Industrialisasi rupanya mendesak para Bangsawan di Inggris memutarkan modal mereka. Ini terjadi di abad 17. Mereka yang sebelumnya memiliki tanah pertanian, justru ingin mengangkat kembali industri rumahan ke industri pabrikan.
Kenapa begitu?
Kerajinan pakaian wol di Inggris abad itu begitu berkembang. Permintaan (baca: demand) pakaian jenis ini meningkat luar biasa. Sayang, untuk memenuhi demand harus sebanding dengan produksi pakaian yang terbuat dari bulu domba ini. Oleh karena pengrajin pakaian wol berasal dari home industry atau industri rumahan, maka produksinya pun terbatas jumlahnya. Jika harus dipaksakan sesuai target bahkan melebihi target, ini berbahaya untuk kualitas produksinya.
So what happen next?
Para Bangsawan melihat peluang beternak domba untuk dijadikan komoditi wol sangat besar. Tak heran, sawah-sawah yang dahulu dimiliki kaum Ningkrat ini, disulap menjadi padang rumput untuk mengembalakan domba. Rupanya Bangsawan lebih terarik putar haluan, dari bisnis pertanian atau perkebunan ke peternakan. Selain peternakan, kaum bangsawan mendirikan pabrik-pabrik pemintalan wol.
Pendirian pabrik-pabrik yang dikenal dengan manufaktur ini menjadi titik utama dalam Revolusi Industri yang terjadi di Inggris abad ke-17. Dengan “berakhirnya” pertanian dan berdirinya manufaktur, dibutuhkan Buruh-Buruh yang bekerja. Sebagian Buruh berasal dari mantan Pentani.
Revolusi Industri mula-mula memang hanya berkembang di Inggris. Di Perancis, Revolusi Indusri mulai terjadi sejak tahun 1852, begitu juga di Belgia. Meski di Inggris sudah terjadi abad ke-17, di Eropa Tengah justru sampai dengan pertengahan abad ke-19, industri belum berkembang cepat.
Bagaimana di negara-negara lain?
Revolusi Industri sudah terjadi sejak tahun 1848 di negara Austria dan Praha, lebih tepatnya di kota Wina, Praha, dan Berlin. Di Jerman, industri bergerak cepat tahun 1870. Sementara di Italia, Rusia, dan Spanyol baru berkembang kira-kira tahun 1890. Di Asia, industri baru terlihat pada abad ke-19, terutama di Jepang. Revolusi Industri di Jepang setelah terjadi Restorasi Meiji.
Meski Bangsawan punya modal, namun yang menggerakkan roda perekonomian saat terjadinya Revolusi Industri adalah kelas menengah. Dengan modal para Bangsawan, kelas-kelas menengah ini bekerja keras. Walhasil, mereka kemudian menjadi Pengusaha-Pengusaha sukses. Otomatis rangking dari kelas menengah meningkat jadi Orang Kaya Baru (OKB).
Ini salah satu OKB. Tapi sok merendah dengan menggunakan Onthel tiap hari ke kantor. Padahal Mercy di rumah bertumpuk. Padahal Jagguar di gudang udah kepenuhan. Padahal mobil Hammer-nya lagi dipinjam buat jemput Nia Ramadhani. Tapi sayang, semua mobil itu bukan milik sah OKB ini.
Oleh karena kelas menengah naik derajat, maka kelas tersebut diisi oleh kelas bawah. Dari sinilah mulai terjadi budaya baru yang disebut Clement Greenberg sebagai Popular Culture atau Kebudayaan Populer (selanjutnya disingkat Pop Culture). Kenapa? Kelas bawah yang masih unculture alias “belum berbudaya” tak bisa meniru kelas atas. Satu-satunya yang terjadi memadukkan budaya sebelumnya yang disebut Folk Culture. Folk sendiri sesungguhnya “ndeso” atau “kampung”. Jadi yang dimaksud Folk Culture adalah Budaya Ndeso.
Ternyata alkulturasi budaya ini menghasilkan sesuatu yang “berharga”. Meski budaya baru (baca: Pop Culture) ini justru menghilangkan orinilalitas-nya. Rupanya, kelas menengah memang ingin menguasai semua. Maksudnya, ingin menguasai elit yaitu kaum Bangsawan, namun juga ingin menguasai kelas bawah. Intinya, kebudayaan yang kelas menengah lakukan ingin diterima oleh semua kalangan.
Ciri-ciri Folk Culture adalah menjaga keorisinalitasannya. Ini lantaran masyarakat yang mimiliki budaya setempat sudah mensepakati aturan, tata krama, maupun adat istiadat tersebut. Sudah dipastikan budaya ini tak bisa dipengaruhi atau mempengaruhi budaya dari daerah lain. Jika ada orang asing yang coba-coba “menembus” budaya setempat, orang asing ini pasti akan kikuk.
Sementara itu Pop Culture lebih fleksible. Ibaratnya lebih demokratis. Hal tersebut terjadi karena pop culture ingin diterima oleh semua kalangan. Intinya, semakin dipahami banyak orang, semakin baik. Tak heran, unsur orisinalnya tidak dijaga 100%. Namun begitu, bagian-bagian yang masih nampak dari budaya setempat, tidak ditinggalkan, sehingga ciri khas nampak.
Apa contoh budaya Folk Culture yang kemudian berubah menjadi Pop Culture?
Salah satunya Ronggeng Dukuh Paruk. Kesenian ini aslinya dianggap porno. Maklumlah, Ronggeng merupakan tarian pergaulan yang erat kaitan dengan seks. Ada seorang Penari, dimana Penari tersebut mengajak Penonton menari. Jika Penonton tertarik, si Penari bisa diajak bekencan (baca: melakukan hubungan seks). Kisah mengenai kehidupan Ronggeng ini sempat dibuatkan novel oleh Ahmad Tohari berjudul “Ronggeng Dukuh Paruk”.
Tradisi Cina bisa disebut sebagai tradisi original apa nggak ya? Kayak-kayaknya setelah alkulturasi, originalitasnya udah hilang deh...
Ronggeng tak mungkin bisa menjadi komoditas populer jika harus “dipasarkan” ke seluruh segmen. Bagi daerah dimana Ronggeng muncul, yakni Jawa Tengah, barangkali tarian eksotis seperti itu tak masalah. Namun bagi Wisatawan dari daerah lain, yang memiliki nilai religi cukup tinggi, Ronggeng pasti tak laku. Dari sinilah tugas Pop Culture mengolah Ronggeng dari budaya ndeso menjadi budaya yang diterima oleh mayoritas orang.
Selain Ronggeng, banyak budaya ndeso yang terpaksa harus disulap menjadi budaya pop. Entah ini dilakukan akibat dekadensi budaya setempat atau memang pengaruh uang. Maksudnya, dengan mengemas Folk Culture menjadi Pop Culture, jumlah penikmat akan semakin banyak. Ujung-ujungnya komersialitas jadi berbicara. Bicara soal komersial, bicara uang. Akhirnya, ada nilai kapitalisme di situ, meski persentasenya 10% atau lebih. Sekarang persoalannya, apakah kita siap membiarkan unsur orinisalitas hilang demi Pop Culture ini? Let’s think!
No comments:
Post a Comment