Dua Jawara nampak udah saling berhadapan di sebuah lembah bernama Jagad Pangeran. Lembah ini menjadi saksi bisu atas kematian beberapa Jawara sebelumnya. Nggak heran bau anyir darah tercium begitu menyengat, ketika angin berhembus kencang.
“Andakah si Paksi Sakti Indrawatara yang sangat tersohor itu?” tanya seorang Jawara yang dikenal sebagai Si Mata Malaikat itu.
“Tidak salah. Aku datang untuk menagih hutang nyawa murid-muridku,” papar Jawara satunya lagi yang disebut-sebut sebagai si Paksi Sakti Indrawatara, guru di perguruan silat Elang Sakti.
Tanpa buang-buang waktu, kedua Jawara itu kemudian mengeluarkan jurus-jurus sakti mereka. Paksi Sakti mengeluarkan jurus langkah seribu, yakni berputar-putar mengelilingi Mata Malaikat. Kecepatannya mirip The Flash, superhero Amrik yang bisa lari secepat kilat. Sementara Mata Malaikat cukup menggunakan tongkatnya menghabisi Paksi Sakti dengan satu jurus. Jurus itu dikenal dengan ilmu golok.
Paksi Sakti Indrawatara ambruk.
“Barda anakku, Ayah telah melihat ilmu golok Mata Malaikat adalah ilmu yang membedakan suara,” kata Paksi Sakti menjelang ajalnya. Barda, yang disebut-sebut itu, adalah anak Paksi Sakti. “Hanya orang butalah yang dapat menguasai ilmu itu. Sebelum engkau memecahkan rahasia ilmu tersebut, janganlah berusaha melawannya.”
Sepenggal kisah di atas itu gw ambil dari komik Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes TH sekuel pertama. Komik terbitan tahun 1967 menceritakan tentang asal muasal seorang bernama Barda Mandrawata yang kelak menjadi Si Buta dari Gua Hantu.
Buat elo yang lahir tahun 60-an dan 70-an, nggak mungkin nggak kenal dengan Si Buta. Tokoh ini menjadi ikon Superhero tanah air. Komiknya menjadi komik terlaris pada masa itu dari genre silat, dimana sempat menembus penjualan sebanyak 100.000 eksemplar. Namun popularitas Si Buta ternyata nggak bertahan lama. Artinya, kisah Pendekar yang dalam ceritanya selalu membela kaum lemah dan nggak asal membunuh lawan-lawannya ini, nggak melegenda sebagaimana Superhero asal luar negeri.
“Kenapa ya? Padahal kisah Superhero kita nggak kalah dahsyat dengan Superhero bule-bule itu. Bahkan beberapa Superhero luar negeri asal muasalnya sederhana juga...”
Batman misalnya. Adalah seorang anak Pengusaha bernama Bruce Wayne yang tergerak buat memberantas kejahatan. Latar belakangnya mirip kayak kisah Si Buta. Bruce menyaksikan pembunuhan orangtuanya saat masih kecil. Ketika dewasa, doi membuat berbagai senjata ciptaannya sendiri dan membantu polisi memberantas kejahatan di sekitar Gotham City.
Superhero yang diciptakan oleh seniman Bob Kane dan penulis Bill Finger ini memang mengandalkan kemampuan equipment canggihnya. Di antara Superhero lain, Batman memang lebih realistis. Kenapa? Doi nggak bisa terbang kayak Superman. Selain mengandalkan teknologi tadi, Batman juga memiliki kemampuan sebagai Detektif, fisik yang prima, dan tentu saja kaya raya.
Kisah yang yang diterbitkan oleh DC Comics dan pertama kali muncul di Detective Comics #27 pada bulan Mei 1939 ini, menjadi populer. Saking terkenalnya, Batman dibuat serial televisi akhir tahun 1960-an dan diangkat ke layar lebar pada tahun 1989 oleh Sutradara Tim Burton.
Kalo dilihat tanggal terbit, komik Batman memang lebih dahulu terbit daripada Si Buta (1967). Ini artinya apa? Artinya usia Batman lebih tua. Meski tua, namun popularitas Batman masih dikenal sampai kini. Kalo kita tanya anak-anak generasi abad 20-an, nama Batman masih tetap menjadi ikon Superhero. Superhero baru memang banyak muncul. Namun Batman tetap legend, Cong! Sementara Si Buta? Meski udah dicetak ulang pada bulan Januari 2005, popularitas Si Buta belum bisa menandingi popularitas Batman.
Buat gw Polisi masuk kategori Pahlawan juga, lho! Biar nggak ada sayap dan nggak pake kolor di luar celananya, Polisi selalu menangkap mereka yang melanggar peraturan lalu lintas. Gw paling senang kalo Polisi lagi tangkap Pengendara sepeda motor yang nggak pake helm dan mengendarai motor di jalur cepat. Gw juga paling senang kalo Polisi berani menilang mobil-mobil yang menggunakan bahu jalan di jalan tol. Hati gw berkata buat kasus-kasus itu: "Biar mampus!"
Nggak cuma Si Buta yang mengalami nasib kalah pamor. Ada Gatot Kaca yang juga bernasib sama. Kalah hebat apa sih Gatot Kaca dibanding Superman? Pria berkumis tebal dengan seragam wayang ini bisa terbang dengan menggunakan medium kutang ontrokusumo, sedang Superman menggunakan medium sayap merah. What else? Gatot Kaca kebal terhadap segala jenis senjata (baca: antipeluru), dan bertulang baja berotot kawat. Superman juga demikian, tahan segala macam senjata, termasuk peluru.
Superhero terakhir yang akan diangkat ke film tahun 2009 ini adalah Gundala Putra Petir. Memang harus diakui, tokoh komik yang diciptakan oleh seniman Yogya: Hasmi dan populer di era tahun 70-an ini, mirip banget dengan kisah The Flash. Yakni seorang Peneliti yang mengalami kejadian saat melakukan penelitian. Tabung kaca pecah sehingga menyebabkan dirinya memiliki kekuatan super, dalam hal ini bisa mengeluarkan kilat. Selain kemampuan mengeluarkan kilat, Gundala bisa melesat dengan cepat, secepat kilat. Mirip The Flash bukan?
Saat ini, nggak ada lagi Superhero lokal yang populer di dunia anak-anak. Coba tanyakan anak-anak elo, siapa Superhero favorit? Gw yakin 99% akan menyebut nama-nama Superhero bule. Kalo nggak Superman, ya Batman. Kalo nggak Spiderman, ya Captain Amarica. Jarang terajadi, anak-anak kita menyebut Superhero kayak Gatot Kaca, Si Buta, atau Gundala Putra Petir.
Sedihkan?
Tergantung. Kalo kita masih mengaku Warga Negara Indonesia yang baik, gw rasa ada rasa bersalah dengan kondisi “Lost Superhero” ini. Kita kehilangan Superhero-Superhero lokal. Gw nggak tahu siapa yang harus bertanggungjawab dengan keadaan ini. Gw yakin banget, Seniman-Seniman komik di seluruh daerah udah berusaha membuat karakter Superhero. Namun entah kenapa, pasar komik atau pasar Superhero lebih memilih Superhero bule. Padahal coretan-coretan para Seniman komik Tanah Air udah keren abis. Meski banyak yang mencontoh coretan ala komik import, namun gw yakin hal tersebut dalam rangka menarik simpati pasar komik yang sekarang banyak dimonopoli oleh komik Jepang.
Soal cerita, komik lokal juga nggak kalah hebring. Bahkan komik kayak Kapten Bandung juga gokil abis ceritanya. Dengan teknik bercerita serta visualisasi ala komik import, Kapten Bandung mencoba merebut pasar. Bahkan gw yakin banget, dengan kemajemukan Penduduk Indonesia, serta adat istiadat dan kondisi alam yang rupawan, bisa menjadi kekuatan komik itu sendiri. Ternyata cukup ngos-ngosan atau banyak energi ekstra buat mengalahkan pasar komik DC.
Sometimes yang membuat komik lokal asing di Negeri sendiri, gara-gara beberapa orangtua yang mendorong anak mereka menyukai komik import. Dengan begitu, Superhero yang disukai sang orangtua, jadi diduplikasi anak mereka. Bapaknya suka Superman, anaknya meski belum tentu suka, tapi lebih ketimbang Superman daripada Gundala Putra Petir. Kalo alasannya karena komik lokal nggak ada, ya nggak begitu juga. Kalo saja para orangtua bisa mengajarkan anak mereka menyukai komik lokal, mungkin akan muncul Superhero lokal baru.
“Where my Superhero today? I miss you so much....”
Yakin banget, bukan cuma gw yang kangen dengan eksistensi Superhero lokal. Ada banyak orangtua yang juga kangen memiliki sosok Pahlawan asli dalam negeri. Tentu orangtua yang dimaksud adalah orangtua yang masih punya kepekaan terhadap hilangnya Superhero lokal. Mereka muak dengan peredaran komik-komik Jepang. Gw termasuk orang yang nggak suka dengan eksistensi komik Jepang. Kenapa? Nggak cukup buat menjelaskan di note ini. Anyway, Superhero lokal harus muncul. Meski cuma kelas lokal, namun ada kebanggan bagi Negeri ini punya ikon yang selalu membela rakyat, memberantas kejahatan, dan mengangkat derajat kaum lemah. Don’t you?
No comments:
Post a Comment