Menurut Dosen saya yang mengajar mata kuliah Film dan Masyarakat, paska kehancuran Sovyet, ada 4 musuh besar rakyat Rusia. Keempat musuh itu adalah oligarki, tentara, polisi, dan mereka yang non-Rusia. Dalam tulisan ini, saya nggak akan bahas soal mengapa tentara, polisi, maupun orang-orang non-Rusia dimusuhi. Saya cuma mau meneruskan cerita soal oligarki.
“Takut loe sama tentara?”
“Bukan takut, tapi tulisan jadi terlalu panjang...”
“Tapi boleh kan membahas sedikit soal tentara?”
“Begini deh, tentara itu jadi musuh gara-gara mereka menjual peralatan bekas Sovyet yang canggih-canggih itu. Mulai dari menjual senjata, sampai uranium. Cukup sampai di situ ceritanya ya?”
“Baiklah my brother!”
Cerita lalu, Rusia di bawah Putin. Masih ingat? Di bawah Putin, perekonomian Rusia membaik. Rusia mulai memperoleh pujian dari berbagai penjuru dunia. Hebatnya, Rusia menjadi salah satu contoh negara yang sukses tanpa menggantungkan diri pada bantuan IMF. Hebat nggak tuh? Rusia nggak sekadar bangkit dari keterpurukan, tapi berani menantang dominasi Amrik yang seringkali sok membantu negara-negara miskin yang perekonomiannya amblas. Catatan keberhasilan itulah yang menempatkan Putin masuk sebagai Tokoh Dunia tahun 2007 versi majalah Time.
“Indonesia kayaknya perlu belajar banyak dari keberhasilan Rusia, deh!”
“Harusnya begitu!”
“You know what? Di saat Rusia mulai curiga dengan IMF pada tahun 1998, Indonesia justru sangat antusius menerima bantuan IMF.”
“Yo’i!”
“Di saat Rusia menikmati kekayaan dari sektor migas, Indonesia justru mengalami nasib sebaliknya.”
“Yo’i!”
“Tapi masalahnya bisa nggak oligarki kita basmi?”
“Yo’i!”
“Halah!!! Yo’i-yo’i terus sih loe!”
“Habisnya apa dong? Yo’a?”
“Terserah loe aja deh!”
Oligarki di Indonesia kayaknya udah terstruktur alias sistematis. Gara-gara terstruktur, fondasinya udah kuat. Cikal bakalnya dimulai era Orde Baru (selanjutnya Orba). Kita tahu, sistem negara era Orba sangat sentralistis. Oleh karena sentralistik, maka Presiden bisa sewenang-wenang menunjuk Pengusaha yang menjadi mitra dalam pembangunan. Nggak heran kalo Pengusaha-Pengusaha yang dekat dengan kekuasaan menjadi kaya raya. Ini beda banget kala era 70-an, dimana kelompok nasionalis mendominasi kekuasaan. Sementara 80-an, justru kaum kapitalis yang mencoba masuk ke lingkup pemerintah dan menguasai perekonomian nasional.
“Itulah oligarki ala Indonesia!”
Pada tahun 80-an dan 90-an, oligarki mencapai puncak. Kala Indonesia mengalami krisis ekonomi, kelompok teknokrat meminta restu Soeharto buat menjalankan kebijakan deregulasi ekonomi. Deregulasi ini buat mendorong ekspor, meningkatkan investor asing, membangun sektor nonmigas, serta meliberalisasi sektor keuangan.
“Kebijakan deregulasi mengubah perekonomian Indonesia jadi lebih berorientasi ekspor.”
“Bagus dong? Bukankah dengan berorientasi ekspor, kita jadi bisa mengumpulkan cadangan devisi which is dolar kita lebih banyak, ya nggak?”
“Iya sih! Tapi elo kudu perlu tahu kebijakan deregulasi itu ternyata banyak menguntungkan kroni-kroni Soeharto, yang nggak lain nggak bukan Pengusaha-Pengusaha kelas kakap.”
“Apa yang mereka lakukan cong?”
“Mereka memonopoli pasar domestik dengan membentuk kartel-kartel di hampir semua sektor perekonomian, mulai dari beras, terigu, minyak goreng, perbankan, hingga transportasi.”
“Dari hulu sampai hilir?”
“Yap! Sepak terjang mereka didukung oleh kontrol lembaga-lembaga negara yang mengeluarkan semua perizinan dan lisensi buat mereka berbisnis. Akibatnya, kebijakan deregulasi hanya memindahkan monopoli negara (melalui BUMN) menjadi monopoli swasta.”
“Gokil!!!!”
Struktur ekonomi Indonesia yang monopolistis memperparah ekonomi Indonesia. Nggak heran ketika terjadi krisis moneter alias krismon, Indonesia terpaksa harus jadi Pengemis. Selain minta duit ke negara-negara industri Barat dan Asia lainnya, Indonesia juga minta duit dari IMF maupun World Bank.
“Beda banget ya dengan apa yang udah dilakukan Putin saat Rusia terpuruk?”
“Ya gitu deh!”
Krisis menghantam kaum oligarki Indonesia. Hutang-hutang mereka yang semuanya dalam bentuk dolar, membuat mereka sesak nafas. Nggak heran kalo sebagian dari mereka banyak yang gulung tikar. Bagi kaum oligarki yang pintar, mereka langsung menyusup ke partai politik. Mereka bermain politik praktis. Tujuannya nggak lain nggak bukan, agar mereka sebagai kaum oligarki bisa tetap eksis.
Kaum oligarki mencoba beradaptasi dengan kaum reformis. Mereka sok cari muka agar dianggap “orang baik”. Padahal kalo kita lacak track record-nya, merekalah yang membuat fundamental perekonomian kita carut-marut. Hancur lebur. Namun, rupanya masyarakat Indonesia lebih suka menerima duit daripada hati nurani. Jangan heran, rakyat nggak lagi peduli oligarki atau bukan, sing penting bisa hidup. Bisa makan cukup, minum cukup. Bisa sekolah, syukur-syukur bisa gratis.
“Siapa sih yang nggak butuh duit?”
“Iya sih.”
“Rakyat nggak peduli oligarki kek atau neolib kek, sing penting tetap bisa usaha!”
“Iya juga sih.”
“Buat mereka, sing penting jangan pernah mengusir mereka saat dagang di trotoar, bisa aman tentram, dan anak-anak bisa sekolah. Mereka nggak peduli dagangnya di tempat yang bikin Pejalan Kaki jadi terusir. Mereka nggak peduli tiap kali dagang di jalan selalu memberikan biaya siluman ke aparat. Mereka juga nggak peduli dagangan mereka layak dikonsumsi atau enggak, sing penting bisa dimakan.”
“Kayaknya fundamental ekonomi kita lebih banyak dibangun dengan rasa ketidakpedulian ya?”
“Iya kali ya.”
No comments:
Post a Comment