Wednesday, July 8, 2009

MEMILIH KEPALA NEGARA DARI BAWAH KOLONG JEMBATAN

Setidaknya lebih dari 50% suara rakyat akhirnya memilih Kepala Negara yang konon kata sebagian besar orang berhaluan neoliberalis. Kalo pun ada banyak kecurangan, angka 50% kayak-kayaknya udah mewakili apa yang diinginkan mayoritas rakyat. Rakyat ternyata lebih memilih “lanjutkan” ketimbang “lebih cepat lebih baik” atau Capres yang berteriak-teriak soal ekonomi kerakyatan.

Buat gw yang memilih, ternyata rakyat nggak peduli dengan isu-isu neolibealis atau bahkan soal istri Cawapres yang non-muslim. They don’t care much! Mereka tahu apa yang mereka mau. Kok kayak slogan iklan produk minuman ya: “kutahu yang kumau”? Tapi memang kayak-kayaknya begitu. Hantaman-hantaman yang di-“tinju”-kan ke wajah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono nggak ngaruh. Aneka black champagne yang memojokkan mereka pun membuat langkah SBY tetap lancar menuju kursi Istana kembali.

Gw yakin seyakin-yakinnya, masih banyak kecurangan. Entah itu soal Daftar Pemilih Tetap (DPT) bermasalah lah, maupun serangan fajar lah. Namun sekali lagi, kemenangan SBY-Boediono tetap harus diakui. Bukankah masing-masing Capres-Cawapres udah menyatakan diri: “siap menang, siap kalah”? Bukankah KPU juga udah mempermudah Pemilih yang nggak masuk DPT boleh memilih dengan menggunakan KTP dan Kartu Keluarga? Yang terjadi justru sebaliknya. Capres-Capres tetap aja nggak siap kalah. Bahkan ada Cawapres yang ngotot, bahwa dirinya seharusnya bisa tampil sebagai pemenang. Weleh! Weleh! Kok kita ini selalu menjadi manusia yang nggak pernah punya sikap legowo ya? Mbok akui saja kalo memang kalah, ya kalah. Titik!


Mumpung siang nggak dagang, lokasi dan peralatan dagang mereka dipergunakan buat lokasi TPS. Jangan jangan heran, memilih Kepala Negara yang bakal memimpin bangsa ini di tenda biru.

Baiklah, kalo memang curang. Apakah kecurangan itu melampaui angka 50%? Gw nggak yakin benar angka segitu. Masa dari 200-an juta penduduk Indonesia, separuhnya punya pikiran curang? Kalo memang 50% orang curang, paling tidak masih ada 50% lagi yang benar-benar mencontreng dangan suara hati, ya nggak? Masih nggak puas juga? Baiklah yang curang dinaikkan menjadi 60%. Artinya, masih ada 40% lagi yang memilih SBY-Boediono. Sisanya, 60%, dibagi-bagi ke dua pasangan Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto. Masih belum puas juga? Masya Allah! Manusia memang nggak ada puas-puasnya ya? Gokil! Bahlul!

Once again, tulisan ini bukan bermaksud membela SBY-Boediono, lho! Gw cuma melihat dari kacamata Pemilih yang nggak mau menggunakan hak pilihnya. Seorang Golput yang mensikapi sebuah kemenangan dari Pemilihan Presiden (Pilpres) dalam pemilihan langsung yang kedua kalinya. Gw cuma berusaha (yang tentu sulit sekali direalisasikan) mengajak Capres-Cawapres yang kalah untuk legowo. Membantu rakyat nggak harus jadi Presiden kok! Banyak tokoh besar yang justru dikagumi gara-gara peduli pada rakyat miskin. Michael Jackson, misalnya.

Terlepas dari tudingan pedofil atau manusia yang paling nggak percaya diri di jagat ini, Michael Jackson adalah something. Lewat karya musiknya, dia membantu banyak rakyat miskin. Tengoklah karya We are the World yang menyihir dunia untuk melihat kelaparan di Etophia, Afika. Dimana seluruh hasil penjualan album itu disumbangkan ke negara itu. Simaklah lirik Heal the World yang mengkumandangkan kata-kata “selamatkan bumi, selamatkan orang-orang yang hampir mati”. Bukankah itu lebih elegan dibanding menelurkan isu neliberalis atau non-muslim?

Soal neolibelis, ada reverensi baru yang gw dapatkan yang ditulis oleh Mahmud Syaltout, Peneliti pada Centre de Dreoit International, Europeen et Compare (CEDIEC), Universite Paris 5. Dalam tulisan berjudul Pilpres: Menakar Visi Politik Pembangunan (Kompas, Sabtu, 4 Juli 2009), Syaltout berpendapat, neolibelisme justru sebagai resep ampuh pembangunan di seluruh dunia. Dia heran, neolibelis kenapa dianggap “kafir” oleh sebagian besar orang. Padahal, pada tahun 1791 sampai 1860, Amrik yang sering diasosiasikan sebagai negeri asal neoliberalisme, justru menjalankan sistem neolib dalam rangka sistem proteksionisme modern (Bairoch, 1999).

Mengutip tulisan Syaltout lagi, bahwa Alexander Hamilton (Menteri Keuangan Pertama Amrik tahun 1789-1795) adalah orang yang pertama kali menyusun secara sistematis argumentasi proteksionisme modern itu (Chang, 2002). Lalu Cordell Hull, Menteri Luar Negeri Amrik, juga merumuskan neolibelisme sebagai sebuah resep politik pembangunan paska-Perang Dunia II, dimana perdamaian dunia cuma bisa dicapai dengan cara pedagangan bebas dan menyerahkan urusan ekonomi pada pasar atau pihak swasta daripada kepada negara.


Tempat mencontreng di foto ini nggak lain adalah bekas pos penjaga lintasan kereta api Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) di daerah Pademangan. Pos ini berhasil dimanfaatkan dengan menambahkan gorden warna biru telor asin. Tanpa perlu kotak mencontreng, warga tetap bisa melakukan aski contreng-mencontreng Capres-Cawapres pilihan.

Sejak era Hull, negara-negara maju melalui (IMF, Bank Dunia, dan GATT) mempromosikan gokil-gokilan neoliberalisme sebagai resep pembangunan di seluruh dunia. Memang tugas institusi-institusi yang sangat dibenci sebagian masyarakat di tanah air ini diberi mandat buat mengatur perekonomian dunia paska-Perang Dunia ke-2. Sebenarnya, sebelum SBY-Boediono dicap Penganut faham neolib, Megawati pun udah menjalankan sistem yang dianggap “dosa” itu. Privatisasi besar-besaran dengan dalih nggak mampu menolak atau membatalkan aneka perjanjian multilateral yang udah ditandatangani sebelumnya merupakan bukti otentik sistem ekonomi neolibelis.


Di TPS dekat rumah gw, setiap Pemilih mendapatkan satu sachet Tora Bika kopi susu. Awalnya gw curiga, jangan-jangan ada salah satu Capres didukung lagi oleh produk multinasional kayak SBY-Boediono yang konon didukung oleh Indofood. Nyatanya, Mayora sebagai perusahaan yang memproduksi Tora Bika cuma memberikan sachet setelah Pemilih mencontreng. Jadi kayak-kayaknya Mayora nggak ada itikad buat mengarahkan Pemilih buat mencontreng seorang Capres. Pemberian Tora Bika murni promosi. Ya, mirip-mirip kayak waktu pemilihan Caleg, dimana Starbuck pernah berpromosi kopi gratis bagi mereka yang menunjukan jari yang ada tinta KPU-nya.

Ah, sutralah! Sekali lagi mayoritas rakyat udah nggak peduli neolibelis atau ekonomi kerakyatan. Suka nggak suka SBY-Boediono udah menang telak. Ketika Pilpres kemarin, gw sempat ngider-ngider ke beberapa TPS. Mulai dari TPS pinggir kali Ciliwung yang bermuara di pinggir Kemayoran, sampai TPS yang ada di kolong jembatan. Menurut gw luar biasa juga antusiasme warga. Dengan fasilitas yang serba kekurangan, mereka tetap exiting memilih calon Pemimpin negara kita.

Fasilitas yang di waktu malam biasa dipergunakan buat berdagang, dipakai sebagai TPS. Jadilah mereka yang udah mendapatkan DPT atau cuma bermodalkan KTP dan Kartu Keluarga mencontreng di tempat itu. TPS itu banyak gw temui di daerah kota tua dan Glodok sana. Ada pula TPS yang memanfaatkan pos Penjaga kereta api yang nggak terpakai. Ini gw temui di daerah Pademangan, Ancol. Last but not least, ada sebuah jalan di kolong jembatan tol yang ditutup, dimana di sepanjang jalan itu ada sekitar lima TPS berjajar. Salut! Salut! Ternyata memilih Kepala Negara nggak harus di hotel berbintang atau di ruang sidang berpenyejuk udara dingin. Di kolong jembatan dekat kali yang airnya bau itu pun, ternyata no problemo, cong!


Ini di kolong jembatan tol Ancol. Ada satu jalan yang ditutup, dimana sepanjang jalan itu dibuat TPS. Seru! Ternyata memilih Presiden bisa juga dibawah kolong jembatan, euy!

“Di kampung sini kalo ada orang yang mencurigakan, kita pasti langsung hajar, Bos!” kata salah seorang Preman kolong jembatan Ancol yang kebetulan menjadi Hansip di salah satu TPS yang gw sempat datangi. “Alhamdulillah selama ini nggak ada yang macam-macam!”


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

2 comments:

syaltout said...

terima kasih yaa untuk menjadikan tulisan saya sebagai salah satu referensi :D

diary si tukang gowes said...

Sama2 ya Syaltout. Keep reading!