Monday, June 27, 2011

SAYA DAN UTHA LIKUMAHUA

Tiba-tiba pesan singkat ada di BBM saya.

Bpk, Ibu, Teman2 tolong doakan Utha Likumahua, sedang kritis di RS Pekanbaru. Berita dari Debby istrinya Utha. Tks.

Begitu mendapat pesan Senin pukul 16:00 wib tersebut, saya langsung membayangkan sosok penyanyi legendaris yang selama ini saya kenal: ramah, enerjik, dan tak pernah berubah tetap low profile. Namun pria kelahiran 1 Agustus 1955 ini terbaring tak sadarkan diri di Rumah Sakit Santa Maria, Pekanbaru.

Di Pekanbaru, Utha sedang mengisi sebuah acara di daerah Tanjungpinang. Tak ada tanda-tanda ia akan sakit dan koma. Setelah selesai manggung, pelantung lagu Puncak Asmara ini pun masih segar bugar dan mengunjungi rumah beberapa kerabatnya di kota itu bersama istrinya.

Namun sekitar jam setengah sebelas malam di Minggu (26/6), menurut Deby, saat mereka sedang ngobrol-ngobrol sambil bersenda gurau, tiba-tiba Utha jatuh. “Sambil dipijat, saya lihat bibirnya sudah miring. Saya segera membawanya ke rumah sakit," tutur Deby.


Saya bersama Utha Likumahua saat shooting Zona Memori di Metro TV

Saya memang tidak mengenal Utha ketika berapa puncak popularitasnya. Tetapi dalam beberapa tahun ini, saya sering sekali bekerjasama dengan Utha, ya tentunya menjadi pengisi acara di program musik yang saya produksi. Terakhir saya mengundangnya dalam program Zona Memori di Metro TV, yakni Tribute to Utha Likumahua.

Setiap kali berjumpa dengan Utha, entah kenapa saya seperti mendapatkan aura positif dan membuat semangat. Selama bercakap-cakap dengannya, ia tidak pernah mengajak saya untuk mengungkapkan masalah negatif, gosip tak penting, maupun hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan dunia musik.

“Wah, seru sekali kalo kita bikin acara seperti itu ya?” ucap Utha suatu ketika saya ngobrol di Mal Pondok Indah, dimana saat itu kebetulan ada teman saya juga yang pencipta lagu: Adjie Soetama.

Saya bangga bisa menjadi teman penyanyi legend ini. Tak perlu diragukan lagi puluhan prestasi yang sudah diukir oleh beliau. Sebut saja ia terpilih sebagai Penampil Terbaik Kedua dalam ajang ASEAN Pop Song Festival 1989 di Manila. Pria bernama lengkap Doaputra Ebal Johan Likumahuwa juga meraih juara 2 di Asia Pacific Singing Contest di Hongkong. Lagunya di kontes itu, Sesaat Kau Hadir ciptaan Budi Bachtiar dan Aldino pun dinobatkan sebagai lagu terbaik. Prestasi lainya yang dicapainya adalah dalam ajang Asia Pacific Broadcasting Union (ABU) bersama Trie Utami lewat lagu Mungkinkah Terjadi.

Banyak sekali lagu yang sudah dibawakan Utha dan menjadi hits. Sebut saja Aku Tetap Ada karya Candra Darusman dan Adjie Soetama, Esok kan Masih Ada (Dodo Zakaria), Tersiksa Lagi (Christ Kayhatu, George Lewakabessy), Adakah Kau Tahu (Embong Rahardjo), dan Ada di Hati (Adjie Soetama).

Menurut Deby, Utha tidak memiliki riwayat penyakit berat seperti jantung. Hanya ada sedikit kelebihan kadar gula dalam darahnya. Itupun sudah bisa teratasi dengan pola hidup yang cukup baik.

"Sampai sekarang masih koma. Belum ada perubahan. Besok baru mau di-MRA untuk dilihat secara keseluruhan," ungkap Debby.

Teman-teman, kita doakan bersama semoga Utha Likumahua bisa segera sembuh. Dan kita bisa mendengar kembali alunan suara penyanyi yang sudah dikaruniai 4 orang cucu ini.

Tuesday, June 21, 2011

FILM "SERDADU KUMBANG": SEKADAR MENGHARGAI KARYA ARI-NIA SIHASALE

Ketika menulis judul di atas, saya menghadapi dilema. Niat saya ingin sekali mengkritisi film Serdadu Kumbang karya Ari Sihasale, dimana menurut saya dari segi cerita sangat membingungkan. Namun, karena ingin menghargai karya terakhirnya itu, saya menggunakan judul di atas, yakni sebagai bentuk apresiasi.

Bagi saya, Ari dan Nia Sihasale (nama Zulkarnaen sekarang diganti dengan nama belakang sang suami: Sihasale) adalah sosok suami-istri yang konsisten menggarap film-film berlatar belakang anak. Sebut saja film-film mereka Denias: Senandung di Atas Awan (2007), Liburan Seru (2008), King (2009), dan Tanah Air Beta (2010) yang semua berkisah tentang anak. Termasuk film terakhir mereka: Serdadu Kumbang (2011).

Film Serdadu Kumbang mengisahkan seorang anak desa bernama Amek (diperankan oleh Yudi Miftahudin). Anak pasangan Siti (diperankan oleh Titi Sjuman) dan Zakaria (diperankan Asrul Dahlan) adalah anak desa Mantar, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat yang memiliki bibir sumbing dan jago menunggang kuda. Ia punya cita-cita menjadi presenter berita televisi nasional, karena sering menonton televisi.

Jika membaca ringkasan tersebut di atas tentu kita sudah mengerti, bahwa kisah film ini akan berkutat tentang perjuangan Amek demi mengejar cita-cita menjadi presenter berita. Namun sayang, Anda akan mengetahui bocah ini ingin jadi presenter di beberapa scene saja, itu pun tidak nampak perjuangan serta tantangan yang dihadapinya. Saya sebagai penonton hanya disuguhkan oleh potongan-potongan cerita dan kesedihan-kesedihan Amek yang tidak ada hubungannya dengan cita-citanya menjadi presenter berita.

Kesedihan pertama terjadi pada saat ayah Amek pergi ke Malaysia menjadi TKI tanpa pamit dengan Amek. Saya pikir kisah akan fokus pada perjuangan Amek berjumpa dengan sang ayah. Sebab, beberapa scene dihabiskan untuk masalah ini. Lihatlah perjuangan Amek menukar seekor kambing dengan sebuah handphone, dari seorang pedagang,; Amek membeli pulsa; sampai mendirikan antena di rumahnya, supaya sinyal handphone itu bisa baik.



Agar supaya dramatik kisah kehidupan Amek, digambarkan sang ibu bekerja keras membanting tulang menghidupi keluarga dengan cara berjualan. Maklum, sang suami tak mengirimkan nafkah selama menjadi TKI. Selain berdagang, Titi juga tetap menjadi ibu rumah tangga yang baik.

Ternyata saya salah duga. Kisah Serdadu Kumbang bukan mengenai perjuangan Amek berjumpa dengan sang ayah, karena tiba-tiba sang ayah kembali. Dan Amek tidak sedih lagi. Di sini antiklimaks. Sekembalinya sang ayah, saya kembali bingung: lalu yang dimaksud "Serdadu Kumbang" apa dong? Tapi baiklah, saksikan dulu kesedihan kedua Amek. Kali ini kuda kesayangan dan satu-satunya diambil paksa akibat ayahnya dianggap penipu, karena menjual jam Rolex palsu.

Saya kembali berpikir, pasti perjuangan kali ini soal bagaimana Amek mencari kudanya yang bernama Smodeng. Sebab, penonton diperlihatkan scene dimana Amex sakit dan tidak semangat, karena Smodeng diambil. Ternyata lagi-lagi saya salah duga, kuda kembali dengan mudah. Ibu dan bapaknya mempersembahkan Smodeng pada Amex tanpa penonton diberitahu perjuangan mereka mendapatkan Smodeng. Saya pikir dengan bertemunya Amek dengan Smodeng, film ini selesai, eh ternyata saya salah. Ada kesedihan part ke-3.

Mari kita ikuti kesedihan ketiga, ketika kakak Amek bernama Minun tewas, karena terjatuh dari “pohon cita-cita”. Apa itu “pohon cita-cita”? Yakni sebuah pohon, dimana murid-murid SD dan SMP Negeri 08 bisa menuliskan cita-citanya ke secarik kertas, lalu kertas itu dimasukan ke botol, dan kemudian digantungkan di batang pohon tersebut. Nah, ceritanya Minun (diperankan oleh Monica Sayangbati) yang murid pintar itu tak lulus Ujian Nasional (UN). Gara-gara tidak lulus, ia menunggang kuda menuju ke “pohon cita-cita”. Ia berusaha menggambil botol berisi kertas bertuliskan cita-citanya, tetapi kemudian ia terpeleset dan jatuh. Entahlah, menurut saya, scene itu terlalu dibuat-buat untuk menambah unsur dramatik.


Last but not least, kesedihan Amek kembali muncul begitu tahu guru Imbok (diperankan Ririn Ekawati) tidak ada di rumah. Ia bersama teman-teman berusaha mencari guru Imbok dengan dibantuk Surya Saputra.Ternyata sang guru berjumpa dengan dokter (diperankan Nia Sihasale). Mereka berencana ingin membantu Amek untuk operasi bibirnya yang sumbing.

Film ditutup dengan perubahan pada diri Amek, yakni bibirnya tidak sumbing lagi. Teman-teman bergembira ria, termasuk guru Imbok dan Papin (Ustadz yang diperankan Putu Wijaya). Acan dan Umbe, dua teman Amek, kemudian membuka tabung berisi kumbang. Kumbang-kumbang pun berterbangan.

“Jadi yang dimaksud serdadu kumbang apa?” tanya saya dalam hati.


Ah, mungkin teman-teman Amek itulah yang dimaksud sebagai “serdadu”. Sementara “kumbang” yang dimaksud gara-gara Amex sempat membuat mainan dari botol yang mirip kumbang dan di akhir kisah ada kumbang-kumbang yang terbang. Ya, begitulah kesimpulan saya sementara ini. Jika salah, mohon maaf. Berbeda sekali ketika di film Laskar Pelangi, dimana penonton bisa tahu istilah “Laskar Pelangi”, karena ada dialog yang menyebutkan “Laskar Pelangi” dan sebutan tersebut beberapa kali muncul dan diucapkan oleh pemain utama.

Sepertinya sang penulis skenario Jeremias Nyangoen tidak fokus dengan plot utama. Di kepalanya penuh dengan gagasan atau pesan-pesan yang ingin disampaikan, sehingga yang banyak muncul justru multiplot yang tidak penting. Penonton, terutama saya, menjadi bingung. Banyak scene yang sebetulnya tidak penting, tetapi dipaksa masuk. Beberapa tokoh yang muncul yang tadinya saya duga akan menjadi tokoh penting dalam membangun cerita, ternyata tidak penting. Salah satunya Surya Saputra.

Jika menjadi penulis skenario-nya, saya pasti tidak akan memaksa tokoh Surya Saputra di film tersebut. Saya akan fokus pada plot perjuangan Amek mengejar cita-cita dengan segala tantangan yang ada, baik dari orangtuanya, tetangga, maupun sekolah. Sebagai multiplot, saya akan memasukkan kisah pertentangan guru Imbok dengan guru Amin (diperankan Lukman Sardi) yang memerankan guru killer. Guru Amin dibuat sebagai bad guy yang men-demotivasi Amek dan mengatakan: anak kampung tak pantas jadi pembaca berita, apalagi punya bibir sumbing. Saya pasti tidak akan memunculkan sub-plot Smodeng, kematian Minun, apalagi kunjungan murid-murid SDN 08 ke sekolahan Surya Saputra beserta upacara membebaskan penyu di laut.

Memang banyak hal yang menarik si Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ada lomba balap kuda, pelepasan penyu, dan lain. Namun seharusnya Jeremias -tentunya atas permintaan Ari dan Nia Sihasale- bisa memilih hal-hal yang menjadi prioritas, mana yang event menarik yang bisa masuk ke dalam scene. Memasukkan semua, seperti dipaksakan. Jika pun terpaksa, harus ada konsep kreatif, sehingga hal tersebut tidak mengganggu plot utama. Nah, karena memaksa masuk semua, scene-scene jadi tidak penting. Tidak fokus.

Meski menurut saya banyak sekali scene-scene tidak penting yang muncul di film Serdadu Kumbang, namun sekali lagi usaha Ari dan Nia Sihasale patut diacungkan jempol. Two thumbs up. Sebab, mereka tetap konsisten menggarap film anak di tengah membanjirkan film-film hantu.


“Gimana mau mencintai film sendiri kalau filmnya begitu semua? Hiburan untuk masyarakat sangat kurang,” ujar Ari Sihasale.

Wednesday, June 8, 2011

ANGGUN C. SASMI TETAP RENDAH HATI

“Masih ingat band Testament atau Anthrax?” tanya saya pada Anggun C. Sasmi di pool side hotel Mandarin sore kemarin.

“Masih dong!” jawabnya sambil melebarkan senyum.


Begitulah kalimat pembuka saya pada Anggun. Berharap pertanyaan itu berhasil mengenang perjumpaan saya dengannya beberapa puluh tahun lalu. Saya yakin, Anggun pasti tak ingat saya. Tentu hal tersebut saya bisa maklumi, karena ia sudah milik dunia dan ribuan orang –termasuk wartawan- sudah pernah bercakap-cakap dengannya. Namun buat saya, pertanyaan tersebut membuat kami akrab kembali seperti dahulu kala.

Testament dan Anthrax yang menjadi awal pembuka percakapan saya dengan Anggun tak lain adalah dua band favorit perempuan kelahiran Jakarta, 29 April 1974 ini. Kebetulan pula, dahulu menjadi band favorit saya.

Sekadar info, Testament itu adalah band trash metal dari Amerika yang dibentuk di Berkeley, California tahun 1983. Personilnya Eric Peterson (gitar), Derrick Ramirez (vokalis), Greg Chritian (basist), dan Mike Ronchette (drummer). Album Testament yang sempat saya bahas dengan Anggun adalah Legacy. Sementara Anthrax juga merupakan band thrash metal dari New York, Amerika Serikat. Mereka disebut sebagai salah satu dari “empat besar” thrash metal bersama dengan Metallica, Slayer, dan Megadeth.

Bertemu dengan perempuan satu ini memang seperti mengingatkan beberapa puluh tahun lalu, ketika saya pertama kali bekerja sebagai reporter majalah remaja HAI. Alkisah, saat itu saya ditugasi oleh Redaksi Pelaksana (Redpel) untuk menginterview perempuan yang tahun 90-an dikenal sebagai ladies rocker.

Anggun Cipta Sasmi, begitulah nama panjang perempuan asal Indonesia yang saat ini memiliki kewarganegaraan Perancis ini. Ia adalah putri dari Darto Singo, seorang seniman Indonesia dan Dien Herdina. Saya beruntung sekali mendapat tugas menginterview Anggun saat menjadi Reporter. Pasalnya, saya tak pernah tahu jika kelak ia menjadi salah satu penyanyi Indonesia yang berhasil menembus dunia internasional.

Anggun mengawali karier lewat penampilannya di panggung Ancol. Saat itu usianya masih 7 tahun. Dua tahun kemudian ia rekaman album anak-anak. Di bawah bimbingan musisi rock handal, Ian Antono, Anggun memulai debutnya lewat album Dunia Aku Punya (1986). Di usianya yang relatif muda, ia telah berhasil menggapai puncak popularitasnya sebagai penyanyi rock di Indonesia, Hal tersebut terbukti dengan meraih penghargaan “Artis Indonesia Terpopuler 1990-1991″. Salah satu lagunya menjadi lagu legenda…

Melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi

Terlelap dalam, lautan emosi

Setelah aku sadar diri kau t’lah jauh pergi

Tiggalkan mimpi yang tiada bertepi

Pada tahun 1994, Anggun memutuskan untuk meninggalkan Indonesia dan mewujudkan impiannya menjadi artis bertaraf internasional. Dengan bantuan Erick Benzi, seorang komposer besar Perancis, pada 24 Juni 1997, Anggun berhasil merilis album internasional pertamanya: Au nom de la lune yang dirilis ke pasaran Perancis.

Singel pertama Anggun di album tersebut, La neige au Sahara, ternyata disukai oleh peminat musik, mulai dari Perancis hingga Belgia, Swiss dan Kanada. Singel ini tercatat sebagai lagu yang paling sering diputar di radio-radio Perancis tahun 1997 dan menjadi salah satu Hit Summer ‘97. Album Au nom de la lune yang memuat elemen world music plus instrumen tradisional Indonesia (tambur, seruling, kemiri) ini berhasil terjual lebih dari 150.000 kopi di Perancis dan Belgia. Kesuksesan tersebut membuat Anggun dikenal sebagai seorang artis berbangsa Indonesia pertama yang sejajar dengan artis-artis Perancis.

Setahun berikutnya, Anggun meluncurkan versi bahasa Inggris dari album pertamanya lewat Epic Records. Judulnya Snow on the Sahara. Album ini dirilis resmi di lebih dari 33 negara di Eropa, Asia, dan Amerika. Seperti juga sebelumnya, album ini meraih kesuksesan dengan penjualan yangmencapai lebih dari satu juta keping., menjadikan Anggun sebagai penyanyi Asia terlaris di luar Asia. Singel Snow on the Sahara itu sendiri menjadi hit dan mencapai posisi puncak di 15 negara, termasuk Italia dan Spanyol. Bahkan pada 1999, singel tersebut duduk di posisi Top 5 pada UK Club Charts di Inggris.

Sukses dengan album Snow on the Sahara, Anggun melakukan tour selama sembilan bulan keliling negara Amerika untuk promosi album. Saat promosi album, ia diundang oleh penyanyi Sarah McLachlan untuk tampil di Lilith Fair, sebuah festival musik wanita berkeliling Amerika. Anggun juga tampil di acara New York Sessions at West 54th. Ia menjadi satu-satunya penyanyi Asia yang mendapat kehormatan tampil pada acara Divas Live di Las Vegas.

Kemarin (26/5), saya kembali bertemu dengan Anggun. Beruntung sekali saya bisa menggantikan seorang Sutradara yang kebetulan berhalangan akan melakukan shooting Anggun sore itu. Sebagai Sutradara pengganti, saya akhirnya dipertemukan lagi dengan perempuan yang di Indonesia dikenal dengan Mimpi dan Tua-Tua Keladi ini. Memang, beberapa kali Anggun ke Jakarta, tetapi saya tidak pernah memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya. Harap maklum, saat ini saya bukan Reporter atau Wartawan. Lebih dari itu, saya pun tidak punya kepentingan untuk bertemu dengannya.

“Waktu interview, kamu pake celana pendek dan kaos oblong,” ujar saya mencoba mengingatkan kenangan itu. “Kita interview di rumah kamu di jalan Tegalan, Matraman. Kamu masih punya rumah di situ?”

“Wah, sudah lama dibogkar,” ujar Anggun.

Saya sangat mengerti, ia kini sudah memiliki management kelas dunia yang jauh lebih profesional dengan jadwal yang sudah ter-schedule dengan padat. Tak heran, waktu shooting kami hanya dibatasi cuma 1 jam. Obrolan saya pun tidak sesantai dahulu kala. Meski begitu, Anggun ternyata masih tetap rendah hati. Ia seperti yang dulu, meski sudah mendapat cap penyanyi kelas dunia.