Tuesday, July 21, 2009

WELCOME TO THE REAL WORLD

Siang itu Sasana Budaya Ganesa (Sabuga) penuh mobil. Ada mobil berwarna merah, kuning, dan hijau. Ada pula yang berwarna pink. Ada mobil Toyota, Honda, maupun Nissan. Mobil-mobil itu nggak cuma berplat "D", tapi ada yang plat "B", "F", bahkan "DK". Saking penuhnya, mobil-mobil yang datang telat, dipersilahkan parkir di sepanjang jalan Siliwangi dan Tamansari yang kebetulan mengelilingi Sabuga. Nggak heran dua jalan itu sempat macet-cet! Oleh karena itu mari kita menyanyikan lagu Gara-Gara Si Komo Lewat karya Kak Seto Mulyadi.

Macet lagi, macet lagi
Gara-gara si Komo lewat



Di Sabuga inilah lahir Teknokrat-Teknokrat handal, Seniman-Seniman berkualitas, dan tentu saja Joki-Joki profesional. Eh, maaf banget! Bukan Joki, tapi Pengusaha yang bervisi global.

Sabtu itu, Institut Teknologi Bandung (ITB) memang sedang mewisuda 1475 wisudawan dari berbagai Fakultas. Kebetulan gw berada di tengah-tengah para wisudawan itu. Oh bukan, bukan gw yang diwisuda. Yang diwisuda adalah keponakan gw yang luar biasa. Bisa jadi sarjana cuma tiga tahun! Sementara temen-temannya, termasuk (maaf!) saudara-saudaranya banyak yang masih betah berkampus-kampus ria. Nggak heran kalo keponakan gw ini lulus dengan predikat cum laude dari Fakultas Seni Rupa ITB.


Jalan Siliwangi yang macet banget. Bukan gara-gara si Komo lewat, lho! Tapi Kak Seto yang lewat. Eh, bukan ding! Maaf ya Kak Seto. Gara-gara wisuda, cong!

Kalo ngelihat suasana wisuda, rasa-rasanya gw pengen diwisuda lagi, deh. Betapa tidak, wajah-wajah ceria terpampang di tampang para wisudawan. Yaiyalah, masa wajah-wajah kucel atau bete? Mereka kayak terbebas dari jerat-jerat asmara, eh maksudnya jerat-jerat mata kuliah yang sebelumnya merong-rong hidup mereka selama ini. Gw bisa merasakan kebebasan mereka sebagaimana gw ketika diwisuda dulu. Sudah terbayang di otak gw, tiap hari nggak perlu ngerjain tugas-tugas lagi. Tiap semester nggak perlu mikir mau ambil mata kuliah apa lagi. Dan tiap mau lulus, nggak perlu berkonsultasi lagi Dosen Killer lagi. Enak tenan!

Tapi apakah tujuan kita diwisuda cuma pengen meninggalkan bayang-bayang perkuliahan kayak gitu? Ah, rasa-rasanya enggak begitu. Ketika melihat acara wisuda Sabtu lalu itu, gw malah kangen dengan masa-masa di kampus dahulu kala. Nongkrong 24 jam non-stop, nyanyi dengan suara dan lagu yang nggak jelas, main teater, pacaran, nyapu halaman kampus, ngepel, nyuci baju, bikin kue merupakan rutinitas yang nggak bakal dilupakan. Maaf, empat aktivitas terakhir tadi itu nggak pernah gw lakukan, kok.

After wisuda, justru ada banyak setumpuk pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Apa itu? Ya, setelah itu elo mau kemana? Mau nganggur atau cari kerja? Mau langsung kawin atau pacaran dulu? Ada yang mau leye-leye alias santai dahulu setelah tiga sampai lima tahun kuliah. Biasanya, wisudawan model begini belum punya planning mau ngapain. Biasanya, lho. Ada juga yang udah punya planning kerja dan enaknya kerja di perusahaan Nyak-Babenya atau punya modal dan bikin usaha. Tapi kalo yang belum punya rencana, leye-leye dulu.


Keponakan gw dan teman-temannya. Kegembiraan di tengah hari wisuda. After that, apa rencanamu? Kerja, berbisnis, atau malah kawin?

Welcome to the real world! Selamat datang di dunia sesungguhnya, dimana kita berada di lingkaran. Habis lahir, disuruh sekolah. Kelar TK, disuruh masuk SD, SMP, dan SMU. Kelar SMU, kuliah. Udah kelar kuliah, masih kudu mikir buat kerja atau usaha. Udah punya uang sendiri, dipaksa kawin. Udah kawin, digodain orangtua dan saudara-saudara buat punya anak. Udah punya anak satu, dituntut supaya punya anak kedua. Pokoknya, kita udah kayak mesin. Tapi itulah real world!

Back to soal pengalaman gw bersama para wisudawan ITB. Ada yang punya rencana, ada yang enggak. Ada yang diwisuda, ada yang di-drop out (DO). Nah, soal DO ini, terus terang real world! Tapi sangat kontradiktif dengan apa yang gw lihat dari Perguruan Tinggi Negeri kayak ITB ini. Kenapa? Kompas, Sabtu, 18 Juli 2009 menulis di headline: 11 Mahasiswa ITB Terancam DO. Kontradiktif bukan?


Adegan cebur-menceburkan para wisudawan masuk ke dalam kolam yang ada di depan jurusan Farmasi. Kolam ini memang jadi spot paling favorit buat adegan cebur-ceburan. Nggak cuma pas wisuda, tiap ada yang ultah, ada juga yang diceburin. "Kolam Indonesia Tengelam", begitu nama kolam ini. Di tengah kolam ada air mancur dan dasar kolam ada peta Indonesia. Sementara di pingir kolam, nama semua jurusan di ITB.

Di tengah kegembiraan 1475 wisudawan di Sabuga, ada 11 mahasiswa yang di-DO. Kesebelas mahasiswa yang berasal dari 6 jurusan (Teknik Kimia, Material, Mesin, Metalurgi, Pertambangan, dan Geofisika) ini terlibat kasus penjokian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri di Makassar, Sulawesi Selatan. Lewat sidang tertutup yang dipimpin oleh Ketua Penegakan Norma Kemahasiswaan ITB, Nanang T. Puspito, akhirnya dari 16 mahasiswa yang diduga jadi joki direkomendasikan buat di-DO.

“Yang pelaku langsung (11 orang) kemungkinan besar tetap drop out. Malahan kata Pak Rektor (ITB), kalau perlu mereka di-DO sampai lima kali,” ungkap Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni ITB, Widyo Nugroho (Kompas/18/07). “Sebab ini pelanggaran superberat. Bukan hanya itegritas ITB yang dirusak, melainkan juga sistem seleksi nasional secara keseluruhan”.

Lagi-lagi masalah uang dan kemiskinan. Itulah alasan mengapa ke-11 mahasiswa mau menjadi joki. Dengan iming-iming Rp 30 juta, mahasiswa-mahasiswa asal Makassar itu nekad melakukan tindak “kriminal”. Siapa sih yang nggak tergiur dengan uang Rp 30 juta? Gini hari gitu, lho! Siapa pula orang yang nggak pengen masuk ke ITB cuma dengan modal 30 juta?


Kasus penjokian 11 mahasiswa mencoreng almamater ITB. Tapi sesungguhnya nggak 100% joki yang salah. Yang memberikan order atau menerima order joki pun juga salah. Ibaratnya, nggak mungkin ada orang yang menerima sogokan kalo nggak ada orang yang menyogok, ya nggak?


Terus terang, gw nggak menyalahkan 100% ke-11 joki itu. Kenapa? Menurut gw, baik yang jadi joki maupun pemberi order buat menjoki sama “kriminal”-nya. Ini mirip kayak slogan: orang yang menerima uang suap dan yang menyuap, sama-sama dikategorikan kejahatan. Nah, seharusnya orangtua yang memberikan order ke para joki juga dihukum. Ini supaya fair. Tapi Undang-Undang-nya memungkinkan buat menjerat para orangtua itu nggak ya?

Memang nggak ada orangtua yang bangga punya anak yang bisa kuliah di ITB. ITB gitu, lho! Bahkan banyak calon mahasiswa yang pingin masuk ITB, bela-belain ikut kursus agar bisa diterima di ITB. Gokilnya, kursus-kursus tersebut biayanya bisa mencapai puluhan juta. Ada kursus merangkai bunga, memasak, melukis, bernyanyi, dan pidato. Eh, bukan kursus kayak gitu ding! Pokoknya kursus deh! Kalo mau masuk seni rupa ITB, ya kursus menggambar. Kalo mau masuk matematika, ya kursus Kumon. Nah, kayak-kayaknya, para orangtua yang memberikan order pada para joki itu pengen anak-anak mereka benar diterima di ITB. Apalagi Fakultas Teknik Kimia, Material, Mesin, Metalurgi, Pertambangan, dan Geofisika di ITB dianggap terbaik.

Once again, welcome to the real world. Ada orang kaya yang anaknya pengen banget masuk ITB. Mereka rela mengeluarkan uang berjuta-juta, apalagi cuma Rp 30 juta. Hitung-hitung investasi di bidang pendidikan. Lalu ada anak-anak orang miskin yang kebetulan mahasiswa pintar dari ITB. Mereka butuh uang buat kost dan makan sehari-hari. Ada pula yang butuh uang buat pulang kampung ke Makassar. Baik orang kaya dan orang miskin saling bersinergi satu sama lain. So, nggak heran kalo timbul kasus penjokian.

Anyway, bagi ITB kasus penjokian ini jelas membuat malu almamater ITB. Kasus ini termasuk terburuk sepanjang kurun waktu 15 tahun terakhir. Kasus penjokian di ITB pernah terjadi tahun 1994. Semua mahasiswa yang terlibat waktu itu langsung di-DO. Nah, moga-moga wisudawan yang belum kepikiran cari kerja atau bikin usaha, nggak tergiur buat jadi joki ya? Memang sih nggak bakal di-DO karena udah jadi Sarjana. Tapi be carefull, bisa-bisa sang Rektor bakal mencabut gelar kesarjanaan kalo jadi joki.

“Mending jadi joki 3 in 1 aja. Nggak perlu ikut ujian,” kata teman gw.

“Halah!”

“Lah, memang gitu kan? Tugasnya cuma menyetop mobil-mobil yang pengen dijokiin?”

“Jadi joki 3 in 1 juga termasuk tindakan kriminal, karena membohongi Polisi...”

“Ah, itu mah Polisi aja yang rada-rada. Coba kalo Polisi-Polisi itu periksa dengan detail siapa Penumpang di dalam mobil 3 in 1, pasti yang ada di samping sopir 99% adalah joki. Nah, kalo ketahuan joki, ya please go head di-DO kan saja...”

“Siapa yang di-DO?”

“Ya, jokinya dong. Nggak mungkin Polisinya kan?”

“Ngawur!”


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

No comments: