Thursday, January 21, 2010

KENAPA DI BOGOR NAMANYA NGGAK NGETOP YA?

Senin, 26 April 1880. Kampung Empang, Bogor, Jawa Barat dipadati oleh ratusan orang. Mereka yang hadir bukan cuma warga Bogor biasa, tetapi pejabat pemerintah, residen, para tuan tanah, para haji, umat muslim dari berbagai lapisan masyarakat, orang-orang Jawa, termasuk para pemuda Jawa dari sekolah pertanian. Nggak ketinggalan para penghulu (pejabat agama Islam) dan para kyai (guru agama Islam) ada di antara ratusan orang yang hadir pagi itu. Mereka hadir dalam rangka mengikuti prosesi pemakaman pelukis asli Indonesia pertama yang berhasil menguasai teknik lukis Eropa, Raden Saleh.




Di Bogor, tempat peristirahatan terakhirnya, nama Raden Saleh nggak begitu dikenang sebagaimana prosesi pemakamannya di tahun 1880 di atas tadi, yang dihadiri oleh ratusan orang. Padahal bagi Raden Saleh, Bogor (saat itu dikenal dengan nama Buitenzorg) merupakan kota yang ia pilih sebagai kota terakhir sampai akhir hayatnya. Maklum, menurutnya Bogor itu luar biasa sebagai tempat tinggal. Namun sayang, di Bogor nama nggak begitu ngetop. Justru namanya lebih ngetop di Jakarta (dahulu disebut Batavia) dan sampai kini dijadikan nama sebuah jalan dekat Cikini, yakni jalan Raden Saleh.

Perkenalan Raden Saleh dengan kota Bogor ketika ia hubungannya dengan Residen Cianjur atau Paijen terjalin erat. Paijen kebetulan tinggal di Bogor, kota dingin yang terletak antara Cianjur dan Batavia. Setelah tinggal di Bogor, Paijen mengajarkan cara menggambar dan melukis pada Raden Saleh.

Pada akhir 1851, Raden Saleh kembali ke Batavia. Di Batavia, ia menetap di Cikini, Jakarta Pusat bersama istrinya yang berkebangsaan Belanda. Di daerah Cikini ini, ia membanggun sebuah villa seperti sebuah istana, dimana desain villanya ini digambar oleh Raden Saleh sendiri. Itulah mengapa di salah satu jalan di Cikini diberinama jalan Raden Saleh.

Menurut Profesor Albert S. Bickmore, orang Amrik yang pernah mengunjungi villa Raden Saleh, villa yang lebih pantas disebut istana itu terdiri dari sebuah bangunan utama dengan dua sayap. Seluruhnya dikelilingi oleh galeri-galeri lebar. Keseluruhan isinya menggambarkan harmoni yang indah. Nggak ada penguasa pribumi di seluruh kepuluaan Indonesia ini yang memiliki istana seindah istana Raden Saleh.

Padahal Raden Saleh bukanlah seorang bangsawan tingkat tinggi. Meski demikian, ia seringkali diperkenalkan sebagai seorang Pangeran Jawa di hampir setiap pertemuan di Eropa. Le prince javanais, begitu sebutannya. Nggak heran kalo Raden Saleh sangat dihormati oleh orang-orang bule di Eropa sana, dan mendapatkan akses yang luar biasa di kalangan Belanda di masa penjajahan.

Namun aneh, di wilayah Bogor nama Raden Saleh nggak begitu tersohor. Lebih tersohor Kebun Raya Bogor dan saat ini the Junggle. Buku Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme karya Haarja W. Bachtiar, Peter B.R. Carey, dan Onghokham ((Komunitas Bambu, 2009) membuka kembali sejarah pelukis pribumi yang berhasil go international ini. Yang manarik, di sampul belakang buku ini menulis bahwa Raden Saleh juga mewariskan sesuatu yang luar biasa dan memberi pengaruh dalam sejarah pemikiran kebangsaan Indonesia.

Friday, January 1, 2010

PRITA MULYASARI BEBAS, PEJABAT TINGGI NEGARA DAPAT JATAH MOBIL 1,3 MILIAR

Judul ini memang nggak ada hubungan sama sekali, dan kebetulan harinya pun nggak berbarengan. Prita Mulyasasi dibebaskan dari segala tuntutan, baik pidana maupun perdada pada tanggal 29 Desember 2009, berita soal pejabat tinggi mendapatkan mobil Toyota Crown Royal Saloon keesokan harinya (30/12/09).

Nggak ada hubungannya pula judul di atas dengan koin peduli Pritta yang berjumlah lebih dari 800 juta perak itu kemudian akhirnya dibelikan mobil mewah para pejabat tinggi. NO! Saya cuma ingin menggambarkan bahwa pejabat tinggi kita ternyata nggak bisa memberikan contoh nyata soal kesederhanaan atau sense of crisis. Terbukti, mereka nggak ada yang protes ketika mendapatkan mobil dinas baru bermerek Toyota Crown Royal Saloon. Padahal mobil yang berkapasitas 3.000 cc tersebut harganya ditaksir Rp 1,3 miliar per unit, bo! Bahkan ada yang bilang, harganya mencapai Rp 1,320 juta!



"Nggak usah dibesar-besarkan karena itu sebagai alat untuk menjalankan tugas. Sudah selayaknya kami mendapatkan," kata Ketua DPD Irman Gusman kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (28/12/2009) sebagaimana penulis kutip via Detikdotcom.

Perhatikan kata "menjalankan tugas". Kalo kita semua mau iseng, kita bisa saja mempertanyaan 1001 pertanyaan buat statement Bapak kita yang tercinta itu tadi, ya nggak. Salah satunya begini, apakah "menjalankan tugas" harus menggunakan Toyota Crown Royal Saloon seharga 1,3 miliar? I don't think so, deh! Pake busway juga bisa, ya nggak?! Kalo malu atau dianggap nggak pantas naik busway, paling mewah naik mobil kendaraan yang sebelumnya.

Berita soal 79 mobil mewah yang akan diberikan ke para pejabat tinggi ini memang nggak jauh dengan berita kebebasan Prita. Makanya kalo kita sambung-sambungkan, sungguh ironis beritanya. Di satu sisi, Prita yang nggak mampu bayar denda yang dijatuhkan Pengadilan Negeri (PN) Tanggerang sebesar Rp 204 juta, sehingga kemudian warga Indonesia bergotong royong mengumpulkan koin buat Prita sampai kemudian meraih hasil akhir sebanyak Rp 810,940 juta, eh ada sekelompok pejabat tinggi yang dengan mudah mendapatkan mobil senilai Rp 1,3 miliar, bo! Sebuah paradoks yang menyakitkan hati.