Kalo boleh kita jujur, satu dari sekian Manusia Indonesia yang seharusnya layak jadi Presiden, ya Iwan Fals. Why? Bukan berdasarkan pilihan impulsif, bukan pula tanpa bukti. Selama ini, Iwan udah membuktikan diri, menjadi sosok yang mewakili kaum marjinal. Kaum dimana selalu mendapatkan perlakuan nggak adil, selalu ditindah, tergusur, dan masalah-masalah wong cilik lain.
Dengan konsisten, Iwan berhasil merangkul mayoritas Manusia buat mendapatkan simpati. Bukan simpati basa-basi. Tapi simpati yang tulus dan ikhlas. Lewat suara paraunya yang katanya fals, tapi sesungguhnya nggak fals-fals amat itu, Iwan udah menjadi ikon rakyat tertindas sejak puluhan tahun lalu. Tepatnya di tahun 70-an.
Memang sih, Iwan bukan politisi atau praktisi politik. Doi cuma sosok Seniman yang bergerak via musik. Memang sih, doi bukan Manusia yang dikreasikan buat melakukan diplomasi, sehingga tutur kata bisa menjadi lembut meski content-nya terdengar nyinyir atau kritis. Iwan adalah Iwan. Maksudnya, doi bercerita apa adanya. Memotret realita yang udah terjadi puluhan tahun. Perhatikan semua lirik lagunya, salah satunya lagu “Mak” ini.
Kata ketiga putra putrinya
Yang tidak tahu bahwa Ayahnya terkena musibah
Si Ibu bingung harus menjawab apa
Menangis dia
Terbayang jelas wajah suaminya
Dan terpikir soal biaya pengobatan suaminya
Yang terlalu mahal bagi ukuran pekerja kasar
Terngiang jelas permintaan putra putrinya
Yang tak mungkin bisa terkabulkan
Si Ibu bingung harus bagaimana
Menangis dia
Dalam kalut
Ia selalu mengharap uang mandor suaminya
Untuk keperluan anaknya
Untuk biaya pengobatan suaminya
Tapi si mandor pelit
Waktu si Ibu meminta pertolongan si mandor suaminya
Yang rupanya mandor itu bandot tertawa genit
Dalam otak si Ibu terselip
Pikiran yang sangat sempit
Sebab keluarga yang saya ceritakan itu pailit
Dan amat sangat memerlukan duit
Dengan perantara tubuh molek si Ibu
Keperluan anaknya dan biaya pengobatan suaminya
Bisa terpenuhi
Si Ibu tersenyum
Melihat keluarganya bisa kembali seperti semula
Sekalipun hati si Ibu amat tersiksa
Lirik lagu “Mak” dari album “Perjalanan” ini udah dibuat tahun 1979. Itu artinya, lagu itu udah ada zaman Presiden-nya masih Presiden ke-2: Soeharto. Di lagu itu, Iwan udah mengkritisi soal biaya pengobatan yang mahal, sehingga warga miskin nggak mampu lagi pergi ke Dokter, Puskesmas, apalagi sampai dirawat di Rumah Sakit. Walhsasil, demi mengobati sang suami, demi permintaan-permintaan anak-anaknya, si Emak merelakan diri jadi Wanita Tuna Susila (WTS).
Banyak banget lagu Iwan yang memotret realita yang terjadi. Nggak cuma lagu “Mak” itu. Di seluruh albumnya, pasti nafas kerakyatan, selalu doi nyanyikan. Inilah yang membuat rakyat jadi terwakili oleh doi. Hebatnya, (sekali lagi) sindiran-sindiran yang dituangkan dalam lagu, udah ada sejak dahulu kala sampai kini. Dahulu kala yang dimaksud kala zaman rezim Orba masih berkuasa. Artinya apa? Iwan udah lama berani berteriak soal ketidakadilan, kemakmuran rakyat, soal hati nurani. Gokil nggak, cin?!
Look now?
Caleg-Caleg plus Capres-Capres sekarang sok berani. Sok moralis. Sok punya hati nurani. Sok membela rakyat kecil atawa wong cilik. Mereka baru berteriak ketika rezim kediktatoran udah tumbang. Ketika Presiden Soeharto udah nggak lagi punya kekuatan. Apalagi sekarang pas udah mangkat, wah teriakan mereka makin menjadi-jadi, cin! Makin nyaring! Kemana aja mereka waktu dulu ya? Waktu Iwan Fals menciptakan lagu “Mak” tahun 1979? Waktu Iwan Fals mengkritisi Wakil Rakyat tahun 1987?
Rakyat terlalu bego. Terlalu tolol buat melihat masa lalu yang compang-camping. Memang betul sih, kita disarankan nggak boleh menengok masa lalu kalo mau maju. Istilahnya, don’t ever look back to the future. Tapi kata Presiden Soekarno: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”. Apa maksudnya? Maksudnya, harusnya rakyat lihat siapa Manusia-Manusia yang pernah menindas mereka, menggusur rumah mereka, menembak mati anak-anak mereka, menculik saudara mereka, mem-PHK ayah mereka, memenjarakan orangtua kita yang dianggap PKI, dan menghancurkan sumber daya alam Indonesia ini.
Ah, rakyat terlalu tolol buat mengingat masa lalu! Mereka lebih suka berpikir praktis. Mengisi perut mereka yang keroncongan dengan sogokan uang 20 ribuan sampai 100 ribuan buat jadi peserta Kampanye. Memilih Caleg-Caleg yang bakal menghidupkan lagi masa lalu yang suram. Yakni Caleg-Caleg yang mendukung Capres-Capres basi. Yang nggak konsisiten: dahulu menjilat-jilat Presiden Soeharto, sekarang sok kontra. Dahulu hidup di negeri orang, sekarang kembali lagi dan sok dekat dengan wong cilik. Ada juga Partai yang sebelumnya protes soal Bantuan Tunai Langsung (BLT), eh sekarang jadi pro BLT dalam rangka upaya cari masa. Dasar! Begtulah Capres-Capres kita, yang nggak ada apa-apanya dibanding perjuangan Iwan Fals.
Namun sayang, nggak akan mungkin Organisasi Iwan (OI) bisa meneriakkan Iwan for Presiden, sebagaimana Deddy Mizwar yang nekad mencalonkan diri jadi Presiden. Kita semua tahu, seorang Capres kudu berasal dari Partai Politik. Sungguh sulit mencalonkan Capres dari kalangan independen. Padahal kalo dihitung, mungkin OI relatif lebih banyak daripada Partai-Partai gurem peserta Pemilu. Yang setelah Pemilu ini bakal dipecat-pecatin gara-gara nggak ada yang milih.
Tapi mungkin harus begitu kali ya? Sometimes ada sosok yang jauh dari circle of influence atau kekuasaan, sehingga bisa konsisten memperjuangkan isu kerakyatan dan kemiskinan. Sometimes ada Manusia-Manusia ambisius yang harus duduk di kursi empuk pemerintahan. Dengan begitu, Iwan akan tetap eksis jadi Presiden-nya wong cilik yang sesungguhnya.
All photos copyright by Brillianto K. Jaya
Inilah beberapa lagu Iwan Fals yang saya suka, dimana lagu-lagu ini saya ambil dari tayangan 1 Jam Bersama Iwan Fals: From Past to Present di Indosiar yang saya upload dari YouTube. Selamat menikmati...
No comments:
Post a Comment