Friday, October 12, 2012

Sutradara Indonesia Memfilmkan Novel Stephen King

Adalah Marky Jahjali. Sutradara lulusan Fakultas Seni Rupa Insititut Teknologi Bandung (FSDITB) ini berhasil memikat hati penulis novel kelas dunia, Stephen King. Siapa yang tak kenal penulis novel kelahiran 21 September 1947 ini?

Dua dari lima orang yang pegang novel di public places pegang buku King. Pria yang biasa menulis kisah horor, fiksi ilmiah, dan suspen ini merupakan seorang penulis paling populer di dunia setelah JK Rowling. King mendapat julukan American Literary McDonald. Saking laku hasil karyanya itu, novelnya telah menjadi bagian budaya Amrika. Jika King of Pop itu Michael Jackson, lalu di film Steven Spielberg, maka di novel fiksi ada King.

Gelar sebagai King of Fiction tak berlebihan. Buku-bukunya sudah terjual sebanyak 350 juta copy. Bahkan King pernah masuk ke dalam Guiness Book of Records sebagai penulis bayaran dengan kontrak termahal. Kontrak terbesarnya saat menulis buku Bag of Bones, dimana King dibayar lebih kurang Rp 130 miliyar. Tak heran oleh Majalah Forbes ia dijuluki sebagai penulis dengan pendapatan terbesar kedua setelah JK Rowling, yakni sekitar Rp 390 miliyar.

13487939511702931099

Buku-buku King paling banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ia pernah mendapat penghargaan sastra tertinggi America-Medal for Distinguished Contribution to American Letters. Karakter-karakter dalam novelnya sangat kuat, sehingga berhasil memotret kehidupan Amerika.

Novel-novel yang diadaptasi sudah cukup banyak. Hebatnya, banyak yang masuk nominasi Piala Oscar, bahkan ada yang meraih Oscar. Sebut saja film Carrie. Film ini berhasil meraih Best Actress, Best Supporting Actress. Lalu film Stand by Me mendapatkan 4 nominasi Oscar; film Shawsank Mile mendapat 6 nominasi; dan film Misery meraih Oscar untuk kategori Best Actress.

Kini, Marky mendapat kepercayaan untuk memfilmkan novel King berjudul The Woman in the Room. Sebuah drama kelam tentang seorang anak, ibu, dan penyakit kanker.

“Aku suka banget dengan cerita the Woman in the Room ini,” jelas Marky memberi alasan mengapa memilih novel King itu. “Aku bisa sangat mendalami sensibilitas cerita dan karakter-karakter di novel itu, karena secara personal aku alami semua.”

Tentu saat mengangkat novel menjadi film, seorang sutrdara harus membayar hak cipta, sebagaimana sutradara-sutradara lain. Anda pasti membayangkan Marky membayar hak cipta dengan harga sangat mahal dari novel King ini. Apalagi the Woman the Room ini sebelumnya sempat hampir meraih nominasi piala Oscar di kategori Best Short Movie pada 1980-an. Film pendek itu disutradarai oleh Frank Darabont, dimana ia sempat meraih piala Oscar dari film adaptasi novel King berjudul The Shawshank Redemption dan the Green Mile.

Saya tidak membayar hak cipta sama sekali alias free!” ujar Marky. “Namun ini menjadi tantangan terberat saya.”

Apa yang membuat King membebaskan hak cipta pada Marky, boleh jadi karena ia sempat berbagi pengalaman diri dan ibunya. Pada saat mengajukan keinginan membuat film the Woman in the Room, ia  menceritakan ibunya yang memiliki penyakit kanker. “Saya mengalami secara emosional saat ibu kita tercabik-cabik dengan penyakit kanker,” ungkapnya.

Aku bikin proposal tentang ini dan dicoba dikirim,” ujar Marky mengisahkan proses permohonan ke King.

Ia kemudian mengatakan pada King, jika film the Woman in the Room tidak diputar di bioskop komersial, paling tidak bisa diputar di festival-festival internasional atau dipertunjukan publik non komersial. Marky pun menjelaskan, kisah di novel itu bisa dibuat dimana saja, dengan setting mana pun dengan latar belakang sosio kultural di Indonesia sekali pun.

Ternyata aku dapat approval!”

Bloggers, selama ini Marky dikenal sebagai sutradara dari festival film. Sejumlah penghargaan pernah ia raih. Di Jakarta International Film Festival, filmnya Kursinya sempat masuk dalam Nominated for Best Script Award; lalu di South Africa International Film Festival's Top Ten film Kursinya itu pula duduk di posisi 10; di Gannfest, film Lolonii meraih Best Picture Golden Elephant Award; di Festival Film Padjajaran 2011 film Lolonii meraih Best Script Award; film Strangers menjadi one of the 9 official selected movies from 18 countries in Asia Africa Film Festival for competition; film Lolonii dan His Chair menjadi officially selected in Asia Africa Film Festival for non competition category.

Thursday, October 11, 2012

Surat Imbauan Komisi Penyiaran Indonesia untuk Seluruh Direktur Utama TV

Sehubungan film Innocence of Moslems, pada 17 September kemarin, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengeluarkan surat yang ditujukan kepada seluruh Direktur Utama stasiun televisi, baik swasta maupun TVRI. Surat bernomor 549/K/KPI/09/12 itu ditandatangi langsung Ketua KPI, Mochamad Riyanto. Ada 4 poin yang wajib ditaati oleh ke-10 televisi swasta dan juga TVRI.

1348025248818290591
 Berikut poin-poin imbauan dalam surat KPI:
1. 
 Lebih sensistif dan berhati-hati dalam pembuatan/ penayangan berita atau informasi yang berhubungan dengan film tersebut.
2. Tidak menampilkan cuplikan adegan film tersebut dan/ atau membahas topic tersebut dengan berpedoman pada Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) Komisi Penyiaran Indonesia 2012.
3. Program siaran dilarang berisi serangan, penghinaan, dan/ atau pelecehan terhadap pandangan dan keyakinan antaragama, menghargai etika hubungan antarumat beragama, serta tidak menyajikan perbandingan antaragama.
4. Agar menjadikan P3 dan SPS KPI 2012 sebagai acuan utama dalam menayangkan program siaran.

Imbauan KPI ini tentu sangat baik untuk bisa menentramkan kemarahan umat Islam agar tidak terprovokasi untuk melakukan tindakan anarkis. Meski sifatnya imbauan, namun tentu saja seluruh stasiun televisi wajib menjalankan ke-4 poin KPI tersebut di atas.

Membalas Film Ecek-Ecek "Innocence of Muslims", Film Rasulullah SAW Berbiaya 4 Trilyun Bakal Diproduksi

Noor Qatar, sebuah grup milik konglomerat asal Qatar akan melanjutkan proyek memproduksi film tentang Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam. Sebagaimana penulis kutip via situs al-intima.com, kualitas film ini nantinya bakal sekelas film-film papan atas Hollywood, baik dari seni maupun gambarnya. Tentu saja jauh dibanding kualitas film Innocence of Muslims yang ecek-ecek secara artistik dan alur cerita itu.

Saat ini, film berbiaya produksi senilai 450 dollar US atau sekitar 4 triliyun perak ini sedang dalam tahap akhir penyelesaian penulisan skenario. Menurut rencana, film yang belum diberi judul ini akan menggunakan bahasa Inggris dan akan diperankan oleh para aktor muslim yang fasih berbahasa Inggris.

Tidak seperti Innocence of Muslims, film produksi Noor Qatar ini benar-benar digarap setelah mendapatkan arahan dari para ulama ternama di dunia Islam. Sebab, nantinya film ini akan ditujukan untuk semua kalangan, tak terkecuali non muslim di seluruh dunia. Tak heran jika film ini akan diterjemahkan ke dalam 6 bahasa.

Yang pasti, film produksi Noor Qatar ini tetap tidak akan menampilkan wajah Rasulullah SAW. Sebelumnya, Sutradara asal Iran, Majid Majidi juga ingin memproduksi film layar lebar tentang Rasulullah SAW. Namun keinginannya sampai saat ini terganjal dengan beberapa fatwa. Fatwa yang terbaru dikeluarkan oleh Al-Azhar adalah mengharamkan visualisasi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shahabat yang mulia.
Meski demikian, sutradara Iran yang namanya meroket setelah menyutradarai film laris Children of Heaven ini tetap ngotot akan memfilmkan Rasulullah SAW. Sebelum memfilmkan Rasulullah SAW, Majidi, sang sutradara, telah membandingkan lebih dari 200 film tentang Yesus Kristus, lebih dari 100 film tentang Nabi Musa, sedangkan tentang sejarah nabi Muhammad hanya diproduksi satu film dalam kurun 40 tahun terakhir. Selain itu, ia juga melihat stasiun televisi Al-Manar di bawah Hizbullah, boleh menyiarkan film tentang Nabi Yusuf dengan dubbing bahasa Arab selama Ramadhan lalu. Di film itu, Nabi Yusuf diperankan oleh aktor Iran Musthafa Zamani.

Hal inilah yang menuai protes dari berbagai pihak di antaranya seperti yang diberitakan koran Kuwait Al-Wathan bahwa telah ada kesepakatan di antara sumber-sumber fiqih rujukan setingkat dunia Islam tentang larangan visualisasi pribadi Rasulullah SAW, bahkan menurut undang-undang Kuwait dianggap sebagai tindak kriminal.

Kenapa Majidi ngotot dan mengabaikan seluruh undang-undang visualisasi wajah Rasulullah SAW, padahal nasibnya bisa seperti sutradara film Innocence of Muslims? Barangkali salah satunya, dialah yang ingin memerankan tokoh Rasulullah SAW di film itu.