung (FSDITB) ini berhasil memikat hati
penulis novel kelas dunia, Stephen King. Siapa yang tak kenal penulis
novel kelahiran 21 September 1947 ini?
Dua dari lima orang yang pegang novel di public places
pegang buku King. Pria yang biasa menulis kisah horor, fiksi ilmiah,
dan suspen ini merupakan seorang penulis paling populer di dunia setelah
JK Rowling. King mendapat julukan American Literary McDonald.
Saking laku hasil karyanya itu, novelnya telah menjadi bagian budaya
Amrika. Jika King of Pop itu Michael Jackson, lalu di film Steven
Spielberg, maka di novel fiksi ada King.
Gelar sebagai King of Fiction tak berlebihan. Buku-bukunya sudah terjual sebanyak 350 juta copy. Bahkan King pernah masuk ke dalam Guiness Book of Records sebagai penulis bayaran dengan kontrak termahal. Kontrak terbesarnya saat menulis buku Bag of Bones,
dimana King dibayar lebih kurang Rp 130 miliyar. Tak heran oleh Majalah
Forbes ia dijuluki sebagai penulis dengan pendapatan terbesar kedua
setelah JK Rowling, yakni sekitar Rp 390 miliyar.
Buku-buku King paling banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ia pernah mendapat penghargaan sastra tertinggi America-Medal for Distinguished Contribution to American Letters. Karakter-karakter dalam novelnya sangat kuat, sehingga berhasil memotret kehidupan Amerika.
Novel-novel yang diadaptasi sudah cukup banyak.
Hebatnya, banyak yang masuk nominasi Piala Oscar, bahkan ada yang
meraih Oscar. Sebut saja film Carrie. Film ini berhasil meraih Best Actress, Best Supporting Actress. Lalu film Stand by Me mendapatkan 4 nominasi Oscar; film Shawsank Mile mendapat 6 nominasi; dan film Misery meraih Oscar untuk kategori Best Actress.
Kini, Marky mendapat kepercayaan untuk memfilmkan novel King berjudul The Woman in the Room. Sebuah drama kelam tentang seorang anak, ibu, dan penyakit kanker.
“Aku suka banget dengan cerita the Woman in the Room ini,” jelas Marky memberi alasan mengapa memilih novel King itu. “Aku bisa sangat mendalami sensibilitas cerita dan karakter-karakter di novel itu, karena secara personal aku alami semua.”
Tentu saat mengangkat novel menjadi film,
seorang sutrdara harus membayar hak cipta, sebagaimana
sutradara-sutradara lain. Anda pasti membayangkan Marky membayar hak
cipta dengan harga sangat mahal dari novel King ini. Apalagi the Woman
the Room ini sebelumnya sempat hampir meraih nominasi piala Oscar di
kategori Best Short Movie pada 1980-an. Film pendek itu
disutradarai oleh Frank Darabont, dimana ia sempat meraih piala Oscar
dari film adaptasi novel King berjudul The Shawshank Redemption dan the Green Mile.
“Saya tidak membayar hak cipta sama sekali alias free!” ujar Marky. “Namun ini menjadi tantangan terberat saya.”
Apa yang membuat King membebaskan hak cipta
pada Marky, boleh jadi karena ia sempat berbagi pengalaman diri dan
ibunya. Pada saat mengajukan keinginan membuat film the Woman in the Room, ia menceritakan ibunya yang memiliki penyakit kanker. “Saya mengalami secara emosional saat ibu kita tercabik-cabik dengan penyakit kanker,” ungkapnya.
“Aku bikin proposal tentang ini dan dicoba dikirim,” ujar Marky mengisahkan proses permohonan ke King.
Ia kemudian mengatakan pada King, jika film the Woman in the Room
tidak diputar di bioskop komersial, paling tidak bisa diputar di
festival-festival internasional atau dipertunjukan publik non komersial.
Marky pun menjelaskan, kisah di novel itu bisa dibuat dimana saja,
dengan setting mana pun dengan latar belakang sosio kultural di
Indonesia sekali pun.
“Ternyata aku dapat approval!”
Bloggers, selama ini Marky dikenal sebagai sutradara dari festival film. Sejumlah penghargaan pernah ia raih. Di Jakarta International Film Festival, filmnya Kursinya sempat masuk dalam Nominated for Best Script Award; lalu di South Africa International Film Festival's Top Ten film Kursinya itu pula duduk di posisi 10; di Gannfest, film Lolonii meraih Best Picture Golden Elephant Award; di Festival Film Padjajaran 2011 film Lolonii meraih Best Script Award; film Strangers menjadi one of the 9 official selected movies from 18 countries in Asia Africa Film Festival for competition; film Lolonii dan His Chair menjadi officially selected in Asia Africa Film Festival for non competition category.
No comments:
Post a Comment