“KPI
banyak menemukan pelanggaran terhadap P3 dan SPS KPI tahun 2012 terkait
pelarangan adegan seksual. Pelanggaran yang dimaksud adalah banyaknya
program di berbagai televisi yang menampilkan adegan ciuman bibir (dalam
film, sinetron, pemberitaan, film animasi anak, iklan, promo program,
video klip, dan lain-lain). Terhadap ini, KPI sudah banyak mengeluarkan
surat sanksi administratif terkait pelanggaran tersebut.”
Itulah
surat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bernomor 18/K/KPI/01/13
tertanggal 11 Januari 2013 lalu. Surat tersebut dikirim ke 11 stasiun
televisi nasional, yakni ANTV, Global TV, Indosiar, Metro TV, PT Cipta
TPI, RCTI, SCTV, Trans TV, Trans 7, TV One, dan termasuk televisi milik
pemerintah TVRI.
Memang sungguh ironis TVRI masuk ke dalam televisi
yang melanggar Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) Standar Program Siaran
(SPS) KPI. Kalau televisi swasta, terutama televisi yang menyiarkan
sinetron, tentu bukan rahasia lagi banyak menampilkan adegan seksual
yang memang sangat mengawatirkan. Hampir mayoritas sinetron mengumbar
kebebasan seks di kalangan remaja. Pernah, penulis melihat satu scene,
dimana kedua anak muda berpacaran di ruang tamu. Kedua orangtua mereka
mengintip sepasang remaja itu berpacaran. Bukan marah-marah, justru
mereka gembira melihat anak-anak mereka pegang-pegangan tangan,
berpelukan, dan dianggap romantis.
Seluruh televisi sebenarnya sudah tahu, bahwa ada
ketentuan tentang adegan seksual yang tidak boleh dilanggar, yang
terdapat pada P3 SPS KPI. Itulah mengapa, dalam surat teguran tersebut, KPI Pusat kembali mengingatkan, bahwa ketentuan tentang pelarangan adegan seksual telah diatur dalam P3 dan SPS KPI, yang ada di BAB XII berikut ini:
BAB XII
PELARANGAN DAN PEMBATASAN SEKSUALITAS
Bagian Pertama
Pelarangan Adegan Seksual
Pasal 18
Program siaran yang memuat adegan seksual dilarang:
a. menayangkan ketelanjangan dan/atau penampakan alat kelamin;
b. menampilkan adegan yang menggambarkan aktivitas seks dan/atau persenggamaan;
c. menayangkan kekerasan seksual;
d. menampilkan suara yang menggambarkan berlangsungnya aktivitas seks dan/atau persenggamaan;
e. menampilkan percakapan tentang rangkaian aktivitas seks dan/atau persenggamaan;
f. menayangkan adegan dan/atau suara yang menggambarkan hubungan seks antarbinatang secara vulgar;
g. menampilkan adegan ciuman bibir;
h. mengeksploitasi dan/atau menampilkan bagian-bagian tubuh tertentu, seperti: paha, bokong, payudara, secara close up dan/atau medium shot;
i. menampilkan gerakan tubuh dan/atau tarian erotis;
j. mengesankan ketelanjangan;
k. mengesankan ciuman bibir; dan/atau
l. menampilkan kata-kata cabul.
Bagian Kedua
Seks di Luar Nikah, Praktek Aborsi, dan Pemerkosaan
Pasal 19
(1) Program siaran dilarang memuat pembenaran hubungan seks di luar nikah.
(2) Program
siaran dilarang memuat praktek aborsi akibat hubungan seks di luar
nikah sebagai hal yang lumrah dan dapat diterima dalam kehidupan
bermasyarakat.
(3) Program
siaran dilarang memuat pembenaran bagi terjadinya pemerkosaan dan/atau
menggambarkan pemerkosaan sebagai bukan kejahatan serius.
Bagian Ketiga
Muatan Seks dalam Lagu dan Klip Video
Pasal 20
(1) Program
siaran dilarang berisi lagu dan/atau video klip yang menampilkan judul
dan/atau lirik bermuatan seks, cabul, dan/atau mengesankan aktivitas
seks.
(2) Program
siaran yang menampilkan musik dilarang bermuatan adegan dan/atau lirik
yang dapat dipandang menjadikan perempuan sebagai objek seks.
(3) Program
siaran dilarang menggunakan anak-anak dan remaja sebagai model video
klip dengan berpakaian tidak sopan, bergaya dengan menonjolkan bagian
tubuh tertentu, dan/atau melakukan gerakan yang lazim diasosiasikan
sebagai daya tarik seksual.
Bagian Keempat
Perilaku Seks
Pasal 21
Program
siaran yang menampilkan muatan mengenai pekerja seks komersial serta
orientasi seks dan identitas gender tertentu dilarang memberikan stigma
dan wajib memperhatikan nilai-nilai kepatutan yang berlaku di
masyarakat.
Bagian Kelima
Program Bincang-bincang Seks
Pasal 22
(1) Program
siaran yang berisikan pembicaraan atau pembahasan mengenai masalah seks
wajib disajikan secara santun, berhati-hati, dan ilmiah didampingi oleh
praktisi kesehatan atau psikolog, dan hanya dapat disiarkan pada
klasifikasi D, pukul 22.00-03.00 waktu setempat.
(2) Program
siaran tentang pendidikan seks untuk remaja disampaikan sebagai
pendidikan tentang kesehatan reproduksi dan disajikan dengan cara yang
sesuai dengan perkembangan usia remaja, secara santun, berhati-hati, dan
ilmiah didampingi oleh praktisi kesehatan atau psikolog.
(3) Program
siaran yang berisikan perbincangan atau pembahasan mengenai orientasi
seks dan identitas gender yang berbeda wajib disajikan secara santun,
berhati-hati, dengan melibatkan pihak yang berkompeten dalam bidangnya.
***
Dalam surat teguran
tersebut, KPI meminta kepada semua stasiun televisi agar segera
melakukan evaluasi dan melakukan sensor internal yang lebih ketat pada
semua program untuk menjamin tidak terjadinya pelanggaran serupa.
“Jika masih ditemukan pelanggaran terhadap P3 dan SPS KPI 2012, akan diberikan sanksi administratif,” ujar KPI.
Sanksi administratif itu seperti apa? Seperti salah satunya yang pernah diterima oleh program Was-Was
yang ditayangkan di SCTV. Pada 13 Desember 2012, pukul 05.49 WIB, KPI
menemukan dugaan pelanggaran, yaitu tidak menyamarkan wajah dan
identitas anak laki-laki di bawah umur yang diduga telah menjadi korban
pada pemberitaan terkait dugaan kekerasan yang dilakukan oleh Komedian
Bolot. Hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran, yakni pelanggaran
atas perlindungan anak dan remaja, ketentuan mengenai anak sebagai
narasumber, dan kewajiban menyamarkan wajah dan idenditas dalam program
jurnalistik.
Oleh karena program
Was-Was
telah mendapatkan 2 (dua) kali sanksi administratif, yakni berupa
teguran tertulis dan juga telah melaksanakan tahap klarifikasi pada 3
Januari 2013. Untuk itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (3) SPS
dan hasil Rapat Pleno Komisioner KPI Pusat memutuskan memberikan sanksi
administratif berupa pengurangan durasi 30 (tiga puluh menit) setiap
hari selama 2 (dua) hari.
Jadi jelas, sanksi administratif bisa berupa
teguran tertulis, pengurangan durasi, dan yang paling parah adalah penghentian sementara, dan penghentian seterusnya.