Monday, July 27, 2009

MEREKA YANG TERDZOLIMI

Boleh jadi tanggal 27 ini menjadi hari yang menggembirakan buat kita semua. Setidaknya buat mereka yang masih tercatat sebagai karyawan. Sebab, tanggal 27 merupakan hari gajian nasional. Pasti pagi ini atau detik ini Anda berada di depan layar ATM dan melihat deretan angka. Yang semula angkanya udah menipis, sekarang bertambah.

Memang sih, ada perusahaan swasta yang nggak menggaji karyawannya di tanggal 27 ini. Ada beberapa perusahaan yang seringkali memberikan gaji pada tanggal 32, bahkan ada yang tanggal 35. Maksudnya, gaji perusahaan tersebut terlambat. Kalo hal ini terjadi, perusahaan swasta itu sungguh nggak lazim. Abnormal! Gokil! Bahlul! Edan!

Perusahaan yang memberikan lebih dari tanggal 27, itu sama saja mendzolimi karyawannya. Yaiyalah! Saya pernah merasakan berada di perusahaan yang membayarkan gaji karyawannya di bulan berikutnya. Meski turut terdzolimi, tapi Alhamdulillah saya nggak sempat merasakan parahnya cash flow keluarga gara-gara gaji terlambat. Namun beberapa kawan saya waktu itu sempat berhutang kanan-kiri buat menghidupi rumah tangga mereka di bulan berikut, termasuk membayar cicilan hutang dan kontrakan. Jangan-jangan ada di antara Anda yang pernah merasakan kondisi itu?

Yang merasa terdzolimi bukan cuma karyawan swasta yang belum menerima gaji di tanggal 27 ini. Para korban 27 Juli pun merasa terdzolimi. Sebab, hak mereka mendapatkan keadilan hukum, yakni dengan mengadili dalang peristiwa 27 Juli tigabelas tahun lalu sampai kini belum juga tertangkap.


Ada upacara pembakaran ban tepat di depan kantor yang menjadi saksi kerusuhan 27 Juli 2006.


Barangkali di antara Anda banyak yang udah lupa. Saya maklumilah. Anda udah tua kan? Udah pikun kan? Baiklah, saya akan flashback soal peristiwa 27 Juli 1996. Bahwa hari ini tigabelas tahun lalu, terjadi peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang berada di jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat. Saat itu, PDI dikuasai oleh pendukung Megawati Soekarnoputri.

Sekitar 06:15 wib, mulai terjadi penyerbuan yang dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi. Pria berambut putih dan berkacamata ini kala itu nggak lain adalah Ketua Umum terpilih versi Kongres PDI di Medan. Penyerbuan tersebut dibantu oleh aparat kepolisian dan TNI. Maklum, pemerintah nggak ingin Megawati menang jadi Ketua Umum PDI, padahal grass root menginginkan Megawati menjadi Ketua Umum.

Meski Soerjadi udah terpilih jadi Ketua Umum PDI, Megawati serta pendukungnya tetap menguasai kantor PDI. Hal itulah yang membuat pendukung Soerjadi mengambilalih kantor PDI dengan paska. Peristiwa pengambilalihan secara paksa itu meluas menjadi kerusuhan. Nggak Cuma di seputar jalan Diponegoro, tapi meluas ke Salemba dan Kramat. Nggak heran kalo beberapa kendaraan dan gedung terbakar, antara lain Bank Swastaindo International, Auto 2000, Bank Mayapada, dan gedung Honda di Salemba. Menurut data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), kerusuhan tersebut menyebabkan 5 orang meninggal, 149 orang luka-luka, dan 136 orang ditahan.


Bapak berkepala botak ini yang lagi diinterview rekan-rekan Wartawan ini konon adalah pelaku sejarah yang sempat berada di kantor PDI tanggal 27 Juli 2006. Bukan gara-gara kerusuhan itu, lho, yang menyebabkan kepala Bapak ini botak.

Pemerintah saat itu, dalam hal ini Presiden (alm.) Soeharto menuduh dalang kerusuhan itu adalah aktivis PRD. Padahal PRD cuma jadi kambing yang warnanya hitam. Nggak heran, gara-gara jadi kambing, eh maksudnynya gara-gara dituduh sebagai biang kerusuhan, pemerintah Orde Baru menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Sang Ketua Umum PRD, Budiman Sudjatmiko mendapatkan hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara.

Dokumen dari Laporan Akhir Komnas HAM menyebutkan, ada pertemuan yang terjadi tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya yang dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Tahu dong nama pria yang saya sebutkan itu? Nah, selain SBY, hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, SBY mengambil keputusan untuk menyerbu atau mengambilalih kantor DPP PDI.

Dokumen Komnas HAM tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI. Selain itu, Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo juga melakukan penyerbuan. Komnas HAM juga memiliki rekaman video peristiwa 27 Juli 2006, dimana menampilkan pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha. Pasukan ini menyerbu markas PDI dengan cara menyamar, seolah-olah mereka adalah massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta serupa juga ada dokumen Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, yang diungkap dalam paparan di depan anggota Komisi I dan II DPR RI pada tanggal 26 Juni 2000.


Peringatan 27 Juli dari tahun ke tahun selalu menjadi bahan tontonan warga. Ada yang sekadar mau lihat-lihat bentuk peringatannya, ada yang sok ngaku-ngaku ikut menjadi saksi sejarah, dan tentu saja ada beberapa Wartawan yang menunggu momentum peringatan ini. Yang paling beruntung adalah para Pedagang yang memanfaatkan peringatan ini buat cari rezeki.

Tepat hari ini, 27 Juli tigabelas tahun lalu, mereka yang merasa terdzolimi mengadakan acara mengenang peristiwa berdarah itu. Dalam acara tersebut, hadir beberapa saksi mata maupun mereka yang sempat menjadi pelaku “sejarah”. Kebetulan saya hadir di bekas lokasi peristiwa kerusuhan pagi ini. Bukan, saya bukan saksi mata atau pelaku “sejarah”. Saat kejadian itu, saya masih belum tahu apa-apa.

“Memangnya sekarang udah tahu?”

“Enggak juga sih! Tapi sedikit banyak udah melek politik gitu, deh!”

Saya melihat dari dekat, mereka yang ingin menuntut keadilan atas peristiwa ini. Membuat spanduk bertuliskan “adili dalang kerusuhan”, berteriak-teriak menuntut keadilan, membakar ban, dan aktivitas lain. Wajar sih, tapi kasihan juga. Kenapa? Jangan-jangan Megawati sendiri udah melupakan peristiwa yang merupakan cikal bakal berdirinya PDI Perjuangan (PDIP) ini. Prejudice ini beralasan. Wong di zaman Megawati jadi Presiden, pengadila cuma bisa membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke kantor PDI. Gara-gara itu Jonathan sempat dihukum dua bulan sepuluh hari. Sementara dua perwira militer yang diadili, yakni Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas. Begitu pula mereka yang lain. Nggak ada satu pun yang berhasil dimasukkan ke dalam penjara.


Tiap kali ada peringatan di kantor PDI, pasti kemacetan pun terjadi. Untung si Komo nggak lewat. Kalo si Komo sampai lewat, wah bisa-bisa kemacetan pun makin parah. Bersyukurlah Kak Seto nggak mengizinkan si Komo lewat.

“Sia-sia dong korban kerusuhan 27 Juli itu?”

“I don’t know!”

“Baik yang dituduh mendalangi maupun didzolimi, sama-sama sibuk mencaci-maki Komisi Pemilihan Umum (KPU) gara-gara Pilpres 2009 ini dianggap curang. Soal kerusuhan 27 Juli 2006, sementara nanti-nanti dulu deh diurusinnya....”

Ah, what a pitty!


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Saturday, July 25, 2009

WHY DON'T WE TRY TO THINK OPPOSITE?

Cara berpikir manusia selalu kayak bebek . Mengikuti apa yang mayoritas manusia lain jalani. Jalan ke sana, ikut ke sana. Jalan ke sini, ikut ke sini. Ada restoran yang penuh orang, ikut makan di situ. Lihat rambut Demi Moore di film Ghost tahun 80-an, jadi ikut-ikutan KDM alias Korban Demi Moore. Ada orang punya Blackberry, ikut-ikutan beli Blackberry. Ketika di bioskop menayangkan film-film hantu, eh kita ikut-ikutan bikin film hantu-hantuan. Halah!

Ini juga terjadi pada orang-orang bule. Ketika Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton porak-poranda gara-gara bom meledak pada Jumat, 17 Juli lalu, serta merta bule-bule yang takut ke Indonesia, karena di negara mereka mengeluarkan travel warning. Meminta warga negara mereka nggak usah pergi ke negara kita ini. Nggak cuma Amerika Serikat yang katanya negara superpower itu, negara-negara lain ikut-ikutan kayak bebek membuat travel warning bagi warga negara yang mau pergi ke Indonesia.

“Manusiawi lah yau!”

“Memang manusiawi. Tapi kayak bebek!”

“Maksud loe?”

Why don’t we try to think opposite?”

“Maksud loe?”

Menurut data yang gw kutip dari kolom Sisi Lain di Kompas Minggu, 26 Juli 2009 ini, ada sedikitnya 140 orang asing tetap datang ke Indonesia. Mereka ini nggak peduli adanya travel warning yang dikeluarkan dari negara mereka. Gary Simpson (36) misalnya. Warga Australia ini tetap datang ke Indonesia buat mengikuti turnamen golf internasional di Bumi Serpong Damai (BSD).

“Tak ada yang dapat memaksa saya untuk tidak datang ke Indonesia, karena ini menyangkut hidup saya,” kata pria asal Adelaide, Australia ini. “Meski pemerintah kami mengeluarkan travel warning, namun saya mengabaikan peringatan itu, karena saya yakin Jakarta sudah aman.”



Ini bukan think opposite, tapi nggak disiplin. Baik orang yang punya mobil maupun sopir, otaknya sama-sama perlu direparasi. Kedua sopir SIM-nya sama-sama "nembak" kali ya?

Seperti juga Simon Griffiths (35). Pria berkebangsaan Inggris ini juga cuek dengan travel warning negaranya. Ledakan bom yang menewaskan 9 orang itu nggak menyurutkan niatnya pergi ke Jakarta.

“Saya pikir nggak ada alasan lagi buat takut,” katanya. “Situasi ini bisa terjadi dimana saja, termasuk di London.”

Menurut Simon, Indonesia adalah salah satu negara yang paling indah di dunia. Hebatnya, dia berjanji akan mempromosikan Indonesia kepada teman-temannya agar mau datang ke Indonesia. Yang terpenting, katanya, nggak ada yang perlu ditakutkan di Indonesia ini.

That’s we call: THINK OPPOSITE! Yap! Berpikir dengan cara pandang berbeda. Bukan kayak bebek. Mengikut kebanyakan orang. Apa resiko think opposite? Nggak ada! Malahan justru memperoleh keuntungan. Nggak percaya? Mari kita pikir sama-sama penjelasan berikut ini.

Setelah ledakan bom, penjagaan pasti akan superketat. Nggak cuma di hotel-hotel, tapi juga di perkantoran, maupun mal-mal. Tentara ada dimana-mana. Polisi ditempatkan di sana dan di sini. Baik di hotel maupun di mal, para Security memerikas barang bawaan kita. Tas diperiksa. Mobil diperiksa. Kuku diperiksa. Eh, maaf! Yang terakhir nggak diperiksa oleh Security, tapi oleh Guru. Pokoknya serbaketat. Ada juga sih pemeriksaan yang nggak terlalu ketat.

Itu baru soal pengamanan. Gimana soal hotel atau penerbangan? Menurut data, paska pengeboman tanggal 17 Juli, tingkat occupation hotel menurun drastis, mencapai 20%. Tentu saja berkat travel warning itu. Ini juga berpengaruh pada jumlah seat di pesawat commercial yang biasa mengangkut bule-bule dari negara yang mengeluarkan travel warning itu. Jelas ini bisa merugikan bisnis hotel maupun penerbangan. Jelas pula, kondisi tersebut akan merugikan di sektor pariwisata dan industri formal maupun informal di tanah air.

Padahal, kalo orang berpikir think opposite, kesempatan paska bom justru sangat menguntungkan. Yaiyalah! Hotel-hotel sekarang lagi diskon buat menarik para tamu yang mau menginap. Mau merasakan hotel bintang lima kayak hotel Mulia? Saatnya sekarang ini. Kabarnya hotel yang berada di samping Lapangan Tembak, Senayan Jakarta membandrol harga menginap sampai 50%, cong! Soal kebenarannya, please check sendiri ya.

Soal keamanan, orang yang think opposite juga udah mengerti. Dimana-mana paska kerusuhan atau pengeboman, keamanan pasti ekstra ketat dan itu hampir dipastikan aman. Baik Tentara maupun Polisi pasti akan menjaga kondisi agar aman dan berjalan normal kembali. Nah, bukankah kita merasa jadi tamu VIP dengan penjagaan yang superketat itu? Kalo orang yang nggak berpikir think oppisite pasti akan menjawab: enggak tuh! Ngapain juga cari penyakit datang ke daerah bersticker travel warning.

Saya diceritakan oleh istri, ada seorang Turis mancanegara yang gokil. Dia benar-benar memanfaatkan situasi paska kerusuhan, perang, atau ledakan bom. Turis ini think opposite. Apa yang dilakukannya? Ketika paska pemboman Irak, dia terbang ke Irak buat berlibur. Setelah kerusuhan paska pemilihan Presiden Iran yang berhasil memenangkan Mahmoud Ahmadinejad, Turis ini berangkat ke Iran. Saya nggak dapat kabar, apakah Turis ini sudah tiba di Indonesia atau pergi ke negara yang baru selesai konflik.


Kalo ini nggak tahu apakah bisa disebut oppisite. Penjual makanan berdagang di balik tembok, sementara Pelanggannya yang kebetulan Pengemudi taksi kudu melewati tembok buat makan. Barangkali lebih tepat kalo disebut jajanan opposite kali ya? Maksudnya opposite the wall!

Dear friends, terkadang kita perlu juga think opposite. Kenapa? Ini buat merubah mind set kita yang secara stereotype udah terpola kayak bebek. Orang ke sana, kita ikut-ikutan ke sana. Orang pergi ke sini, kita ikut-ikutan pergi ke sini. Teman beli Blackberry, kita yang sebetulnya nggak butuh-butuh amat Blackberry jadi ikut-ikutan beli Blackberry, padahal ada sesuatu yang kita butuhkan dari gadget itu. Orang pake hotpants, kita ikut-ikutan pake hotpants. Padahal pantat kita tepos dan paha kita banyak korengnya. Orang lain pakai tank top di mal, kita ikut-ikutan pake tank top dengan alasan ikut-ikutan trend yang lagi happening. Padahal ketiak Anda bau dan bikin orang lain mau muntah. Sungguh jijay bajay bukan?

Terus terang memang susah think opposite. Saya juga seringkali susah merealisasikan mind set yang gokil ini. Namun, beberapa orang kreatif justru selalu berpedoman think outside the box. Ini sesungguhnya nggak beda sama think opposite. Orang lain sudah bikin kreatif dengan caranya, sementara kita kudu berpikir berbeda. Sutradara lain bikin film hantu, kita nggak perlu bikin film hantu-hantuan. Megawati Soekarnoputri-Prabowo nggak hadir dalam undangan Komisi Pemilihan Umum (25/7) dalam rangka penetapan hasil pemilihan suara, pasangan Jusuf Kalla-Wiranto tetap datang ke KPU. Padahal Jusuf Kalla-Wiranto sama-sama menolak hasil Pilpres 2009, sebagaimana Megawati-Prabowo. Namun, Kalla-Wiranto nggak kayak Megawati. Mau kalah dalam kondisi nggak curang di Pilpres 2004 apalagi curang, tetap aja nggak bisa mengakui kehebatan dan kemenangan lawan. Kalla-Wiranto adalah Politikus yang think opposite. So, mulai sekarang try to think opposite!.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

SENSOR DI NEGARA KITA

Seorang Sutradara Indonesia terkenal pernah bertanya pada seorang Pengacara terkenal. Pertanyaannya kira-kira begini: mengapa lembaga seperti Lembaga Sensor Film (LSF) nggak dibubarkan saja? Apa susahnya sih membubarkan LSF? Menurut Sutradara yang namanya saat ini sedang melambung di perfilman nasional, LSF nggak dibutuhkan, karena yang namanya film itu nggak boleh disensor.

What do you think?

Kalo menurut gw, pernyataan Sutradara kita tercinta ini terlalu emosional. Tapi gw mengerti mengapa beliau mempertanyakan eksistensi LSF di tengah perfilman nasional ini. Bahwa LSF dianggap lembaga yang “asal potong”. Dalam film, setiap scene atau shot pasti punya nilai. Setiap dialog, punya makna. Bayangkan kalo sebuah nilai atau makna dipotong, pasti benar merah cerita di film itu akan terganggu. Kalo benar merah sebuah cerita udah “diobrak-abrik”, buat apa film diputar.

Itu baru soal “mengobrak-abrik” benang merah, belum soal (maaf!) “permainan” yang ada di LSF. Ini memang rada tendensius, tapi udah banyak cerita-cerita miring soal “permainan” ini. Tolong jangan salah arti kata “permainan” di sini. Bukan permainan kayak main petak umpet atau main perempuan. “Permainan” di sini nggak lain nggak bukan adalah kolusi. Walah!

Contoh di atas juga pernah dialami oleh Mira Lesmana. Sebagai Produser film 3 Hari Untuk Selamanya, Mira bereaksi sangat keras, karena film garapan Sutradara Riri Riza itu dipotong sebanyak 8 adegan oleh LSF. Menurut Mira, tindakan itu sama aja “membunuh” cerita film itu sendiri. Film adalah karya seni yang seharusnya bisa dipertunjukan secara keseluruhan. Jadi nggak seharusnya disensor.

Perlu diketahui, setiap film maupun program televisi, wajib disensor. Caranya? Materi film atau program televisi kudu dikirim ke LSF. Di LSF, ada beberapa orang yang akan melakukan penyensoran. Hasil dari LSF ini adalah sebuah surat. Nama surat itu adalah Surat Tanda Lolos Sensor (STLS). Itu kalo berhasil lolos sensor. Nah, sekarang kalo nggak lolos sensor? Materi kudu direvisi dan dikirim kembali ke LSF sampai akhirnya mendapatkan STLS.

Itu prosedur yang ideal. Pertanyaannya sekarang, apakah tenaga LSF mampu mensensor jumlah produksi film dan program televisi yang ratusan ini? Data terakhir produksi film nasional tahun 2008 mencapai 50 judul. Bagaimana dengan program televisi? Let’s count, kalo dalam sehari sebuah stasiun televisi punya 10 program yang kudu disensor, maka dalam seminggu adalah 70 program atau dalam sebulan 280 materi program. Itu baru satu televisi, bagimana televisi lain? Dengan jumlah segitu, jelas dibutuhkan banyak orang di LSF. Buat apa lagi kalo bukan buat melakukan penyensoran. But you know what? Saat ini jumlah karyawan yang mensensor di LSF di bawah 40 orang. Jumlah yang krucil (maksudnya kru kecil) atau kruni (maksudnya kru mini) ini nggak didukung oleh Peraturan Pemerintah (PP) atau Undang-Undang. Padahal di PP Pasal 9 tahun 1994 udah disebutkan, jumlah anggota LSF sedikitnya 45 orang. Artinya, mereka yang menyensor di LSF minimal 45 orang.

Minimnya jumlah orang di LSF inilah yang justru membuat banyak orang bertanya-tanya: mana mungkin 40-an orang mampu mensensor ratusan materi? Nah, gara-gara nggak masuk akal secara proporsional, maka lahir tendensi-tendensi soal “permainan” di LSF ini. Bahwa LSF bisa mengeluarkan STLS asal ada “uang pelicin”. Gokilnya lagi, ada tendensi yang sangat sarkas, yakni LSF udah menyediakan STLS kosong. Mereka tinggal isi STLS itu, misalnya nama judul program, tahun produksi, dan lain sebagainya. Biasanya STLS kosong ini buat program-program televisi yang kejar tayang.

Maksudnya?

Begini. Bagi Anda penggemar sinetron, pasti sering melihat sinetron-sinetron stripping. Sinetron yang tayang setiap hari non-stop. Sinetron-sinetron kayak gini produksinya juga kejar produksi. Pagi sampai sore syuting, malam hari kudu tayang. Nah, dengan waktu yang mepet, mana sempat sinetron kejar tayang ini bisa disensor? Kapan materi sempat direvisi kalo ada scene atau shot yang “berbahaya” dan kemudian dikirim ke LSF lagi buat mendapatkan STLS? Tentu secara logika nggak masuk akal sinetron kejar tayang kayak gitu lolos LSF, ya nggak? Makanya menurut Praktisi hukum Hartono SH, MH, 80% sinetron nggak lolos sensor atau nggak punya STLS. Kalo pun ada, ya STLS-nya diisi sendiri oleh Produser dari PH.


Film tanpa sensor, sama saja membiarkan kondisi sosial generasi mendatang semakin carut marut. Naudzubillah min dzaliq. Gw mah ogah! Gw sayang sama anak-anak gw. Kecuali negara dalam kondisi normal, tingkat intelektualitas masyarakat relatif tinggi, atau film cuma diputar di kalangan terbatas.


Ironis! Yap! Begitulah kondisi sensor di negara kita yang tercinta ini. So, jangan heran kalo mayoritas sinetron kita “hancur lebur” dari segi pendidikan moral atau etika. Anak SD udah berani pacaran, pegang-pegangan tangan, bahkan ciuman! Anak SMP udah berani melawan orangtua maupun guru. Orang kaya selalu digambarkan jahat, sementara orang miskin digambarkan selalu menang. Padahal itu stereotype! Ada pula menampilkan anak-anak kecil jahil yang justru dianggap sebagai “pahlawan”. Ini niatnya kayak film-film Home Alone. Masih banyak contoh sinetron lain yang gw anggap sebagai “sinetron caur”.

Memang sih, kisah di sinetron-sinetron itu ada yang berdasarkan realita. Artinya, ada fakta anak SD yang pacaran. Ada anak SMP yang melawan orangtua atau guru. Apapula mahasiwa yang melakukan free seks atau melakukan hubungan badan sebelum married. Tapi jumlahnya nggak banyak! Lagipula ngapain juga hal-hal kayak begitu selalu dimunculkan dalam kisah sinetron? Dieksploitir. Apakah konflik sebagai bumbu cerita cuma berdasarkan fakta-fakta negatif kayak begitu? I don’t think so! Gw pikir ini masalah kreativitas si Penulis Skenario aja.

Mau dahulu, mau sekarang, urusan sensor memang kompleks. Pada saat masih ada Departemen Penerangan (Deppen), ada Keputusan Menteri Penerangan (Kepmenpen) RI No.216/KEP/MENPEN/1994 mengenai Tata Kerja LSF dan Tata Laksana Penyensoran. Lalu ada pasal di Undang-Undang (UU) Penyiaran, yakni Pasal 34 ayat 3. Di Pasal ini menjelaskan, setiap mata acara film atau rekaman video cerita yang akan disiarkan, wajib terlebih dahulu memperoleh tanda lulus sensor dari LSF.

Dalam UU Penyiaran Bab IV mengenai Pelaksanaan Siaran pada Bagian Pertama mengenai Isi Siaran di Pasal 32 ayat (6), (7), (8), dan (9) bahkan secara jelas memperketat sensor. Ayat 6 menjelaskan soal materi siaran yang akan disiarkan hendaknya mengandung unsur yang bersifat membangun moral dan watak bangsa, persatuan, dan kesatuan, pemberdayaan nilai-nilai luhur budaya bangsa, disiplin, serta cinta ilmu pengetahuan dan teknologi.

Lalu ayat 7 menyebutkan soal isi siaran yang mengandung unsur kekerasan dan sadisme, pornografi, takhayul, perjudian, pola hidup permisif, konsumtif, hedonistis, dan feodalistis DILARANG. Selanjutnya ayat (8): Isi siaran yang bertentangan dengan Pancasila, seperti halnya yang bertolak dari paham Komunisme, Marxisme, Leninisme, dilarang. Ayat (9): Isi siaran dilarang memuat hal-hal yang bersifat menghasut, mempertentangkan, dan/atau bertentangan dengan ajaran agama atau merendahkan martabat manusia dan budaya bangsa atau memuat hal-ha yang patut dapat diduga mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.

Seperti juga terkandung dalam Pasal 32 UU Penyiaran, LSF juga wajib memeriksa materi-materi program yang meliputi tema, jalan cerita, adegan-adegan, dan dialog yang terjalin dalam program. Secara umum, bila suatu program mengandung muatan politis atau unsur SARA (Suka, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang dapat menyulut kerusuhan masyarakat, kekerasan, dan pornografi, maka materi program tersebut bakal ditolak atau nggak lolos sensor. Hal ini berlaku bagi semua jenis tayangan program non-komersial maupun komersial. Bahkan film-film yang di-dubbing pun nggak luput dari penyensoran. Keren nggak tuh?

Setiap stasiun televisi memang nggak bisa sembarangan menyerahkan materi program ke LSF. Ada prosedur yang udah ditetapkan pemerintah melalui Deppen. Program yang akan ditayangkan, dibedakan dalam dua jenis, yakni program impor (canned program) dan program lokal. Untuk jenis program impor, stasiun televisi perlu mengajukan permohonan izin yang biasa dikenal dengan Surat Permohonan Pemasukan Rekaman (SPPR). Sedangkan untuk jenis program local dibutuhkan permohonan izin untuk penyensorannya, yakni Surat Izin Permohonan Penyensoran (SIPP).

Saat itu, sekitar tahun 90-an, biaya permohonan izin sekitar delapan ribu rupiah per episode. Bila sinetron tersebut berjumlah 13 episode, maka stasiun televisi mengeluarkan biaya seratus empatpuluh ribu rupiah. Sebelumnya biaya untuk mendapatkan SIPP sebesar empat ribu rupiah.

Setelah mendapatkan SPPR atau SIPP, materi program tersebut baru dibawa ke LSF yang berupa pita VHS. Di sini pihak stasiun televisi membayar beberapa biaya, yakni biaya penyensoran senilai tiga ratus rupiah per menit, biaya laminating Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) kalo program tersebut lolos sensor, dan telop yang per lembar sepuluh ribu rupiah.

Sayang seribu kali sayang, biaya-biaya tadi cuma di atas kertas. Sebab, biaya tersebut belum termasuk biaya-biaya nggak terduga. Konon, biaya-biaya nggak terduga ini pun masih terjadi, meski Orde Baru (Orba) udah mampus dan Deppen udah dibubarkan pada saat Presiden-nya Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Inilah yang membuat Sutradara yang gw sebutkan di atas tadi mempertanyaan soal eksistensi LSF yang udah nggak relefan lagi.

“Mending film yang ditayangkan cukup menggunakan sistem klasifikasi (masudnya ada tanda parental guide-nya),” kata Sutradara itu lagi.

Buat gw, negara kita belum bisa menerapkan parental guide only. Artinya, film atau program televisi tanpa melalui LSF, tapi cuma klasifikasi seperti PG-13, R, NC-17 (di Amrik) atau MA dan XR (di Australia). Bukan melecehkan masyarakat kita sendiri, lho. Bahwa intelektualitas warga Indonesia meningkat, memang betul. Bahwa warga negara yang tergolong well educated udah semakin banyak. Tapi please wake up! Warga yang berhadapan dengan culture shock atau gagap budaya lebih banyak lagi.

Masyarakat yang semula menjalani ritual agama dengan taat di sebuah kampung kecil, tiba-tiba berhadapan dengan sinetron-sinetron yang mengumbar budaya free seks. Semua itu dilihat secara gratis dari sekotak televisi dan setiap hari pula. Ada pula keluarga yang sangat menjunjung tinggi sopan santun, tiba-tiba mendapati anak-anak mereka yang berpakaian seksi (mengenakan hotpants, sexy dress, atau tank top). Padahal mereka ini tinggal di sebuah kampung yang masih ada sawah, dimana orangtua mereka masih banyak yang menggunakan kebaya plus kain yang menutup rapat tubuh.

Melihat kondisi kayak gitu, apakah masih relevan keinginan Sutradara kita tadi buat membubarkan LSF?

Demi moral dan attitude masa depan anak-anak, terutama anak-anak kami, gw lebih setuju dengan Dosen gw: Pak Hartono SH, MH. Bahwa negara kita masih belum normal atau abnormal. Selama negara Indonesia belum menjalankan aturan secara benar, maka meniadakan LSF adalah tindakan bodoh. Intinya, ada LSF aja moralitas bangsa ini udah “hancur lebur”, apalagi nggak ada sensor. Apakah cuma dengan parental guide, penonton kita bisa terseleksi? Apakah yakin film yang harusnya ditonton oleh orang dewasa nggak bakal ditonton anak-anak? Memang yakin 100% parental guide bisa memininalisir cerita-cerita yang mengajarkan soal free sex atau kekerasan? I don’t think so!

Selama pembajakan masih merejalela, perfilman yang nggak lewat lembaga sensor, sama aja bohong. Anak-anak bisa dengan mudah mendapatkan DVD bajakan. Wong sekarang ini aja kita mudah mendapatkan DVD porno dimana-mana. Pengrebekan-pengrebekan yang dilakukan oleh Aparat cuma basa-basi dan nggak konsisten. Musim-musiman aja. Ini gw perhatikan di kota atau pusat perbelanjaan yang menjual DVD-DVD bajakan. Para Penjual DVD bajakan udah tahu kalo akan ada pengrebekan. Begitu info tersebar, pagi-pagi toko DVD bajakan tutup. Eh, esok harinya buka lagi. Dasar!

Sejatinya lembaga semacam LSF tetap dibutuhkan. Namun yang kudu dilakukan sesungguhnya adalah pengawasan. Pengawasan terhadap apa? Ya, terhadap LSF. Jangan sampai LSF ditendensikan cuma sebagai lembaga yang bisa kongkalikong dengan Produser. Kalo memang sebuah film atau program televisi akan mengganggu stabilitas sosial, misalnya mengajarkan free sex, kekerasan, atau kesadisan, ditolak mentah-mentah aja. Nggak perlu direvisi, tapi komit buat ditolak. Kalo diprotes oleh si Sutradara-nya, ya kita persilahkan Sutradaranya itu memutarkan filmnya di negara lain atau buat kalangan terbatas.

Soal 80% sinetron kejar tayang nggak punya STLS, seharusnya ditindak tegas. Kalo komit dengan UU no 8 tahun 1992, di Pasal 40 huruf c menyebutkan: barangsiapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukan dan/ atau menayangkan film yang tidak disensor dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Sedangkan Pasal 41 huruf b menyebutkan: barangsiapa mengedarkan, mengekspor, mempertunjukan atau menayangkan reklame film yang tidak disensor diancam pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Tuh, bayangkan! Kalo tendensi soal kongkalikong antara LSF dan Produser film atau televisi nggak terjadi, barangkali LSF tetap akan kaya. Hitung aja jumlah sinetron kejar tayang dan dikali denda yang kudu dilakukan pihak production house, ya nggak? Tapi sayang, UU cuma simbol. Karena UU bisa dikalahkan oleh UUD. Apa lagi kalo bukan Ujung-Ujungnya Duit! What a pitty!


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Tuesday, July 21, 2009

WELCOME TO THE REAL WORLD

Siang itu Sasana Budaya Ganesa (Sabuga) penuh mobil. Ada mobil berwarna merah, kuning, dan hijau. Ada pula yang berwarna pink. Ada mobil Toyota, Honda, maupun Nissan. Mobil-mobil itu nggak cuma berplat "D", tapi ada yang plat "B", "F", bahkan "DK". Saking penuhnya, mobil-mobil yang datang telat, dipersilahkan parkir di sepanjang jalan Siliwangi dan Tamansari yang kebetulan mengelilingi Sabuga. Nggak heran dua jalan itu sempat macet-cet! Oleh karena itu mari kita menyanyikan lagu Gara-Gara Si Komo Lewat karya Kak Seto Mulyadi.

Macet lagi, macet lagi
Gara-gara si Komo lewat



Di Sabuga inilah lahir Teknokrat-Teknokrat handal, Seniman-Seniman berkualitas, dan tentu saja Joki-Joki profesional. Eh, maaf banget! Bukan Joki, tapi Pengusaha yang bervisi global.

Sabtu itu, Institut Teknologi Bandung (ITB) memang sedang mewisuda 1475 wisudawan dari berbagai Fakultas. Kebetulan gw berada di tengah-tengah para wisudawan itu. Oh bukan, bukan gw yang diwisuda. Yang diwisuda adalah keponakan gw yang luar biasa. Bisa jadi sarjana cuma tiga tahun! Sementara temen-temannya, termasuk (maaf!) saudara-saudaranya banyak yang masih betah berkampus-kampus ria. Nggak heran kalo keponakan gw ini lulus dengan predikat cum laude dari Fakultas Seni Rupa ITB.


Jalan Siliwangi yang macet banget. Bukan gara-gara si Komo lewat, lho! Tapi Kak Seto yang lewat. Eh, bukan ding! Maaf ya Kak Seto. Gara-gara wisuda, cong!

Kalo ngelihat suasana wisuda, rasa-rasanya gw pengen diwisuda lagi, deh. Betapa tidak, wajah-wajah ceria terpampang di tampang para wisudawan. Yaiyalah, masa wajah-wajah kucel atau bete? Mereka kayak terbebas dari jerat-jerat asmara, eh maksudnya jerat-jerat mata kuliah yang sebelumnya merong-rong hidup mereka selama ini. Gw bisa merasakan kebebasan mereka sebagaimana gw ketika diwisuda dulu. Sudah terbayang di otak gw, tiap hari nggak perlu ngerjain tugas-tugas lagi. Tiap semester nggak perlu mikir mau ambil mata kuliah apa lagi. Dan tiap mau lulus, nggak perlu berkonsultasi lagi Dosen Killer lagi. Enak tenan!

Tapi apakah tujuan kita diwisuda cuma pengen meninggalkan bayang-bayang perkuliahan kayak gitu? Ah, rasa-rasanya enggak begitu. Ketika melihat acara wisuda Sabtu lalu itu, gw malah kangen dengan masa-masa di kampus dahulu kala. Nongkrong 24 jam non-stop, nyanyi dengan suara dan lagu yang nggak jelas, main teater, pacaran, nyapu halaman kampus, ngepel, nyuci baju, bikin kue merupakan rutinitas yang nggak bakal dilupakan. Maaf, empat aktivitas terakhir tadi itu nggak pernah gw lakukan, kok.

After wisuda, justru ada banyak setumpuk pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Apa itu? Ya, setelah itu elo mau kemana? Mau nganggur atau cari kerja? Mau langsung kawin atau pacaran dulu? Ada yang mau leye-leye alias santai dahulu setelah tiga sampai lima tahun kuliah. Biasanya, wisudawan model begini belum punya planning mau ngapain. Biasanya, lho. Ada juga yang udah punya planning kerja dan enaknya kerja di perusahaan Nyak-Babenya atau punya modal dan bikin usaha. Tapi kalo yang belum punya rencana, leye-leye dulu.


Keponakan gw dan teman-temannya. Kegembiraan di tengah hari wisuda. After that, apa rencanamu? Kerja, berbisnis, atau malah kawin?

Welcome to the real world! Selamat datang di dunia sesungguhnya, dimana kita berada di lingkaran. Habis lahir, disuruh sekolah. Kelar TK, disuruh masuk SD, SMP, dan SMU. Kelar SMU, kuliah. Udah kelar kuliah, masih kudu mikir buat kerja atau usaha. Udah punya uang sendiri, dipaksa kawin. Udah kawin, digodain orangtua dan saudara-saudara buat punya anak. Udah punya anak satu, dituntut supaya punya anak kedua. Pokoknya, kita udah kayak mesin. Tapi itulah real world!

Back to soal pengalaman gw bersama para wisudawan ITB. Ada yang punya rencana, ada yang enggak. Ada yang diwisuda, ada yang di-drop out (DO). Nah, soal DO ini, terus terang real world! Tapi sangat kontradiktif dengan apa yang gw lihat dari Perguruan Tinggi Negeri kayak ITB ini. Kenapa? Kompas, Sabtu, 18 Juli 2009 menulis di headline: 11 Mahasiswa ITB Terancam DO. Kontradiktif bukan?


Adegan cebur-menceburkan para wisudawan masuk ke dalam kolam yang ada di depan jurusan Farmasi. Kolam ini memang jadi spot paling favorit buat adegan cebur-ceburan. Nggak cuma pas wisuda, tiap ada yang ultah, ada juga yang diceburin. "Kolam Indonesia Tengelam", begitu nama kolam ini. Di tengah kolam ada air mancur dan dasar kolam ada peta Indonesia. Sementara di pingir kolam, nama semua jurusan di ITB.

Di tengah kegembiraan 1475 wisudawan di Sabuga, ada 11 mahasiswa yang di-DO. Kesebelas mahasiswa yang berasal dari 6 jurusan (Teknik Kimia, Material, Mesin, Metalurgi, Pertambangan, dan Geofisika) ini terlibat kasus penjokian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri di Makassar, Sulawesi Selatan. Lewat sidang tertutup yang dipimpin oleh Ketua Penegakan Norma Kemahasiswaan ITB, Nanang T. Puspito, akhirnya dari 16 mahasiswa yang diduga jadi joki direkomendasikan buat di-DO.

“Yang pelaku langsung (11 orang) kemungkinan besar tetap drop out. Malahan kata Pak Rektor (ITB), kalau perlu mereka di-DO sampai lima kali,” ungkap Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni ITB, Widyo Nugroho (Kompas/18/07). “Sebab ini pelanggaran superberat. Bukan hanya itegritas ITB yang dirusak, melainkan juga sistem seleksi nasional secara keseluruhan”.

Lagi-lagi masalah uang dan kemiskinan. Itulah alasan mengapa ke-11 mahasiswa mau menjadi joki. Dengan iming-iming Rp 30 juta, mahasiswa-mahasiswa asal Makassar itu nekad melakukan tindak “kriminal”. Siapa sih yang nggak tergiur dengan uang Rp 30 juta? Gini hari gitu, lho! Siapa pula orang yang nggak pengen masuk ke ITB cuma dengan modal 30 juta?


Kasus penjokian 11 mahasiswa mencoreng almamater ITB. Tapi sesungguhnya nggak 100% joki yang salah. Yang memberikan order atau menerima order joki pun juga salah. Ibaratnya, nggak mungkin ada orang yang menerima sogokan kalo nggak ada orang yang menyogok, ya nggak?


Terus terang, gw nggak menyalahkan 100% ke-11 joki itu. Kenapa? Menurut gw, baik yang jadi joki maupun pemberi order buat menjoki sama “kriminal”-nya. Ini mirip kayak slogan: orang yang menerima uang suap dan yang menyuap, sama-sama dikategorikan kejahatan. Nah, seharusnya orangtua yang memberikan order ke para joki juga dihukum. Ini supaya fair. Tapi Undang-Undang-nya memungkinkan buat menjerat para orangtua itu nggak ya?

Memang nggak ada orangtua yang bangga punya anak yang bisa kuliah di ITB. ITB gitu, lho! Bahkan banyak calon mahasiswa yang pingin masuk ITB, bela-belain ikut kursus agar bisa diterima di ITB. Gokilnya, kursus-kursus tersebut biayanya bisa mencapai puluhan juta. Ada kursus merangkai bunga, memasak, melukis, bernyanyi, dan pidato. Eh, bukan kursus kayak gitu ding! Pokoknya kursus deh! Kalo mau masuk seni rupa ITB, ya kursus menggambar. Kalo mau masuk matematika, ya kursus Kumon. Nah, kayak-kayaknya, para orangtua yang memberikan order pada para joki itu pengen anak-anak mereka benar diterima di ITB. Apalagi Fakultas Teknik Kimia, Material, Mesin, Metalurgi, Pertambangan, dan Geofisika di ITB dianggap terbaik.

Once again, welcome to the real world. Ada orang kaya yang anaknya pengen banget masuk ITB. Mereka rela mengeluarkan uang berjuta-juta, apalagi cuma Rp 30 juta. Hitung-hitung investasi di bidang pendidikan. Lalu ada anak-anak orang miskin yang kebetulan mahasiswa pintar dari ITB. Mereka butuh uang buat kost dan makan sehari-hari. Ada pula yang butuh uang buat pulang kampung ke Makassar. Baik orang kaya dan orang miskin saling bersinergi satu sama lain. So, nggak heran kalo timbul kasus penjokian.

Anyway, bagi ITB kasus penjokian ini jelas membuat malu almamater ITB. Kasus ini termasuk terburuk sepanjang kurun waktu 15 tahun terakhir. Kasus penjokian di ITB pernah terjadi tahun 1994. Semua mahasiswa yang terlibat waktu itu langsung di-DO. Nah, moga-moga wisudawan yang belum kepikiran cari kerja atau bikin usaha, nggak tergiur buat jadi joki ya? Memang sih nggak bakal di-DO karena udah jadi Sarjana. Tapi be carefull, bisa-bisa sang Rektor bakal mencabut gelar kesarjanaan kalo jadi joki.

“Mending jadi joki 3 in 1 aja. Nggak perlu ikut ujian,” kata teman gw.

“Halah!”

“Lah, memang gitu kan? Tugasnya cuma menyetop mobil-mobil yang pengen dijokiin?”

“Jadi joki 3 in 1 juga termasuk tindakan kriminal, karena membohongi Polisi...”

“Ah, itu mah Polisi aja yang rada-rada. Coba kalo Polisi-Polisi itu periksa dengan detail siapa Penumpang di dalam mobil 3 in 1, pasti yang ada di samping sopir 99% adalah joki. Nah, kalo ketahuan joki, ya please go head di-DO kan saja...”

“Siapa yang di-DO?”

“Ya, jokinya dong. Nggak mungkin Polisinya kan?”

“Ngawur!”


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Monday, July 20, 2009

RANCAKENDAL, BANDUNG: TEMPAT JIN BUANG ANAK?

Soal jin buang anak ternyata bukan cuma di Jakarta. Di Bandung Utara, ada sebuah lokasi yang juga sempat mendapat julukan itu. Soalnya, di tahun 80-an tempat yang berada di perbukitan Dago ini ogah dijadikan pemukiman oleh warga Bandung sendiri. Namun gara-gara warga pendatang, terutama orang-orang Jakarta, tempat jin buang anak ini “disulap” menjadi salah satu lokasi eksotik dan muahal.

Lokasi itu bernama Rancakendal. Menurut Ibu Sutantra, salah seorang warga yang sudah tinggal di Rancakendal tahun 80-an, lokasi ini awal-awalnya memang nggak menarik. Bukan menjadi pemukiman elit dan tempat nongkrong paling asyik seperti sekarang ini. Padahal view-nya keren abis! Maklum, lokasinya paling tinggi dibanding dengan wilayah Bandung lain. Kalo Bandung Selatan cuma kurang lebih 675 dpl (di atas permukaan laut), Bandung Utara kurang lebih 1050 dpl. Ini artinya, Bandung Utara lebih dingin.


Ini jalan raya Kupa, Dago yang masih di wilayah Rancakendal. Dahulu tempat jin buang anak, eh sekarang jadi lokasi eksotik yang banyak ditempati Pendatang.
“Tahun 80-an mah masih sepi,” jelas Ibu Sutantra. “Dulu mana mau taksi masuk ke wilayah ini. Sudah jauh dari kota Bandung, gelap, sepi pula.”

Belum ada literatur yang membahas soal sejarah wilayah Rancakendal, Dago ini. Namun menurut Ibu Sutantra lagi, perkembangan wilayah ini nggak bisa lepas dari pembangunan kompleks dosen Universitas Padjajaran (Unpad) di kelurahan Cigadung di tahun 70-an. Di tahun itu, konon banyak Dosen yang ogah tinggal di komplek itu. Maklum, jauh banget dari lokasi kampus Unpad sendiri yang berada di Dipatiukur. Sudah jauh, untuk menuju ke kompleks dosen, kudu melewati pepohonan yang ada di kiri-kanan yang masih rimbun. Kebayang dong kayak menembus hutan nan gelap. Apa kata dunia ketika seorang Dosen baru pulang dari kampus Unpad sore menjelang malam dan kudu melewati rimbunan pohon-pohon yang menyeramkan itu?

Lambat laun sejumlah warga pendatang tinggal di Cigadung. Satu demi satu warga membuka lahan. Nggak heran kalo kemudian pohon-pohon yang menyeramkan itu dibabat dan dijadikan tempat tinggal. Perkembangan ini juga terjadi di kompleks dosen Unpad. Dari kompleks dosen jilid pertama, di tahun 80-an kemudian dibuka kompleks Unpad jilid kedua.

Untuk mencapai kompleks dosen Unpad sebenarnya relatif mudah. Begitu keluar dari tol Pastuer, kita tinggal lurus menuju ke arah Ir. Juanda. Sebaiknya Anda lewat fly over Pasupati supaya nggak terkena traffic light. Kalo Anda nggak mau lewat fly over juga nggak apa-apa sih! Nggak ada yang melarang. Nah, begitu papan petunjuk ada tulisan Ir. H. Juanda, Anda turun dan belok kiri menuju ke arah ke jalan Tubagus Ismail. Jalan Tubagus Ismail ini cukup panjang. Ada tanjakan, ada jalanan yang menurun, melewati RS Khusus Ginjal Ny. RA Habibie. Tapi be carefull, jangan terlewat jalan ke Cigadung Raya. Ancer-ancer masuk ke Cigadung adalah Warung Ampera yang ada di kanan jalan. Nah, persis di depan Warung Ampera itulah jalan Cigadung Raya Barat. Kalo sudah menemukan jalan Cigadung Raya Barat, Anda sudah dekat dengan kompleks dosen Unpad. Tinggal cari plang bertuliskan kompleks Dosen Unpad dan cari nama jalan yang Anda tuju deh.

Ada nama jalan Ekologi, Sosiologi, Anatomi, sampai jalan Konstitusi. Nama-nama jalan di kompleks Dosen Unpad memang mengacu pada nama mata kuliah. Itu kalo Anda mau ke kompleks Unpad I. Kalo mau menuju ke kompleks Unpad II, Anda bisa dari arah Dago, bisa pula masuk dari kompleks Unpad I. Caranya? Keluar kompleks Unpad I dan cari jalan Cigadung Raya lagi. Ada papan petunjuk yang agak nyempil sebagai petunjuk perumahan dosen Unpad II.

Sekarang ini, Anda pasti akan takjud melihat kompleks Unpad. Kenapa? Rumah-rumahnya bagus-bagus, bo! Mirip kayak rumah-rumah di kompleks tempat saya tinggal di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Dimana konsep mayoritas rumah di kompleks Dosen Unpad itu bergaya Mediteranian atau modern minmalis. Awalnya saya curiga, sejak kapan Dosen bisa punya rumah yang rata-rata seharga Rp 1 miliar ini? Jangan-jangan mereka banyak yang terlibat korupsi?

Beruntunglah sikap tendensius saya berakhir. Saya jadi nggak terus-terusan berdosa gara-gara menuduh yang bukan-bukan. Kami beruntung sempat tinggal di kompleks dosen Unpad ini ketika liburan ke Bandung lalu. Menurut Ibu Malayati Hasan, rata-rata pemilik rumah di kompleks ini bukan Dosen. Artinya, udah pindah tangan ke orang yang bukan dosen.

“Rumah kami ini aja dari tangan kedua,” kata Ibu Mala yang punya rumah di ujung jalan Alfa, kompleks dosen Unpad II. Maksudnya Ibu Mala “tangan kedua”, ya sebelum rumah yang ditempatinya sekarang ini, ada orang lain yang punya rumah ini dan orang itu bukan pula dosen Unpad.


Ini rumah tempat kami menginap di Bandung, yang lokasinya berada di kompleks Dosen Unpad. Sekarang ini mayoritas Penghuni kompleks Dosen adalah Pendatang. Gw yakin nggak mungkin Dosen punya rumah sebagus ini, kecuali....Yang jadi pertanyaan gw, kenapa ya rumah-rumah untuk dosen bisa dijual? Ini termasuk penjualan aset negara nggak sih?

Warung Lela (selanjutnya saya singkat dengan nama Wale) termasuk “membantu” menumbuhkan wilayah Rancakendal. Ngomong-ngomong Anda sudah kenal dengan Wale ini? Sudah pernah mencoba mie ayam yamin yang nikmat itu? Kalo belum, sebaiknya Anda ke Bandung sekarang juga dan langsung mencoba mie ayam Wale sambil menikmati bukit Dago dari sebuah kursi kayu yang ada di Wale.

Tapi baiklah, saya akan cerita singkat soal Wale ini. Menurut Ibu Sutantra, Wale termasuk pioner perkembangan pemukiman Rancakendal, termasuk pertumbuhan tempat makan di sekitar situ. Sebelum ngetop seperti sekarang ini, Wale cuma sebuah warung kecil, lebih tepatnya kayak kantin rumahan.

Ibu Lela adalah pendatang di wilayah Rancakendal, tepatnya di jalan Kupa, Dago. Memang sih dia asli Bandung. Nah, bersama sang suami yang berdarah Jawa, Ibu Lela membuka warung dengan nama dirinya: Warung Lela, yang menjual mie ayam dan jeruk peras. Oleh karena daerah tersebut belum banyak penghuninya, belum banyak orang yang berkunjung ke Wale. Boro-boro berkunjung, kenal Wale aja belum banyak kok. Nggak heran kalo di awal-awal memasarkan kehebatan mie ayam yaminnya, Ibu Lela ngider dari rumah ke rumah. Dia bersedia mengantarkan mie ayamnya, meski yang mengorder rumahnya jauh.


Ini view dari Warung Lela. Sambil menyantap mie, melihat panorama bukit Dago yang udah mulai gundul.
Lambat laun, kelezatan Wale dikenal luas. Nggak cuma di sekitar Rancakendal, tapi sampai ke Bandung kota. Kini Wale sudah dikenal oleh mereka yang seringkali wisata ke Bandung. Dari warung yang di cuma berada di dalam sebuah rumah BTN, Ibu Lela kemudian membeli tanah buat memperluas warungnya. Jadi kalo nggak kebagian tempat makan yang bisa menghadap view perbukitan, Anda bisa makan di seberang Wale original yang ada di samping masjid itu.

“Kalo sekarang mah udah nggak mau mengantar mie ayam ke rumah-rumah,” kata Ibu Sutantra. “Alasannya banyak tamu.”


Ini mie ayam yamin Wale yang dahsyat banget. Dahulu Ibu Lela masih mau anter mie ini dari rumah ke rumah. Warungnya pun masih tipe BTN. Sekarang mah udah sombong. Maklumlah sibuk melayani Costumer yang membludag saban hari.
Memang sih, Pengunjung Wale tiap hari membludag. Jangankan di weekend, pas weekdays pun Wale selalu kebanjiran Costumer. Mobil-mobil berderat sepanjang jalan Rancakendal dan seringkali memacetkan. Kalo sudah weekend, mobil-mobil berplat nomor B berderat di samping masjid. Mereka ingin merasakan kenikmatan mie ayam yamin yang nikmat itu. Terus terang, sekali merasakan timbul kangen dan ingin merasakan lagi. Jadi kalo tiap ke Bandung belum menikmati mie yamin Wale seharga 8 ribu perak, ada sesuatu yang hilang.

Keberhasilan Wale inilah yang kemudian menginspirasi para Pendatang lain yang mencoba mengadu nasib dengan membuka usaha di wilayah Rancakendal ini. Kalo saya hitung, ada kira-kira sepuluh restoran atau tempat nongkrong di situ. Antara lain Roemah Payung, Roemah Kopi, Damar Cafe, Boemi Joglo, dan yang sekarang menjadi sasaran tempat makan dan lagi happening adalah Congo.

Kalo Wale cocok buat breakfast dan lunch, Congo cocok buat dinner. Sebenarnya Congo juga buka sih siang hari. Tapi kebetulan saya dan keluarga datang ke situ malam hari dan suasananya kayak-kayaknya lebih matap. Ini terbukti dengan Costumer yang hadir di situ cukup penuh. Mungkin karena weekend kali ya? Saya perhatikan nggak ada meja kosong. Setiap meja ada Costumernya. Begitu kami meninggalkan meja pun, sudah ada Costumer baru. Padahal saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 21:15 wib.

Congo sebenarnya nggak cuma restoran. Konsep tempat ini adalah serba kayu. Baik meja dan kursi, semua terbuat dari kayu. Pemilik Congo ini memang seorang Pengusaha mebuel yang terbuat dari kayu. Nggak heran kalo di restoran itu ada sebuah alat pengergajian kayu yang cukup besar. Alat ini diletakkan di depan ruang pamer mubuel yang menghadap ke perbukitan itu.

Terus terang saya nggak menemukan makanan khas Congo. Makanan yang ada di situ masuk kategori di bawah sedikit makanan berkategori enak. Kalo dikatakan rasanya standard, kayaknya nggak juga. Kalo dibilang enak, nanti Pemilik Congo jadi kege’eran. Jadi lebih baik lumayan menuju enak deh. Beda kayak Wale yang ada spesialisasi makanan, yakni mie ayam yamin. Nah, kayak-kayaknya di Congo ini yang diandalkan paling utama, ya suasana yang relatif enak. Dengan hawa dingin pengunungan di Rancakendal, Anda bakal menikmati kesegaran sop buntut plus minuman bandrek yang menghangatkan perut.

Kini wilayah Rancakendal bukan lagi tempat jin buang anak. Perkembangan wilayah ini begitu pesat. Rumah-rumah baru bertumbuhan di sepanjang jalan yang berbukit-bukit itu. Saking bertumbuh, blue print analisa dampak lingkungan (Amdal) sudah nggak dipedulikan lagi. Percaya nggak percaya, nggak lebih dari lima tahun ke depan, penduduk asli menjadi warga minoritas di situ. Mayoritas warga adalah pendatang.

“Makanya tanah di sini sudah mahal,” ujar Ibu Sutantra. Ketika tinggal di Rancakendal tahun 80-an, tanah masih sekitar Rp 100 ribu sampai 300 ribuan. Kini nilai jual objek pajak (NJOP) sudah mencapai Rp 1-1,5 juta per meter persegi. Mahal? Tergantung! Kalo Anda sudah pernah melihat potensi perkembangan di wilayah Rancakendal ini, harga tanah segitu kayak-kayaknya relatif murah. Anda bukan membeli tanah, tapi membeli suasana. Ya, hitung-hitung investasi.


Gara-gara kolusi, banyak pendirian bangunan di wilayah Rancakendal nggak mengikuti Amdal. Nggak heran kalo persawahan udah terdesak eksistensinya. Pohon-pohon yang ada di bukit pun banyak yang digunduli. Lihat saja lima tahun dari sekarang, wilayah ini udah semakin padat dan nggak asri lagi.
Namun saran saya, kalo Anda berniat membeli tanah dan mendirikan rumah, please jangan pernah “melecehkan” Amdal di sekitar situ. Soalnya, ada sebuah hotel yang berdiri di perbukitan Rancakendal yang melanggar Amdal. Kata Ibu Sutantra, sebelum hotel itu berdiri, Pakar lingkungan asal Bandung, (alm.) Prof. Dr. Ir. Otto Soemarwoto sempat menolak. Namun sang Gubernur justru marah besar dangan analisa Otto. Beliau sempat gebrak meja rapat segala gara-gara “ulah” Prof. Otto. Akhirnya, hotel itu pun diizinkan berdiri. Tentu Anda nggak ingin menjadi musuh lingkungan bukan? Kalo bukan Anda, siapa lagi manusia yang mau menyelamatkan bumi ini?


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Tuesday, July 14, 2009

BUKAN BERMAKSUD SOMBONG

Menjadi orang Betawi ternyata berguna juga. Udara yang panas dan kering, menyebabkan diriku terbiasa. Mau suhu 35 derajat kek, apalagi cuma 25 derajat udah lazim gw dapatkan di Jakarta ini. Ya, begitulah suhu udara Jakarta yang nggak menentu. Kadang panas banget, kadang setengah panas. Kalo dingin mah nggak pernah kayaknya, kecuali kita lagi di sebuah ruang ber-AC atau mobil berpenyejuk udara. Itu pun kadang-kadang nggak menjamin, ya nggak?

Beberapa waktu lalu, dalam rangka mengajak liburan anak-anak, buat kedua kalinya gw merasakan kenikmatan ber-sauna di hotel berbintang lima di Jakarta. Elo-elo tahu kan apa itu sauna? Maaf lho, bukannya mau bersombong-sombong ria, gw cuma mau mengingatkan aja. Sauna adalah berpanas-panasan di dalam sebuah ruangan, dimana ending-nya body kita akan mengeluarkan keringat. Selain keringat, racun-racun dalam tubuh akan keluar pula bersama keringat itu. Tubuh kita akan fit kembali.


Maaf bukan mau melakukan aksi pornografi, tapi cuma sebagai bukti gw melakukan adegan sauna di salah satu hotel bintang lima. Jadi orang kaya sehari gitu deh! Konon suhu di dalam kamar kayu itu adalah 80 derajat celcius.

“Kalo racun-racun keluar bersamaan dengan keringat kita, berarti mereka yang bersama-sama sauna akan terkena racun orang lain dong?”

“Ya, enggak lah yau!”

“Lah, logikanya bukan begitu? Racun keluar dari tubuh kita dan tubuh orang lain via keringat. Jadi cuma tuker-tukeran racun. Racun gw yang keluar, masuk ke tubuh orang yang bersauna dengan gw. Sebaliknya racun dari orang lain hinggap di tubuh gw. Ya, nggak?”

“No comment!”

Dahulu kala sauna adalah bagian dari pelengkap ritual. Yakni ketika ribuan tahun lalu, dimana Raja-Raja di Roma, Mediterania, Rusia, dan India melakukan mandi sauna sebagai budaya dan pelengkap ritual.

Konon mandi sauna memiliki ragam manfaat bagi kesehatan. Selain tadi menghilangkan racun yang ada di dalam tubuh, juga bisa membantu melangsingkan tubuh. Maklumlah, udara yang panas di dalam ruang itu mampu membakar kalori hingga 300-400 kalori. Ini kalo kita mau berpanas-panasan selama 20-30 menit.


Ini batu jenis volkanis yang bikin panas suhu di ruangan. Hati-hati jangan pernah mengambil batu volkanis ini buat main dampu atau main timpuk-timpukan. Biarkanlah batu ini tinggal di situ memanasi seluruh isi ruangan. Oh iya, batu volkanis ini dibantu oleh kayu, listrik, dan gas agar tetap panas.

Sauna juga mampu melancarkan sirkulasi darah. Asam laktat yang menumpuk pada otot ikut terbawa arus. Sehingga otot jadi lebih rileks. Ini termasuk otot yang ada di otak. Kita jadi nggak stres lagi. Masalah kita tiba-tiba hilang. Baik masalah hutang, maupun masalah kemacetan di jalan raya. Tapi hal itu bukan berarti kita bakal bertemu lagi dengan masalah hutang atau kemacetan. Begitu keluar ruang sauna, hutang loe bakal ditagih sama Debt Collector dan jalan Jakarta tetap aja macet.

“Mending di dalam sauna aja terus kali ya?”

“Yang ada badan loe bakal mencair, tahu?!”

“Es krim kaleee mencair!!!!

Uap panas yang terjadi di ruang sauna, mampu membuka pori-pori kulit. Ini yang kemudian bisa mengeluarkan racun dan kotoran dari dalam tubuh. Bukan kotoran dari pantat, lho! Kalo kotoran dari pantat, itu namanya pup. Nah, efek dari pori-pori yang terbuka ini menyebabkan kulit menjadi lebih bersih dan kencang.

“Berarti sauna cocok buat gw yang jerawatan ini ya?”

“Wah, kalo elo mah jerawatnya udah susah dihilangkan. Mending diamplas aja!”

“Ide yang bagus tuh! Tapi muka elo dulu ya yang diamplas sebagai percobaan...”

“...”

Sauna cuma boleh dilakukan buat orang-orang normal. Maksudnya orang dalam kondisi tertentu nggak boleh ber-sauna. Lagi hamil, misalnya. Atau mereka yang memiliki masalah dengan pernafasan. Kenapa? Biasanya orang yang terganggu nafasnya, akan megap-megap begitu keluar dari sauna. Semacam bronchitis gitu deh. Ini berbahaya! Bisa-bisa orang ini kena serangan fajar, eh serangan jantung.


Ini ember berisi air. Ada gayung yang terbuat dari kayu yang fungsinya buat ambil air yang ada di ember itu. Yaiyalah! Orang bego juga tahu kali gayung buat ambil air. Mana ada gayung buat ambil duit? Buat ambil duit ya ATM. Oh iya, air itu buat disiramkan ke batu volkanis yang ada di situ, supaya panasnya tetap terjaga.

Ada tips buat mereka yang mau bersauna, sebaiknya minum sebelum masuk ke ruang sauna. Kalo elo nggak minum, ngerinya akan mendapat dehidrasi. Maklumlah, keringat yang keluar itu berarti jumlah air yang ada di dalam tubuh kita jadi berkurang. Kalo udah selesai bersauna, minum lagi. Lalu, duduk atau berbaringlah sejenak selama 10 menit. Atur nafas agar kembali normal.

Ah, ternyata bersauna itu enak tenan! Selain keuntungan secara kesehatan, gw merasa jadi orang kaya. Bukan bermaksud sombong, lho my friends. Kebayang dong, cuma buat cari keringat, kita berpanas-panas ria di dalam ruang. Padahal gw udah terbiasa kena matahari. Maklum, biasa naik kendaraan umum atau sekarang lagi doyan naik sepeda. Kalo orang kaya kan mana pernah mau berpanas-panasan? Hidup orang kaya cukup turun dari mobil, masuk gedung, dan masuk ruang kerja, dimana semua itu berhawa dingin. Ada penyejuk udara di mobil. Ada AC di gedung maupun ruang kerja. Sementara di ruang sauna, panas cong! Menurut Petugas sauna di hotel tempat gw nginap, hawa di dalam ruang sauna mencapai 80 derajat celcius. Duapuluh derajat lagi, gw bisa mendidih.


Lihatlah keringat di body gw ini. Mantab banget, Bro! Gw merasa sehat, segar, dan muda kembali. Konon katanya seluruh penyakit yang ada di tubuh gw hilang dan menyebar ke tubuh orang lain. Ah, enggak kok! Yang namanya bakteri pasti akan mati kalo ada di suhu panas. So, don't worry bersauna ria.

“Itung-itung merasakan berada di dalam Neraka!”

“Enak aja! Elo tuh yang masuk bakal Neraka! Karena udah membohongi rakyat pas kampanye pemilihan anggota legislatif kemarin. Kalo gw mah pasti masuk ke.....(berpikir keras)”


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Wednesday, July 8, 2009

MEMILIH KEPALA NEGARA DARI BAWAH KOLONG JEMBATAN

Setidaknya lebih dari 50% suara rakyat akhirnya memilih Kepala Negara yang konon kata sebagian besar orang berhaluan neoliberalis. Kalo pun ada banyak kecurangan, angka 50% kayak-kayaknya udah mewakili apa yang diinginkan mayoritas rakyat. Rakyat ternyata lebih memilih “lanjutkan” ketimbang “lebih cepat lebih baik” atau Capres yang berteriak-teriak soal ekonomi kerakyatan.

Buat gw yang memilih, ternyata rakyat nggak peduli dengan isu-isu neolibealis atau bahkan soal istri Cawapres yang non-muslim. They don’t care much! Mereka tahu apa yang mereka mau. Kok kayak slogan iklan produk minuman ya: “kutahu yang kumau”? Tapi memang kayak-kayaknya begitu. Hantaman-hantaman yang di-“tinju”-kan ke wajah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono nggak ngaruh. Aneka black champagne yang memojokkan mereka pun membuat langkah SBY tetap lancar menuju kursi Istana kembali.

Gw yakin seyakin-yakinnya, masih banyak kecurangan. Entah itu soal Daftar Pemilih Tetap (DPT) bermasalah lah, maupun serangan fajar lah. Namun sekali lagi, kemenangan SBY-Boediono tetap harus diakui. Bukankah masing-masing Capres-Cawapres udah menyatakan diri: “siap menang, siap kalah”? Bukankah KPU juga udah mempermudah Pemilih yang nggak masuk DPT boleh memilih dengan menggunakan KTP dan Kartu Keluarga? Yang terjadi justru sebaliknya. Capres-Capres tetap aja nggak siap kalah. Bahkan ada Cawapres yang ngotot, bahwa dirinya seharusnya bisa tampil sebagai pemenang. Weleh! Weleh! Kok kita ini selalu menjadi manusia yang nggak pernah punya sikap legowo ya? Mbok akui saja kalo memang kalah, ya kalah. Titik!


Mumpung siang nggak dagang, lokasi dan peralatan dagang mereka dipergunakan buat lokasi TPS. Jangan jangan heran, memilih Kepala Negara yang bakal memimpin bangsa ini di tenda biru.

Baiklah, kalo memang curang. Apakah kecurangan itu melampaui angka 50%? Gw nggak yakin benar angka segitu. Masa dari 200-an juta penduduk Indonesia, separuhnya punya pikiran curang? Kalo memang 50% orang curang, paling tidak masih ada 50% lagi yang benar-benar mencontreng dangan suara hati, ya nggak? Masih nggak puas juga? Baiklah yang curang dinaikkan menjadi 60%. Artinya, masih ada 40% lagi yang memilih SBY-Boediono. Sisanya, 60%, dibagi-bagi ke dua pasangan Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto. Masih belum puas juga? Masya Allah! Manusia memang nggak ada puas-puasnya ya? Gokil! Bahlul!

Once again, tulisan ini bukan bermaksud membela SBY-Boediono, lho! Gw cuma melihat dari kacamata Pemilih yang nggak mau menggunakan hak pilihnya. Seorang Golput yang mensikapi sebuah kemenangan dari Pemilihan Presiden (Pilpres) dalam pemilihan langsung yang kedua kalinya. Gw cuma berusaha (yang tentu sulit sekali direalisasikan) mengajak Capres-Cawapres yang kalah untuk legowo. Membantu rakyat nggak harus jadi Presiden kok! Banyak tokoh besar yang justru dikagumi gara-gara peduli pada rakyat miskin. Michael Jackson, misalnya.

Terlepas dari tudingan pedofil atau manusia yang paling nggak percaya diri di jagat ini, Michael Jackson adalah something. Lewat karya musiknya, dia membantu banyak rakyat miskin. Tengoklah karya We are the World yang menyihir dunia untuk melihat kelaparan di Etophia, Afika. Dimana seluruh hasil penjualan album itu disumbangkan ke negara itu. Simaklah lirik Heal the World yang mengkumandangkan kata-kata “selamatkan bumi, selamatkan orang-orang yang hampir mati”. Bukankah itu lebih elegan dibanding menelurkan isu neliberalis atau non-muslim?

Soal neolibelis, ada reverensi baru yang gw dapatkan yang ditulis oleh Mahmud Syaltout, Peneliti pada Centre de Dreoit International, Europeen et Compare (CEDIEC), Universite Paris 5. Dalam tulisan berjudul Pilpres: Menakar Visi Politik Pembangunan (Kompas, Sabtu, 4 Juli 2009), Syaltout berpendapat, neolibelisme justru sebagai resep ampuh pembangunan di seluruh dunia. Dia heran, neolibelis kenapa dianggap “kafir” oleh sebagian besar orang. Padahal, pada tahun 1791 sampai 1860, Amrik yang sering diasosiasikan sebagai negeri asal neoliberalisme, justru menjalankan sistem neolib dalam rangka sistem proteksionisme modern (Bairoch, 1999).

Mengutip tulisan Syaltout lagi, bahwa Alexander Hamilton (Menteri Keuangan Pertama Amrik tahun 1789-1795) adalah orang yang pertama kali menyusun secara sistematis argumentasi proteksionisme modern itu (Chang, 2002). Lalu Cordell Hull, Menteri Luar Negeri Amrik, juga merumuskan neolibelisme sebagai sebuah resep politik pembangunan paska-Perang Dunia II, dimana perdamaian dunia cuma bisa dicapai dengan cara pedagangan bebas dan menyerahkan urusan ekonomi pada pasar atau pihak swasta daripada kepada negara.


Tempat mencontreng di foto ini nggak lain adalah bekas pos penjaga lintasan kereta api Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) di daerah Pademangan. Pos ini berhasil dimanfaatkan dengan menambahkan gorden warna biru telor asin. Tanpa perlu kotak mencontreng, warga tetap bisa melakukan aski contreng-mencontreng Capres-Cawapres pilihan.

Sejak era Hull, negara-negara maju melalui (IMF, Bank Dunia, dan GATT) mempromosikan gokil-gokilan neoliberalisme sebagai resep pembangunan di seluruh dunia. Memang tugas institusi-institusi yang sangat dibenci sebagian masyarakat di tanah air ini diberi mandat buat mengatur perekonomian dunia paska-Perang Dunia ke-2. Sebenarnya, sebelum SBY-Boediono dicap Penganut faham neolib, Megawati pun udah menjalankan sistem yang dianggap “dosa” itu. Privatisasi besar-besaran dengan dalih nggak mampu menolak atau membatalkan aneka perjanjian multilateral yang udah ditandatangani sebelumnya merupakan bukti otentik sistem ekonomi neolibelis.


Di TPS dekat rumah gw, setiap Pemilih mendapatkan satu sachet Tora Bika kopi susu. Awalnya gw curiga, jangan-jangan ada salah satu Capres didukung lagi oleh produk multinasional kayak SBY-Boediono yang konon didukung oleh Indofood. Nyatanya, Mayora sebagai perusahaan yang memproduksi Tora Bika cuma memberikan sachet setelah Pemilih mencontreng. Jadi kayak-kayaknya Mayora nggak ada itikad buat mengarahkan Pemilih buat mencontreng seorang Capres. Pemberian Tora Bika murni promosi. Ya, mirip-mirip kayak waktu pemilihan Caleg, dimana Starbuck pernah berpromosi kopi gratis bagi mereka yang menunjukan jari yang ada tinta KPU-nya.

Ah, sutralah! Sekali lagi mayoritas rakyat udah nggak peduli neolibelis atau ekonomi kerakyatan. Suka nggak suka SBY-Boediono udah menang telak. Ketika Pilpres kemarin, gw sempat ngider-ngider ke beberapa TPS. Mulai dari TPS pinggir kali Ciliwung yang bermuara di pinggir Kemayoran, sampai TPS yang ada di kolong jembatan. Menurut gw luar biasa juga antusiasme warga. Dengan fasilitas yang serba kekurangan, mereka tetap exiting memilih calon Pemimpin negara kita.

Fasilitas yang di waktu malam biasa dipergunakan buat berdagang, dipakai sebagai TPS. Jadilah mereka yang udah mendapatkan DPT atau cuma bermodalkan KTP dan Kartu Keluarga mencontreng di tempat itu. TPS itu banyak gw temui di daerah kota tua dan Glodok sana. Ada pula TPS yang memanfaatkan pos Penjaga kereta api yang nggak terpakai. Ini gw temui di daerah Pademangan, Ancol. Last but not least, ada sebuah jalan di kolong jembatan tol yang ditutup, dimana di sepanjang jalan itu ada sekitar lima TPS berjajar. Salut! Salut! Ternyata memilih Kepala Negara nggak harus di hotel berbintang atau di ruang sidang berpenyejuk udara dingin. Di kolong jembatan dekat kali yang airnya bau itu pun, ternyata no problemo, cong!


Ini di kolong jembatan tol Ancol. Ada satu jalan yang ditutup, dimana sepanjang jalan itu dibuat TPS. Seru! Ternyata memilih Presiden bisa juga dibawah kolong jembatan, euy!

“Di kampung sini kalo ada orang yang mencurigakan, kita pasti langsung hajar, Bos!” kata salah seorang Preman kolong jembatan Ancol yang kebetulan menjadi Hansip di salah satu TPS yang gw sempat datangi. “Alhamdulillah selama ini nggak ada yang macam-macam!”


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Saturday, July 4, 2009

CUKUP PANGGIL DIA BU DULAH

Barangkali tak ada seorang pun yang tahu siapa nama aslinya, termasuk aku sendiri. Namun tak seorang pun yang meragukan kemampuan jari-jemarinya. Jari-jari tangannya yang mampu membuat tubuh para Pelanggannya menjadi terasa segar kembali. Dialah wanita yang cukup dipanggil Bu Dulah.

Tentang nama asli memang sudah tak penting lagi buat dirinya. Barangkali dia sendiri sudah rela meninggalkan nama kecil pemberian orangtua yang sudah melahirkannya. Nama Dulah sendiri tak lain adalah nama suaminya, Pak Dulah, yang usianya lima tahun lebih tua darinya. Buatnya yang lebih penting adalah, para Pelanggannya puas. Tak ada komplain dari mereka. Tak ada makian atau cacian. Everybody’s happy at the end. Dan setelah itu, mereka terus menerus memakai jasanya.

Tentu tak ada yang pernah menyangka, bahkan Bu Dulah sendiri, bahwa usia profesinya sudah 30-an tahun lebih. Kira-kira tahun 1970-an, suatu ketika Ibu Mertua-nya berpesan agar Bu Dulah sering-sering keluar dari rumah. Ini karena anak-anaknya sudah tak perlu bimbingannya lagi. Saat itu, keempat anaknya memang sudah besar-besar. Yang bungsu sudah masuk SMA.

“Gunakan tangan-tanganmu untuk menolong orang,” kata Bu Dulah mengingat nasihat Ibu Mertuanya.

Awalnya dia tak mengerti apa maksudnya. Maklumlah, selama ini dia Cuma seorang Ibu rumah tanga yang tak pernah punya impian aneh-aneh. Boro-boro merengek sang suami minta diajak jalan-jalan, untuk izin suami ikut kelompok arisan pun rasa-rasanya tak pernah dilakukan. Hidupnya benar-benar dihabiskan mengasuh anak-anaknya. Rupanya, pesan sang Ibu Mertua seperti sebuah tanda awal karir Bu Dulah sampai sekarang ini.

“Kayak-kayaknya Allah memberikan mukjizat lewat Mertua saya,” kenang Bu Dulah sambil terus memijat-mijat kaki kananku. Aku jadi berpikir, Allah itu memang baik sekali. Ketika seorang Ibu rumah tangga seperti Bu Dulah dianggap “tak bisa apa-apa”, Allah justru menurunkan mukjizat di waktu yang tepat.


Kecintaannya pada pekerjaan, membuat Bu Dulah lupa kalo usia profesinya sebagai Pemijat udah lebih dari 30 tahun. Buat gw, kecintaan profesi menjadi sebuah inspirasi. Sambil cari duit, kita seharusnya juga mencintai pekerjaan dan tentu saja Tuhan Maha Pencipta.

Sejak itulah Bu Dulah menjadi seorang Pemijat. Anak-anaknya yang sudah besar, dia titipkan ketika mendapat panggilan memijat. Pelanggan pertamanya bukan warga di sekitar rumahnya di kampung Jawa (*)dahulu nama Kampung Jawa tersebut dipakai sebelum kemudian tahun 80-an berubah menjadi daerah Percetakan Negara, Jakarta Pusat). The first Bu Dulah’s Costumer justru berasal dari luar Jakarta.

“Kalo nggak salah namanya Cililin, deh,” ingatnya. Sambil mengingat, Bu Dulah sempat menghentikan gerakan kedua tangannya yang sedang meremas-remas betisku.

Terus terang aku tak menemukan dimana lokasi Cililin berada. Sebelumnya kupikir Bu Dulah salah sebut Cililitan menjadi Cililin. Atau Cililin adalah salah satu lokasi di kota Bogor. Atau ada yang lebih jauh lagi, Cililin yang merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Bandung. Nah, lho?! Tapi setelah mendengar lanjutan kisah soal Pelanggan baru dan Cililin itu, aku jadi merasa tak bersalah. Cililin memang bukan di Bogor, bukan pula Cililitan, apalagi Bandung.

“Pokoknya waktu itu saya naik taksi sempat habis uang 30 ribuan,” katanya. Coba apa mungkin jarak dari Percetakan Negara ke Cililitan menghabiskan ongkos 30 ribuan di tahun 70-an? Tak mungkin kan? Itu jika Cililin tadi kita anggap Cililitan. Jika Cililin itu di kota Bogor, tak mungkin juga dari Percetakan ke Bogor ongkosnya cuma 30 ribuan, ya tidak?



Pelanggan pertama Bu Dulah adalah seorang Bapak. Dari ceritanya, Bapak ini bertubuh gemuk. Gara-gara tubuhnya itu, ada penyakit di dalam perutnya. Sebenarnya ketika pergi ke rumah Bapak ini, Bu Dulah tak ada target apa-apa. Tak ada target menyembuhkan, apalagi membuat sang Bapak menjadi kurus. Targetnya menjadi Pemijat yang baik dan benar. Namun Allah seperti memberikan mukjizat lewat jari-jemari Bu Dulah. Penyakit yang sempat diderita Bapak itu ternyata berhasil disembuhkan oleh Bu Dulah. Subhanallah!

“Bapak itu sampai jingkrak-jingkak, Dik,” ujar Bu Dulah sambil memukul betisku saking girangnya. Aku jadi terpaksa memalingkan badanku melihat Bu Dulah. Jelas terpacar mata gembira Bu Dulah ketika menceritakan pengalaman pertamanya itu. Sepertinya ada setitik air mata yang tertahan dari pingir kelopaknya yang tertahan.

“Ibu nggak ikut jingkrak-jingkrak?” tanyaku mengajak becanda. Sebenarnya candaku ini cuma buat mengetes Bu Dulah, apakah dia lebih gokil daripada patung Mbah Jingkrak? Sebuah patung seorang Nenek di sebuah restoran yang sempat aku singgahi bersama keluarga. Patung, dimana seorang Nenek bergigi ompong, tapi kelakuannya masih bergaya ABG: berjingkrak.

Bu Dulah cuma tersenyum. Senyuman khas seorang wanita yang kini usianya sudah mencapai 65 tahun. Nampak tertahan. Tidak meledak-ledak. Bukan jaim atau jaga image. Tapi begitulah tipikal Bu Dulah dan barangkali wanita-wanita seusianya kini. Dan yang lebih menakjubkan lagi...

“Kalo biasanya di tahun-tahun itu saya dikasih lima ribu, tapi oleh Bapak itu saya diberi honor limapuluh ribu perak,” ungkap Bu Dulah.


Pijatan Bu Dulah detail. Beliau ingin para Pelanggannya happy. Nggak heran kalo durasi pijatan satu betis kaki bisa mencapai 30 menit lebih. Bandingan dengan seorang Dokter yang selalu nggak punya waktu konsultasi dengan Pasiennya sehabis Dokter memeriksa. Yang menjadi pedoman Dokter bukan membuat pintar Pasien, tapi duit-duit-dan duit. Waktu adalah duit. Semakin cepat Pasien keluar dari ruang praktik, semakin banyak Pasien yang akan diperiksa. Waktu ngobrol dengan Pasien nggak ada lagi. Pernah punya pengalaman dengan Dokter kayak gitu? Sering pastinya, ya nggak?

Sampai pulang, Bu Dulah bingung. Bingung soal honor yang dia terima. Salahkah Bapak itu memberikan uang ini kepada saya? Jangan-jangan tertukar dengan uang limaribuan? Sebab di tahun 70-an, uang limapuluh ribu nilainya barangkali seperti uang limaratus ribuan di tahun 2009 sekarang ini. Teka-teki soal uang itu akhirnya terjawab. Hal itu terjadi setelah sang Bapak menghubungi Bu Dulah via telepon.

“Saya nggak salah ngasih, Bu,” kata sang Bapak. “Saya ikhlas, kok, Bu! Uang itu saya kasih karena saya merasa berhutang budi pada Ibu, karena sudah berhasil menyembuhkan saya dari penyakit. Saya sekarang jadi sehat lagi...”

Alhamdulillah. Itulah ungkapan yang berkali-kali diucapkan oleh Bu Dulah. Perasaan syukur itu wajar jika terus terucap. Pertama, Bapak itu adalah Pelanggan pertamanya. Meski baru pertama kali menjadi Pemijat, Bu Dulah berhasil menyembuhkan penyakit orang. Padahal, sekali lagi, tak ada niat sama sekali olehnya untuk menyembuhkan penyakit. Apa yang dia lakukan, tulus cuma memijat. Barangkali karena ketulusan itulah yang membuat Allah memberikan anugerah. Kewajaran kedua atas rasa syukurnya, bahwa dia tak menyangka honor pertamanya melebihi ekspektasinya sebagai Pemijat.

“Saya ini kan orang bodoh. Mana bisa bisa orang bodoh menyembuhkan penyakit?” sebuah pengakuan yang sangat naif dari seorang seperti Bu Dulah. Ibu...Ibu...sebenarnya kalau Allah berkehandak, tak ada manusia pintar atau manusia bodoh yang mendapatkan mukjizatnya. Barangkali karena kejujuran Ibu, Allah jadi suka. Mungkin karena ketaatan Ibu, Allah jadi cinta. Dan itulah kelebihan Ibu daripada kami-kami ini yang level-nya masih jauh. Untuk sekadar jujur saja kami belum bisa. Masih selalu berbohong. Entah bohong untuk kepentingan diri sendiri, maupun kepentingan warga negara.

Bu Dulah juga kerap bersyukur. Berapapun honor yang diterima, dia selalu mengucap alhamdulillah. Syukur terhadap nikmat begitu penting. Saking pentingnya, ungkapan syukur khusus dicantumkan dalam sebuah doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw dan kemudian diabadikan dalam bacaan tahiyat (tasyahud) dalam sholat lima waktu:

“....Dan menjadikan kami orang yang bersyukur atas nikmat-Mu, sebagai bentuk pujian kepada-Mu. Terimalah ia, dan sempurnakanlah bagi kami,” (HR Abu Dawud).

Jam sudah menujukan pukul 21:25 wib. Bu Dulah baru memijat kaki kananku. Ini artinya, Bu Dulah sudah menghabiskan waktu sekitar 33 menit sejak pertama kali memijat aku pada pukul 20:51. Itulah kelebihan Bu Dulah. Dia memang tak pernah terburu-buru saat memijat. Setiap anggota tubuh minimal menghabiskan waktu kurang lebih 30 menit. Bayangkan jika kita punya empat tangan, empat kaki, dan dua kepala, berapa jam waktu yang dihabiskan dia untuk memijat? Kira-kira 2 jam 50 menit! Lho kok bukan 5 jam? Bukankah empat tangan dikali 30 menit menjadi 2 jam. Lalu empat kaki dikali 30 menit juga 2 jam. Dan dua kepala dikali 30 menit menjadi 1 jam. Total 5 jam. Tidak! Khusus tangan tidak sampai menghabiskan 30 menit, tapi 10 menit. Sedang kepala cukup 5 menit.

Durasi Bu Dulah memijat tersebut, jelas memuaskan para Pelanggan. Tak heran kalo hampir setiap hari ada saja yang memanggilnya untuk memijat. Seapes-apesnya, sehari dia cuma mengantongi uang senilai Rp 60 ribu atau satu-dua Pelanggan. Memang sih Bu Dulah tak mematok harga dalam sekali pijat. Namun hampir seluruh Pelanggannya mengerti, tarif memijat di kampung bekisar antara Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu. Rekor tertinggi honor sehari Bu Dulah sekitar Rp 300 ribu. Jika rata-rata dalam sehari Bu Dulah mendapat honor Rp 100 ribu, maka pendapatan Ibu empat orang putra ini dalam 30 kerja mencapai Rp 3 juta. Luar biasa bukan?


Baskom berisi minyak pijat dan handuk kecil ini selalu dibawa tiap Bu Dulah melakukan aksi pijat. Kedua benda itu bukan jimat, lho. Dalam rangka memijat, Bu Dulah nggak pakai dukun-dukunan.

Tentu saja honor sebesar itu lazim buat Bu Dulah yang sudah menjalankan profesinya selama hampir lebih dari 30 tahun. Sekali lagi dia sangat bersyukur pada Allah, karena diberikan kesehatan sampai kini. Dia juga bersyukur dari dulu sampai sekarang tak pernah minta uang dari anak-anaknya. Buatnya, rezekinya dari memijat sudah lebih dari cukup. Hebatnya, Bu Dulah turut membantu keuangan suami yang memang sangat kurang dari honornya sebagai Tukang Sampah keliling.

“Saban bulan suami saya cuma menerima uang limaratus ribu rupiah,” jelas Bu Dulah. “Itu pun harus mengambil uang dari sana-sini. Dari uang sampah RT seratus ribu. Uang kebersihan di kompleks dekat rumah, seratus ribu juga....”

Tak terasa sudah satu jam lebih aku dipijat. Badanku terasa ringan dan segar. Terus terang aku masih penasaran dengan pengalaman-pengalaman Bu Dulah sepanjang 30 tahun lebih karirnya. Aku memang paling senang menimba pengalaman dari siapa saja. Bukan cuma mereka yang memiliki reputasi top di tanah air, tapi profesi Pemijat kampung sekelas Bu Dulah pun sesungguhnya punya kisah yang pasti bernilai, memberi motivasi. Setidaknya sebuah pesan: mencintai pekerjaan adalah bukti keikhlasan dan rasa syukur terhadap anugerah dari Allah.

“Dik, uangnya kelebihan, nih,” kata Bu Dulah setelah melihat honor pemberianku berlebih. Maklum, tak biasanya aku memberikan seratus ribu tiap sekali mijit. Seperti Pelanggan-Pelanggan lain, aku biasa memberi limapuluh ribu.

“Kelebihannya untuk Ibu saja. Ya, hitung-hitung sebagai honor bercerita,” kataku sambil tersenyum. Sekali lagi aku dengan Bu Dulah mengucap rasa syukur pada Allah. Aku jadi merinding. Mengapa kami ini semua seringkali melupakan rasa syukur? Padahal barangkali apa yang kita terima jauh melebihi apa yang Bu Dulah dapatkan malam ini?

Rabbana amanna faghfirlana warhamna wa anta khairurrahimin.

(Ya, Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat danEngkau adalah pemberi rahmat Yang Paling Baik – QS Al-Mu’minun 23:109)

(*) Tahun 70-an, di salah satu dearah di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, dikenal nama Kampung Jawa. Nama ini untuk menyebut sebuah perkampungan orang-orang Jawa. Sementara tak jauh dari Kampung Jawa, ada namanya Kampung Ambon. Pada tahun 80-an, nama Kampung Jawa tak dikenal lagi, karena berubah menjadi daerah Percetakan Negara yang lalu lintasnya ramai gara-gara tumbuhnya para Penjual keramik sepanjang jalan itu.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya