Setiap kali memasuki semester baru, saya selalu exiting. Buat saya, semester baru ibarat membuka lembaran baru, mirip kayak pasangan yang baru melangsungkan akad nikah. Dalam perkuliahan, analogi hidup baru sang pengantin baru itu adanya mata kuliah-mata kuliah baru yang bakal saya dapat.
Benar saja! Pagi ini, saya mendapatkan mata kuliah baru. Film dan Masyarakat, begitu nama mata kuliah yang jumlah SKS-nya 2 ini. Entah para mahasiswa yang ada di kelas sama pikirannya kayak saya atau nggak, namun bagi saya mata kuliah baru ini cukup eye catching. Betapa tidak, saat ini film begitu lekat dengan masyarakat, sebaliknya juga begitu. Masyarakat negeri ini lagi tergila-gila dengan film. Kayak-kayaknya kalo seminggu nggak nonton film, ada sesuatu yang hilang. Perkara cara nontonnya via bioskop atau DVD, itu mah terserah aja sih.
Minggu ini Film dan Masyarakat membahas masalah salah satu film Rusia yang berkisah Rusia paska keruntuhan Sovyet. Kalo saja saya nggak kuliah, barangkali sekelumit tentang sejarah Rusia masa kini, nggak bakal saya ketahui. Selama ini, saya cuma mengetahui soal perkembangan Rusia via media cetak maupun buku-buku. Itu pun kadang membacanya setengah-setengah. Ternyata lebih enak kalo Dosen yang menceritakannya ya?
Ini bukan suasana di Rusia ketika pertama kali Uni Sovyet hancur lebur dipecah belah oleh glasnot dan perestroika buatan Mikhail Gorbachev. Ini suasana di sepanjang jalan Kramat Jati yang kotor setelah pasar di jalanan kelar. Tiap pagi, beginilah ekonomi kerakyatan berlangsung. Bukan antienomi kerakyatan, lho, bos! Tapi kalo suasana kayak begini berlangsung, sampai mati pengguna jalan bakal disusahkan dengan kemacetan yang tiada henti dan sampah-sampah yang bikin banjir itu.
"Kok kuliah film ngobrolin soal politik di Rusia?"
"Lah, kuliahnya kan soal film dan masyarakat? Itu artinya ada hubungan erat antara dunia film dalam sebuah masyarakat."
"Oh begitu ya?"
"Yap! Bahwa ada keterkaitan antara politik dan perkembangan film di negara itu. Nah, kuliah kali ii membahas soal film Rusia. So, yang dibicarakan ya situasi Rusia dewasa ini."
"OK deh!"
Glasnot dan Perestroika ternyata nggak seindah dibayangkan oleh rakyat Rusia. Paska bubarnya Uni Soviet, Rusia mengalami krisis ekonomi. Sampai dengan era Boris Yeltsin, ekonomi Rusia masih morat-marit. Kesenangan sosial dimana-mana. Yang miskin makin miskin. Yang kaya makin kaya. Kaum oligarki mendominasi perekonomian. Kaum ini konon merampok kekayaan negara melalui perusahaan-perusahaan pemerintah yang udah diswastanisasi. Gokilnya lagi, kaum oligarki juga merampok sumbangan Amrik, IMF, maupun World Bank yang seharusnya diberikan pada rakyat Rusia yang berada pada garis kemiskinan.
“Ngomong-ngomong emangnya siapa sih kaum oligarki itu? Mengapa mereka dituduh sebagai Perampok? Memangnya mereka Preman?”
“Bukan Preman, tapi modus operandinya lebih Preman dari Preman!”
Menurut Wikipedia, oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat kaya. Oligarki berasal dari bahasa Yunani: oligon (sedikit) dan arkho (memerintah). Menurut resensi buku Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (Penerbit Routledge Curzon, London and New York, 2004) yang ditulis Dr Priyambudi Sulistiyanto, Assistant Professor Southeast Asian Studies Programme National University of Singapore, di Indonesia oligarki berkembang biak bersamaan dengan lahir dan berkembangnya Orde Baru (selanjutnya Orba).
“Zamannya Soeharto dong?”
“Yo’i!”
Sebelum membahas oligarki di Indonesia, kita bahas dulu oligarki di Rusia. Kata Dosen saya yang baru delapan bulan kembali ke Indonesia setelah tinggal di Rusia selama 9 tahun, cikal bakal oligarki sebagian besar dari kaum Yahudi. Kita tahu, kaum terkenal sebagai kaum palik licik di seluruh dunia. Aktivitas mereka berawal ketika Mikhail Gorbachev mengkampanyekan glasnot dan perestroika sebagai era reformasi Sovyet, dimana ujung-ujungnya membuat Sovyet terpecah-pecah menjadi beberapa negara.
Buat Barat, reformasi yang dilakukan Gorbachev merupakan tindakan luar biasa. Namun buat warga eks Sovyet, tindakan itu merupakan tindakan memecah belah Sovyet. Kalo dianalogikan di Indonesia, reformasi Gorbachev kayak melepaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi beberapa negara bagian. Timor Timur (Timor Leste) adalah salah satu contoh nyata pelepasan NKRI yang udah dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Prof. Ing. Habibie. Timor Timur merupakan kesalahan terbesar yang pernah Indonesia lakukan.
Sejak saya lahir sampai sekarang, Pedagang-Pedagang yang mengambil bahu jalan dan trotoar di sepanjang Jatinegara nggak pernah ditertibkan. Kenapa ya? Apakah pemerintah pro-ekonomi kerakyatan atau pro-mekanisme pasar? Satu hal yang pasti, ekonomi di Indonesia itu ekonomi preman. Nggak boleh lihat halte kosong, dibuatlah kios rokok atau kios majalah. Nggak boleh lihat trotoar nganggur, didirikanlah tenda biru dan jualan makanan atau minuman. Kalo ini disebut sebagai ekonomi kerakyatan, kayak-kayaknya sangat menyebalkan sekali ya? Indonesia nggak akan pernah teratur.
“Kalo di Rusia, Gorbachev itu bisa diludahin,” kata Dosen saya yang kecil mungil kayak cabe rabit itu. “Gara-gara dia, banyak rakyat Rusia makin miskin!”
Begitu Sovyet pecah, banyak warga miskin. You know what? Saking miskin, tentara Rusia konon pernah digaji dengan sayur-mayur, kas negara yang kosong. Di tengah-tengah kemiskinan, Gorbachev menjalankan kebijakan bagi-bagi voucher. Voucher ini diberikan buat semua warga. Satu kepala mendapatkan voucher 10.000 rubel. Tahun 1988, 1 rubel sekitar 4 US$ atau kalo dikurskan dengan rupiah senilai Rp 6000 (dengan harga kurs 1 U$ = Rp 1.500 pada tahun 1988). Jadi kalo dihitung-hitung, 10 rubel setara Rp 15.000.000.
Warga eks-Sovyet yang berdarah Yahudi sangat pintar bisnis dan juga matematika. Mereka ingin memanfaatkan voucher-voucher yang dimiliki warga. Nggak heran kalo mereka putar otak. Dengan kelicikan otak mereka, kelas sosial menengah yang sebenarnya cukup pintar, karena mayoritas bergelar Sarjana atau berpendidikan, bisa dikibuli. Kelas menengah ini nggak ingin voucher mereka cuma ditukarkan duit dan dibelikan kebutuhan sehari-hari. Mereka lebih suka menjadikan voucher sebagai media mereka berinvestasi. Dengan berinvestasi, pikir mereka, voucher mereka bakal berkembang biak.
Orang-orang Yahudi membuat perusahaan-perusahaan fiktif, dimana perusahaan-perusahaan tersebut seolah bekerjasama dengan negara Amrik atau Eropa lain. Siapa yang nggak tertarik melakukan kerjasama dengan perusahaan di luar Sovyet? Nggak heran kalo kemudian kelas sosial menengah mau berinvestasi di perusahaan-perusahaan fiktif itu. Mereka memang nggak mengecek terlebih dahulu, karena udah terlalu antusias berinvestasi. Apalagi bujuk rayu orang-orang Yahudi yang persuasif, membuat kelas sosial menengah klepek-klepek.
“Dimana-mana orang Yahudi memang bikin susah ya?”
“Ya, begitu deh! Makanya nggak heran kalo Hitler ngebet banget membunuh-bunuhi orang Yahudi...”
“Gimana kalo kita melakukan tindakan sebagaimana Hitler pernah lakukan?”
“Hmmm....gimana ya? Dalam agama gw, membunuh itu dilarang. Tapi kalo membunuh Yahudi boleh nggak ya? Nanti gw baca di Kitab Suci dulu ya...”
Begitu mendapat banyak voucher, orang-orang Yahudi kabur. Kelas sosial menengah yang sebelumnya nggak terlalu miskin, akhirnya jatuh miskin. Pemerintah Rusia langsung mengambil alih perusahaan-perusahaan menjadi milik pemerintah. Namun, duit pemerintah pun cekak. Oleh karena itu, pemerintah melakukan privatisasi perusahaan pemerintah, sebegaimana yang pernah dilakukan di masa pemerintahan Presiden Megawati, yakni memprivatisasi Indosat. Nah, privatisasi perusahaan di Rusia itu mengundang orang-orang Yahudi yang kabur membawa voucher kembali ke Rusia. Nggak heran kalo kemudian banyak perusahaan yang diprivatisasi itu dimiliki oleh orang Yahudi. Inilah yang kemudian melahirkan kaum oligarki, orang kaya baru di luar dari orang dari partai politik maupun militer.
Mereka nggak peduli partai mana yang menang. Sing penting buat mereka, siapa partai yang bisa ngasih duit banyak selama kampanye. Mau partai kecil, partai besar, mereka mendapat duit, kaos, plus makan siang. Naik bus, metromini, atau mikrolet ke lokasi kampanye gratis. After kampanye, mereka baru merasakan pilihan mereka tepat apa enggak. Kalo nggak tepat, ya salah sendiri! Lagian nggak lihat track record Pemimpin partainya
Kondisi Rusia yang parah, membuat Vladimir Putin gerah. Nggak heran, begitu terpilih menjadi Presiden tahun 2000, pria ini langsung membuat gebrakan di Rusia. Bukan gara-gara makan di Soto Gebrak, lho! Dia segera mengevaluasi kinerja perekonomian Rusia yang carut-marut. Selain itu, yang menyenangkan mayoritas rakyat Rusia, dia bersama Siloviki bertindak tegas terhadap kaum oligarki.
“Nah, ada istilah baru lagi tuh! Siloviki! Siapa sih Siloviki itu?”
“Siloviki terdiri dari sekelompok politikus Rusia.”
Saat masih Sovyet, politikus-politikus ini adalah personel KGB dan petinggi militer. Siloviki ingin merealisasikan impian “Rusia Besar”. Salah satu tindakan menuju “Rusia Besar” adalah memenjarakan kaum oligarki sebanyak mungkin. Tindakan ini tentu sangat didukung rakyat. Salah satu oligarki Rusia yang dipenjara adalah Mikhail Khodorkovsky. Kebetulan dia memang menentang kebijakan Putin.
Kremlin di bawah Putin menjadi Kremlin yang totally diffrent! Tentu saja, buat mencapai kesuksesan mereformasi ekonomi Rusia, Putin udah punya jam terbang yang cukup lama lah yau. Perjalanan Putin menuju panggung politik Rusia diawali ketika umurnya masih 17 tahun. Ketika saya dan anda masih sibuk mencari-cari bangku kuliah, Putin justru sibuk melamar ke KGB. Toh akhirnya dia ditolak juga, karena belum Sarjana.
Merasa terpacu buat mendapatkan gelar Sarjana agar bisa masuk KGB, Putin berguru di Universitas Leningrad jurusan hukum internasional. Begitu kelar, dia langsung masuk KGB. Pada tahun 1978, dia berhasil jajaran elite KGB, tepatnya di lembaga pelatihan intelijen internasional.
Di bawah pemerintahan Putin, Rusia berhasil lolos dari keterpurukan ekonomi. Meski sempat diterpa isu sebagai kaum oligarki juga, karena memiliki kekayaan 40 miliar dolar AS di luar negeri, namun dia menciptakan pertumbuhan ekonomi, sehingga kemiskinan berkurang. Pada tahun 2006, jumlah pengangguran di Rusia turun dari 8,6 juta menjadi 5 juta. Cadangan devisa Rusia melonjak dari 12 miliar dollar AS pada tahun 1999 menjadi 447,9 miliar dollar AS pada Oktober 2007. Cadangan devisa tersebut konon berasal dari kekayaan minyak yang dimiliki Rusia. Gokilnya, total utang luar negeri Rusia pun berhasil dipangkas. Tinggal sepertiga dari total hutang Rusia tahun 1999, dimana lebih dari 200 miliar dollar AS.
Jangan-jangan Indonesia bisa mencontoh Rusia? Membasmi kaum oligarki terlebih dahulu, membangun ekonomi baru, dan ujung-ujungnya bisa memangkas hutang yang kian hari kian bertumpuk. Tapi ngomong-ngomong siapa kaum oligarki di Indonesia ini sih? Mungkinkah kita memangkasnya?
Ikuti lanjutan kisah oligarki ini di blog ini. Don’t miss ya, cong!
all photo copyright by Brillianto K. Jaya
No comments:
Post a Comment