Saturday, January 28, 2012

STAND UP COMEDY INDONESIA MENCARI BENTUK

Fenomena stand up comedy (SUC) yang belakangan ini muncul, memang cukup menarik. Betapa tidak, salah satu bentuk komedi ini tak cuma berkembang di kota-kota besar, tetapi juga berkembang di sejumlah daerah. Sebut saja Balikpapan, Makassar, Pontianak, Manado, dan sejumlah daerah di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Ini terbukti dengan meningkatnya jumlah komunitas SUC serta sejumlah event yang menampilkan comic baru lewat open mic di kafe-kafe di seluruh Indonesia. Namun apakah SUC yang saat ini muncul di televisi sudah mencerminkan SUC Indonesia?

Jelas, tak ada SUC Indonesia. Kita tahu, SUC bukan made in Indonesia. SUC adalah bentuk komedi yang berasal dari Eropa dan Amrik dari abad ke-18 ini. Meski begitu, bukan berarti kita (baca: para comic) bisa dijiplak mentah-mentah SUC sebagaimana biasa dimainkan di luar negeri.

Oleh karena itu, saat ini saya sedang merumuskan stand up comedy Indonesia,” ujar pemilik Comedy Cafe dalam sebuah workshop SUC yang berlangsung di Metro TV pada 27 Januari 2012 lalu.

Sebagai televisi yang saat ini menjadi “kiblat” SUC di Indonesia, Metro TV membuat workshop bertema: “Fenomena Stand Up Comedy di Indonesia”. Tujuan dari workshop ini adalah memberikan pemahaman tentang SUC, mulai dari sejarah dan perkembangan di Indonesia. Dalam kesempatan workshop tersebut, hadir pula Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah ini hadir dalam kapasitas sebagai pengamat sosial dan budaya. Kebetulan UIN Syarif Hidayatullah sendiri adalah kampus yang pertama kali mengadakan workshop SUC pertama dan membentuk komunitas SUC.

Menurut Komaruddin tidak semua materi bisa dibawakan oleh para comic. “Di luar negeri mungkin segala materi yang dibawakan oleh para comic sangat bebas,” terang Komaruddin. “Di sana agama atau suku bisa dibuat joke atau guyonan. Tapi di sini kita tidak mungkin bisa sebebas di sana. Ada rambu-rambu yang harus diingat oleh para comic.“

Ada hal yang perlu diketahui oleh para comic, lanjut Komaruddin. Bahwa ada materi joke yang masih bisa diungkapkan dalam wilayah komunal, yakni sekelompok orang atau komunitas. Materi joke ini hanya terbatas pada kelompok tersebut. Namun jika materi joke komunal tersebut diangkat ke wilayah publik, maka joke tersebut akan didengar oleh masyarakat luas. Inilah yang seringkali bersingunggan dengan masalah Suku, Agama, Ras, Antargolongan (SARA).

Wilayah SARA inilah yang seringkali membuat banyak orang tidak suka. Ini dialami sendiri oleh komunitas SUC di Kalimantan dan Sulawesi. Sebagaimana saya kutip dari Republika (28/01/2012), menurut Yogi Setiawan (kordinator SUC wilayah Kalimantan dan Sulawesi), banyak haters yang kurang suka dengan konsep SUC yang banyak menyampaikan kerisauan sosial lewat humor.

Sebenarnya ada jutaan materi joke yang bisa dibawakan oleh comic tanpa membawakan materi yang berbau SARA,” ucap Ramon yang selama ini dikenal sudah berhasil mencetak sejumlah comic di tanah air.

Selain SARA, Komaruddin juga mengomentari tentang materi joke yang jorok. Menurutnya, comic yang membawakan materi seperti itu adalah comic yang sudah kehilangan materi joke. “Saya cenderung menilai comic yang membawakan joke yang jorok itu tidak smart ya,” komentar Komaruddin. “Oleh karena itu perlu kecerdasan si comic agar terus memiliki materi-materi yang smart, tetapi tidak murahan“.

Komaruddin mengusulkan agar joke yang dibawakan tidak menyangkut idiom-idiom khusus yang akan bersinggungan dengan SARA. Sebab, idiom khusus jelas diketahui sebagai atribut dari agama tertentu atau suku tertentu. Misal kata “sholat”. Kata itu jelas merupakan idiom bagi agama Islam. Namun jika kita menggunakan kata “sembahyang” atau “berdoa” itu menjadi idiom umum. Tidak cuma agama tertentu yang memiliki idiom tersebut, sehingga penonton dari agama tertentu tidak bisa protes, karena tidak menggunakan idiom agamanya.

Begitu pula dengan nama Tuhan. Jika comic mengungkapkan nama Tuhan dari agama tertentu, misal Yesus, tentu hal tersebut akan menyinggung umat Kristen. Meski si comic sekadar menceritakan dirinya atau mengkritisi fenomena yang dianggap “tidak masuk akal”, namun hal tersebut jelas bersinggungan dengan masalah SARA. Oleh karena itu, lanjut Komaruddin, idiom Tuhan tentu akan “aman”.

Tambah Ramon, memilih idiom itu justru menjadi tantangan bagi para comic. Dengan adanya rambu-rambu, hal tersebut bukan berarti comic Indonesia memiliki “keterbatasan”, tetapi justru tantangan para comic untuk mengasah kecerdasan.

Soal kecerdasan ini, sosiolog UI DR Ida Ruwaida S. Sos, Msi juga setuju. Sebagai sebuah bentuk komedi yang cerdas, pelaku SUC jelas harus memiliki selera humor yang cerdas. “Tentu ini juga bukan perkara gampang,” ujarnya. “Sebab bukan berarti semua masyarakat kita sekarang sudah kritis menyikapi berbagai isu sosial yang ada.”

Makanya menurut saya stand up comedy yang muncul di televisi, tidak sepenuhnya stand up yang sesuai dengan Indonesia,” papar Ramon. “Barangkali kalo kita ibaratkan anak sekolah, stand up comedy yang sekarang ini masih duduk di kelas satu. Namun karena masih terus belajar, ya jadi mohon dimaafkan

Jadi seperti apa SUC Indonesia nantinya? Ramon tengah menyusun buku putih yang akan menjadi panduan para comic melakukan performance. Sambil menunggu buku putih SUC, para comic terus mencari bentuk-bentuk materi yang sesuai dengan semangat ke-Indonesia-an. Bahkan Komaruddin memberi gagasan memasukkan tradisi budaya Indonesia yang kaya itu ke dalam SUC.

"TRIAL BY THE PRESS" LEBIH AMPUH DARIPADA "TRIAL BY THE COURT"

Begitu identitas diri Afriani Susanti (29) diketahui sebagai alumnus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), ada sebagian masyarakat langsung melebeli sekolah film dan televisi ini dengan cap negatif. Yang paling kasar mengatakan: “IKJ sarang narkoba”. Bahkan untuk mengantisipasi tindak kriminal yang barangkali akan dilakukan oleh warga masyarakat terhadap IKJ, pihak keamanan kampus membuat pemberitahuan untuk seluruh mahasiswa dan alumni IKJ agar mencopot stiker atau atribut yang ada tulisan maupun gambar IKJ di kendaraan mereka.

Selama ini kasus yang dilakukan seseorang dan merembet pada institusi bukan ini kali saja. Hal ini lazim terjadi di mana-mana. Ambil contoh yang paling sering dilebeli buruk oleh masyarakat, yakni anggota DPR. Apakah 560 anggota DPR yang berkantor di Senayan, Jakarta itu buruk? Tidak juga. Memang tidak banyak, tetapi ada anggota DPR yang masih idealis. Begitu pula dengan IKJ. Tidak semua mahasiswa dan alumni IKJ seperti Afriani yang menggunakan narkoba.

Meski stigma itu kadung menempel pada para seniman, bukan berarti semua mahasiswa seni, khususnya IKJ, pakai narkoba,” ujar alumnus IKJ yang tidak mau disebutkan namanya, sebagaimana saya kutip dari okezone, Selasa (24/1/2012).

Kasus tabrakan di Jalan Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Selatan, Minggu siang, yang menewaskan 9 orang itu murni karena kelalaian pribadi, bukan institusi. “Ini kasus pertama yang menimpa IKJ. Sebagai rektor, saya bangga jika alumni IKJ berprestasi. Tetapi kali ini saya sangat resah. Ini contoh buruk bagi alumni IKJ,” ucap Rektor IKJ Wagiono.

Oleh karena itulah, kecamanan saya di akun Twitter, di Facebook, Kompasiana, maupun di blog ini, tidak ditujukan pada institusi IKJ, tetapi pada pribadi Afriani. Sikap dingin yang ditunjukan wanita tambun ini membuat sakit hati masyarakat, apalagi para keluarga korban. Simak pernyataan Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Umar Wirahadikusuma ini:http://www.blogger.com/img/blank.gif

Kondisi Afriani terlihat tenang, bahkan tidak terlihat ada penyesalan di wajahnya. Ia dalam keadaan sehat dan tidak tampak shock,” ujar Umar yang saya kutip dari Republika (24/01/2012)

Kenapa tak ada ekspresi?

Mungkin dia belum lihat atau masih terpengaruh (narkoba),” kata Kasubdit II Psikotropika Ditnarkoba Polda Metro Jaya, AKBP Eko Saputro, di Mapolda Metro Jaya, Jl Sudirman, Jakarta, yang saya kutip dari detikNews (Selasa (24/1/2012).

Eko membeberkan bukti, Afriyani mengantuk karena pengaruh obat (baca: narkoba), saat menabrak 9 pejalan kaki. Ia baru merasa mengantuk dan bisa tidur pada Senin (23/1) pagi, sementara peristiwa insiden kecelakaan terjadi pada Minggu (22/1) siang.

Membaca berita tersebut, saya geleng-geleng kepala. Ekspresi yang digambarkan di berita tersebut langsung saya asosiasikan pada beberapa film action, dimana biasanya ada tokoh antogonis. Tokoh yang memerankan seorang Pembunuh berdarah dingin, yang membuhuh orang tanpa memperlihatkan ekspresi penyesalan.

Lebih menyakitkan lagi, hukuman yang diberikan pada Afriani cuma 6 tahun. Menurut bekas petinggi Polri Brigadir Jenderal Pol (Purn) Parasian Simanungkalit menilai, tersangka Afriani bisa dijerat hukuman lebih berat dari yang seharusnya. Sangat tidak adil bila polisi hanya menjerat pasal 395 KUHP, tentang kelalaian yang mengakibatkan hilang 9 nyawa orang dan 3 orang sedang kritis, hanya dengan hukuman 6 tahun penjara.

Itu tidak wajar,” ungkap Brigadir Jenderal Pol. Purnawirawan Parasian Simanungkalit di Dewan Pers, Jakarta Pusat, (25/2/2012).

Ketidakadilan dalam pemberian hukuman bisa terlihat dari tiga kasus ini. Anak kecil yang mencuri sandal dituntut 9 tahun penjara. Lalu nenek miskin yang mengambil buah cokelat yang sudah jatuh dituntut penjara selama 15 tahun. Sementara Afriani hanya dituntut 6 tahun. Hukum kita memang sedang sakit. Rasanya benar, trial by the press memang lebih ampuh daripada trial by the court.